Ekonomi Keuangan Berbasis Kecerdasan Buatan
Perkembangan teknologi di era kecerdasan buatan menghadirkan tantangan dan peluang dalam industri keuangan.
”Artificial intelligence is not a substitute for human intelligence; it is a tool to amplify human creativity and ingenuity.” – Fei-Fei Li, salah satu Direktur Stanford Institute for Human-Centered Artificial Intelligence dan Profesor TI di Graduate School of Business.
”I believe AI is going to change the world more than anything in the history of humanity. More than electricity.” – Kai-Fu Lee, pakar AI, Kepala Dewan Direksi dan CEO Sinovation Ventures, Penulis AI Superpowers dan AI 2041.
Pergelaran Consumer Electronic Show pada 8-12 Januari 2024 di Las Vegas menjadi ajang seru melihat perkembangan teknologi terkini yang telah membantu mewujudkan berbagai impian manusia dan menyediakan solusi dari berbagai kebutuhan manusia seperti di film Sci Fi Startrek atau film animasi kucing robot masa depan Doraemon.
Industri bergegas menyajikan berbagai inovasi yang dimulai dari robot rubah bergaya Manga ”Miroki” yang dilatih menjadi pendamping terapi sosial, robot bola AI Samsung ”Ballie” untuk asisten rumah tangga, cermin Baracoda Bmind pendeteksi kondisi mental, serta kebutuhan terapi, hingga mobil Hyundai yang rodanya bisa berputar 90 derajat yang dapat membantu pengendara mobil parkir paralel.
Baca juga: Tren Digital 2024: Akankah Kecerdasan Buatan Makin Mendominasi?
Perkembangan pesat artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan beberapa tahun terakhir pun menimbulkan keresahan masyarakat atas dampak teknologi ini sebagai disrupsi pada lapangan pekerjaan, misalnya. The World Economic Forum memprediksi bahwa 85 juta profesi akan tergeser dengan adanya AI pada 2025. Di sisi lain, bermunculan pula profesi baru di area big data dan machine learning hingga pengamanan sistem informasi serta digital marketing.
Hal ini segera menggugah Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (AS) untuk memanggil para praktisi industri dari 10 big tech pada September 2023. Google pun menguraikan empat bidang yang memungkinkan Kongres memainkan peran penting dalam pengembangan AI, antara lain, (1) menyusun kebijakan yang mendukung inovasi, termasuk melalui investasi penelitian dan pengembangan atau undang-undang imigrasi yang memberikan insentif kepada pekerja berbakat untuk datang ke AS; (2) mendorong penggunaan AI yang lebih besar di pemerintahan; (3) menerapkan AI pada masalah-masalah besar seperti pendeteksian kanker; (4) memajukan agenda transisi tenaga kerja yang menguntungkan semua orang.
Regulator di berbagai yurisdiksi pun tergerak untuk menyusun regulasi terkait kecerdasan buatan dan kerangka kebijakan guna mencegah risiko dari perkembangan teknologi, serta transparansi memastikan kualitas teknologi sebelum dirilis kepada publik. Uni Eropa (EU) juga menjadi yurisdiksi pertama yang mencapai kesepakatan mengenai undang-undang bersifat mandatory yang mengatur kecerdasan buatan (AI) pada awal Desember 2023.
Regulasi meminta Chat GPT dan general purpose AI system untuk memenuhi persyaratan transparansi sebelum produk dipasarkan, menyiapkan persyaratan dokumentasi teknis. Produk yang berpotensi memiliki risiko sistemik perlu melalui proses evaluasi model, tingkat pengelolaan risiko siber dan sistemik, serta efisiensi pemanfaatan energi.
Pemerintah hanya dapat menggunakan real time biometric surveillance di lokasi publik dalam rangka pencegahan aksi kejahatan dan terorisme. Pemerintah Australia juga tengah menimbang rencana penerbitan panduan dengan penerapan bersifat sukarela tentang AI yang dikategorikan berisiko tinggi, seperti sektor penegakan hukum dan kendaraan swakemudi, teknologi yang memprediksi kemungkinan seseorang melakukan tindakan kriminal serta analisis seleksi kandidat dalam kegiatan lamaran pekerjaan.
Pemerintah Indonesia pun telah menyusun Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045.
Konten berbasis AI juga perlu diberikan label agar tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat. Australia merupakan negara pertama yang membuat e-Safety Commisioner tahun 2015. AS selanjutnya juga mengembangan National Institute of Standards and Technology (NIST) Working Group yang menyusun pedoman manajemen risiko atas penggunaan Generative AI.
Pemerintahan AS bahkan bergegas tanpa menunggu legislasi Kongres dan menerbitkan Executive Order 14110 pada 30 Oktober 2023 yang menyatakan bahwa penggunaan AI yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan diskriminasi, bias, pelanggaran lainnya. Selanjutnya terdapat regulasi persyaratan penguatan pengamanan dan transparasi bagi perusahaan agar menyampaikan hasil uji keamanan dan keselamatan atas model AI yang digunakan sebelum produk diluncurkan ke konsumen, termasuk memastikan bahwa pengembangan AI tetap melindungi lapangan pekerjaan manusia yang saat ini tersedia.
