Transisi Energi Menyebabkan ”Greenflation”?
Kecepatan dekarbonisasi yang jelas, bertahap, dan didukung kebijakan yang tepat diharapkan dapat mengurangi guncangan.
Setelah berlangsung empat putaran, debat calon presiden dan calon wakil presiden 2024 masih banyak menyita perhatian publik. Siaran langsung dari saluran televisi, yang diamplifikasi oleh banyak media pengaliran konten itu, sukses menghasilkan banyak topik tren.
Beberapa di antaranya adalah alutsista usang, omon-omon, slepet, SGIE, food estate, dan LFP. Terakhir, green inflation menjadi trending topic setelah diangkat dalam debat cawapres oleh cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, pada 21 Januari 2024.
Debat ini menjadi perbincangan hangat di media sosial karena banyak yang menilai bahwa istilah ini masih asing. Bahkan, istilah ini dirasa asing bagi mereka yang cukup aktif terkait isu-isu lingkungan, ekonomi, dan energi. Istilah ini mencerminkan kenaikan harga barang-barang ramah lingkungan karena tingginya permintaan terhadap bahan bakunya yang tak sebanding dengan pasokan.
Gibran mengambil contoh: revolusi rompi kuning di Perancis tahun 2018. Gerakan massa yang dimulai pada 17 November 2018 itu awalnya dilatarbelakangi oleh kenaikan harga minyak mentah dan bahan bakar, tingginya biaya hidup, dan kesenjangan ekonomi.
Terlepas dari kurang tepatnya narasi Gibran tersebut, green inflation atau greenflation memang penting dan menarik perhatian karena kenaikan harga energi sebagai salah satu efek transisi energi berdampak pada aspek sosial dan masalah ekonomi.
Apa itu ”greenflation”?
Dunia bisnis mengenal greenflation atau inflasi hijau sebagai dampak kebijakan lingkungan terhadap biaya penyediaan barang dan jasa yang dibebankan melalui rantai pasokan pada harga konsumen. Sederhananya, inflasi hijau mengacu pada kenaikan harga bahan mentah dan energi sebagai akibat transisi energi fosil menuju energi terbarukan.
Meningkatnya pembiayaan untuk pengembangan teknologi rendah karbon menyebabkan kenaikan harga bahan-bahan yang strategis untuk infrastruktur tersebut. Sementara itu, intensifikasi peraturan lingkungan hidup yang membatasi investasi pada proyek berbasis bahan bakar fosil yang berpolusi tinggi juga membatasi pasokan bahan baku, yang juga mengakibatkan kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan inflasi di semua sektor perekonomian (Canuto, 2021).
Istilah ini dipopulerkan pertama kali di artikel The Financial Times yang ditulis oleh Ruchir Sharma pada Agustus 2021 berjudul ”’Greenflation’ threatens to derail climate change action”. Sharma menjelaskan bahwa greenflation merujuk pada kenaikan harga logam dan mineral langka, seperti tembaga, aluminium, dan litium, yang menjadi krusial dalam industri tenaga surya, angin, mobil listrik, dan teknologi terbarukan serta rendah karbon lainnya.
Harga litium yang digunakan untuk membuat baterai mobil listrik, misalnya, meningkat 400 persen pada tahun 2021. Tren ini akan terus berlanjut karena permintaan litium diperkirakan naik sebesar 40 persen sampai tahun 2040.
Hal yang sama berlaku untuk harga aluminium, yang digunakan untuk menghasilkan energi surya dan angin. Harganya naik dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022 dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa.
Saat ini, perusahaan dan pemerintah intensif mengarahkan riset dan penelitian pada teknologi dan inovasi baru terkait dekarbonisasi industri. Tentu saja teknologi baru membutuhkan investasi besar, terutama selama masa transisi.
Investasi untuk transisi energi rata-rata 2 persen PDB global per tahun hingga 2050. Investasi yang mahal dalam jangka pendek dapat meningkatkan biaya produksi dan bisa menjadi guncangan negatif di sektor ekonomi. Sebaliknya, valuasi sektor energi terbarukan masih mahal karena sebagian besar bisnis tersebut masih dalam tahap perkembangan.
Kekhawatiran kemudian muncul bahwa transisi energi akan mendorong inflasi karena perusahaan berinvestasi lebih sedikit dalam energi bahan bakar fosil saat biaya energi terbarukan masih tinggi.
Guncangan akibat transisi energi
Terjadinya pandemi Covid-19 dan kemudian invasi Rusia ke Ukraina serta serangan genosida Israel di Gaza menyebabkan harga berbagai komoditas melonjak. Di banyak negara, inflasi terdorong ke level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun sehingga mendorong perubahan dalam kebijakan energi.
Saat ini, ketergantungan pada sumber energi fosil tidak hanya dianggap sebagai bahaya bagi bumi, tetapi juga semakin dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional serta nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. Mempercepat transisi menuju energi terbarukan adalah langkah strategis. Setiap panel surya yang terpasang, setiap pembangkit listrik tenaga air yang dibangun, dan setiap turbin angin yang ditambahkan ke jaringan listrik membawa selangkah lebih dekat menuju kemandirian energi dan perekonomian yang lebih ramah lingkungan.
