Tidak mudah bagi produsen otomotif Jepang untuk melakukan perubahan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Industri otomotifJepang sebenarnya telah lama melihat ketertinggalan mereka dalam industri kendaraan. Langkah drastis belum juga muncul.
China bertahan sebagai juara otomotif global. Ekspor mobil China lebih banyak daripada Jepang, negara yang selama ini menjadi eksportir otomotif terbesar. Pengumuman Asosiasi Produsen Otomotif Jepang (JAMA), Rabu (31/1/2024), mengonfirmasi itu. Sepanjang 2023, Jepang mengekspor 4,42 juta unit kendaraan. Sebaliknya, berdasarkan data Asosiasi Produsen Mobil China, Beijing mengekspor 4,91 juta unit kendaraan (Kompas.id, 31/1/2024).
Sekian tahun lalu ancaman terhadap industri otomotif Jepang sudah muncul saat kendaraan listrik sudah diluncurkan. Publik bisa memperkirakan bahwa mereka akan terdisrupsi ketika terus mempertahankan kendaraan dengan bahan bakar minyak. Kini, orang makin mudah mendapati kendaraan listrik di jalanan. Fenomena ini akan makin mendorong orang untuk membeli kendaraan listrik.
Salah satu permasalahannya adalah perusahaan otomotif Jepang telanjur berinvestasi untuk pabrik-pabrik kendaraan berbahan bakar minyak. Di Indonesia, mereka menempati kawasan industri di Karawang, Jawa Barat. Mereka juga membangun pelabuhan untuk ekspor di Kabupaten Subang. Investasi ini tentu sudah diperkirakan untuk pasar masa depan.
Tidak mudah bagi produsen otomotif Jepang untuk melakukan perubahan. Sebaliknya, produsen mobil Korea Selatan sangat mudah melakukan investasi karena relatif tidak terbebani dengan masalah ini. Industri otomotif China juga demikian. Sejak lahir, beberapa perusahaan China sudah memproduksi mobil listrik.
Sesuatu yang tengah terjadi adalah disrupsi industri otomotif Jepang. Situasi ini tak beda ketika disrupsi digital yang hadir beberapa tahun lalu. Pemain-pemain lama (incumbent) kelimpungan untuk menghadapi perubahan. Mereka yang menolak berubah terbukti punah. Mereka yang mampu bertransformasi terbukti bisa bertahan dan meraih pasar baru.
Perusahaan lama memang terbebani ketika harus melakukan perubahan. Mereka masih melihat bahwa pasar membutuhkan mereka hingga enggan melakukan perubahan. Bila saja melakukan perubahan, mereka terkesan lambat. Mereka tak mau menghentikan bisnis lama mereka karena pasar masih terlihat besar meski mulai mengalami penurunan.
Kultur lama juga tidak mendukung untuk membuat perubahan. Mereka masih yakin dengan kebiasaan dan cara lama. Komunikasi masih bergantung dengan atasan. Dinamika perusahaan tidak berkembang. Inovasi tidak muncul. Akibatnya, perusahaan seperti ini tak mau bertransformasi. Ancaman terbesar terhadap perusahaan yang lambat bertransformasi, sekali lagi, bakal musnah.