Meningkatkan kualitas layanan
Implementasi AI pada sektor keuangan merebak untuk meningkatkan kualitas layanan dan pengalaman yang dirasakan oleh pelanggan, misalnya layanan manajemen aset, asset underwriting, ataupun perdagangan. Penggunaan AI untuk meningkatkan efisiensi perusahaan melalui pengurangan biaya dan peningkatan produktivitas. Pemanfaatan AI untuk mengoptimalkan proses internal dan mengidentifikasi risiko serta memantau transaksi yang mencurigakan secara lebih tepat.
Berbagai big tech pun mengembangkan generative open AI, seperti Bard dan LaMDA milik Google, dan Microsoft Bing AI yang ramai digunakan masyarakat, berbagai institusi mengembangkan layanan chatbot untuk berinteraksi dengan konsumen. Bloomberg juga mengembangkan Bloomberg GPT. Sementara Morgan Stanley juga menerapkan AI dalam Wealth Management System. Menengarai risiko dan dampak negatifnya, beberapa institusi internasional justru membatasi penggunaan Chat GPT AI bagi karyawannya, seperti di CitiGroup, Deutche Bank, dan Amazon.
Pemanfaatan AI pun diproyeksikan berkontribusi hingga 366 miliar dollar AS terhadap PDB Indonesia tahun 2030. Pemerintah Indonesia pun telah menyusun Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045. Klasifikasi Baku Lapangan Industri Aktivitas Pemrograman Berbasis AI juga diatur melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2021.
Implementasi AI pada sektor keuangan merebak untuk meningkatkan kualitas layanan dan pengalaman yang dirasakan oleh pelanggan.
Maraknya perkembangan AI di global ataupun domestik juga telah mendorong bank sentral mengkaji secara berkesinambungan dua sisi dari perkembangan AI. Di satu sisi, AI dapat mentransformasi peran dan kualitas output bank sentral dan industri jasa keuangan. Di sisi lain, AI juga berdampak peningkatan risiko bagi pasar dan tantangan bagi pelindungan konsumen.
Bank Indonesia pun mulai mengadopsi teknologi terkini ini dalam proses bisnis dengan tetap memperhatikan potensi manfaat serta tantangan risikonya. Penggunaan AI berbasis pemanfaatan data granular, high frequent data, dan big data guna mendukung proses pengambilan keputusan dan kebijakan telah terinisiasi dalam kerangka Rencana Induk Inovasi Bank Indonesia (RIVIBI).
Pemanfaatan big data secara intensif sejak 2015 di Bank Indonesia bertujuan untuk, pertama, memperkuat proses pengambilan keputusan di sektor moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran sehingga menghasilkan kualitas data dan proses analisis yang komprehensif. Kedua, pemanfaatan big data dapat mengatasi data lag dan data gap dengan menyediakan indikator baru yang lebih prompt, akurat, dan terkini.
Ketiga, data analytics menghasilkan analisis dan prediksi perilaku pelaku ekonomi di pasar dan sistem keuangan, analisis validitas laporan keuangan yang bersifat rutin dan repetitif, memantau transaksi mencurigakan, menganalisis keterkaitan antarpelaku (network analysis), hingga mengetahui persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap kebijakan (public perception).
Perkembangan teknologi di era kecerdasan buatan telah menghadirkan tantangan yang kompleks dan peluang. Terdapat tiga tantangan utama yang dihadapi regulator. Pertama, mengatasi risiko dan ketidakpastian yang dihasilkan oleh penerapan teknologi AI dalam industri keuangan.
Kedua, memastikan ketersediaan data yang valid dan terstruktur, perlindungan kerahasiaan data, bias akibat penggunaan algoritma yang terlalu spesifik, robustness dan etika dalam penggunaannya. Ketiga, memastikan bahwa inovasi teknologi tidak mengorbankan stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan publik dan menyebabkan ancaman atas keterbatasan tenaga kerja yang skillfull karena semakin tergeser oleh eksistensi AI.
One million worth question selanjutnya tentu adalah apakah AI membantu tugas dan meningkatkan nilai humanisme manusia sehingga bisa meraih humanized work life balance. Atau, justru menenggelamkan manusia bekerja tanpa henti 24 jam per tujuh hari sebagaimana dampak teknologi Zoom saat pandemi.
Baca juga: Ironi Teknologi Kecerdasan Buatan
Bisa jadi, teknologi AI pun mengambil alih peran manusia bak film Terminator atau The World We Leave Behind yang tayang di streaming Netflix, di mana manusia tidak berdaya tanpa teknologi karena tak dapat berkomunikasi, mengakses uang sehingga bersatu padu mendeaktivasi teknologi atau menjadi lebih individual untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks, unknown potential and unknown risk, dan agar mampu memaksimalkan penggunaan AI untuk pertumbuhan perekonomian, tentu diperlukan kolaborasi antarotoritas, industri, akademisi, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Dengan sinergi yang optimal, dapat dilakukan sharing pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya untuk mengoptimalkan penerapan teknologi AI di berbagai bidang. Kolaborasi ini juga membantu mengurangi risiko arbitrase ketentuan dan silang antarsektor (inter-sectoral risk or regulatory arbitrage) dan meningkatkan efisiensi dalam menghadapi tantangan yang bersifat lintas sektoral, untuk pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Mirza Yuniar Isnaeni Mara, Executive Analyst in Bank Indonesia