Tentu membangun perekonomian yang lebih berkelanjutan sebagai basis transisi energi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain dibutuhkan waktu lama dan investasi besar, akan terjadi berbagai guncangan berbeda, tetapi saling terkait, yang diperkirakan akan menyebabkan tekanan kenaikan inflasi berkepanjangan (Schnabel, 2022).
Guncangan pertama terkait dengan dampak perubahan iklim itu yang dikenal dengan climateflation. Seiring peningkatan bencana alam dan cuaca buruk akibat perubahan iklim global, dampaknya terhadap aktivitas ekonomi dan harga juga meningkat. Misalnya saja, kekeringan luar biasa di sebagian besar dunia telah berkontribusi pada kenaikan tajam harga pangan baru-baru ini dan memberikan beban berat bagi masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Guncangan kedua, fossilflation, merupakan penyebab utama peningkatan tajam inflasi di negara-negara kawasan Eropa belakangan ini. Pada Februari 2022, energi menyumbang lebih dari 50 persen inflasi umum di kawasan Eropa, terutama kenaikan tajam harga minyak dan gas.
Inflasi fosil mencerminkan dampak buruk ketergantungan pada sumber energi fosil, yang belum berkurang secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Contohnya, pada tahun 2019, produk minyak bumi dan gas alam masih menyumbang 85 persen dari total penggunaan energi di kawasan Eropa. Secara bersamaan, perjuangan melawan perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga bahan bakar fosil menjadi lebih mahal.
Guncangan kategori ketiga, greenflation, lebih tidak kentara. Banyak perusahaan yang mengadaptasi proses produksinya dalam upaya mengurangi emisi karbon. Namun, sebagian besar teknologi ramah lingkungan memerlukan sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt, terutama selama masa transisi.
Ketidakseimbangan antara meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan menyebabkan harga banyak komoditas penting meningkat secara signifikan. Perkembangan ini menggambarkan paradoks penting dalam perjuangan melawan perubahan iklim: semakin cepat dan mendesak peralihan menuju perekonomian yang lebih ramah lingkungan, maka akan semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan dalam jangka pendek.
Memang benar transisi energi menyebabkan greenflation. Namun, sangat menyesatkan jika disimpulkan bahwa penghijauan perekonomian sebagai bagian dari transisi energi adalah penyebab kenaikan harga energi. Sebab, sejauh ini, dampak inflasi hijau terhadap harga konsumen akhir jauh lebih kecil dibandingkan inflasi fosil (Schnabel, 2022; Konradt et al, 2022).
Laporan dari Eurostat tanggal 17 Juni 2022 juga menyampaikan bahwa inflasi fosil saat ini menjadi faktor utama pendorong inflasi. Sejak April 2021, kenaikan harga energi bahan bakar fosil secara konsisten menyumbang lebih dari separuh inflasi di kawasan Eropa. Bahkan, peneliti dari Rocky Mountain Institute (RMI) menyatakan bahwa transisi energi yang mendorong teknologi ramah lingkungan menyebabkan inflasi karena mahal dan harganya meningkat adalah mitos belaka.
Mengambil contoh turunnya biaya pemakaian listrik di Amerika Serikat karena makin banyak diproduksi dari energi terbarukan, mereka menyimpulkan bahwa ”semakin cepat dunia menerapkan energi terbarukan, semakin banyak uang yang bisa dihemat untuk biaya energi” (Bond et al, 2022).
Selama 400 tahun, inflasi dipahami sebagai kenaikan harga. Namun, istilah yang lebih tepat dalam kasus transisi energi ini adalah inflasi berasal dari kenaikan biaya energi (Olovsson and Vestin, 2023). Transisi menuju dunia yang lebih ramah iklim akan berkontribusi pada inflasi di tahun-tahun mendatang.
Namun, inflasi hijau hanyalah salah satu faktor di balik kenaikan harga, dengan dampak yang lebih kecil dibandingkan inflasi fosil dan inflasi iklim. Greenflation mempunyai beberapa penyebab, misalnya guncangan eksogen akibat situasi geopolitik dan juga masalah rantai pasokan dan semikonduktor, yang sebagian besar hanya tecermin secara tidak langsung dalam tingkat inflasi
Kecepatan dekarbonisasi yang jelas, bertahap, dan didukung kebijakan yang tepat diharapkan dapat mengurangi dampak guncangan dan inflasi serta mempercepat munculnya dampak positif: menekan harga energi, menyebabkan disinflasi, terutama jika terjadi peningkatan pasokan dan produktivitas proses.
Bagaimana menurut pendapat Anda?
Zainal Arifin, Dosen Program Studi Pascasarjana di Institut Teknologi PLN dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society
E-mail: zainal_pln@yahoo.com
Tautan profesional: