logo Kompas.id
OpiniMenghindari Jebakan Vetokrasi
Iklan

Menghindari Jebakan Vetokrasi

Pembacaan atas situasi mutakhir Indonesia telah menjelaskan menguatnya vetokrasi di tubuh pemerintahan Jokowi.

Oleh
HENDARDI
· 5 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Pada 14 Februari 2024, warga negara Indonesia akan memasuki bilik-bilik suara untuk menunaikan hak politiknya menentukan masa depan bangsa. Pada hari itu, partai-partai dan calon presiden-calon wakil presiden akan memperoleh titipan mandat dari rakyat memimpin Republik.

Pemilu 2024 akan menjadi penentu masa depan demokrasi dan negara hukum Indonesia. Bisa saja kualitas demokrasi dan negara hukum akan semakin kokoh meskipun mengalami ujian terberat dalam lima tahun terakhir ini. Atau justru sebaliknya, demokrasi akan berubah menjadi vetokrasi, sementara negara hukum menjelma menjadi negara kekuasaan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Fukuyama (2018) menyebutkan, vetokrasi adalah kemampuan kelompok kepentingan untuk memblokir tindakan kolektif warga. Aspirasi kolektif rakyat bisa diveto oleh hanya sekelompok orang. Vetokrasi ini yang menjadikan praktik legislasi di DPR ugal-ugalan. Vetokrasi juga meruntuhkan independensi Mahkamah Konstitusi.

Kecemasan tentang ancaman demokrasi dan pengingkaran konstitusi memang menggema setelah Reformasi 1998 belum tuntas menyelesaikan tugas transisi demokrasi. Kelembagaan politik demokrasi memang dibentuk, konstitusi RI diubah, kebebasan politik semakin terbuka, pranata hukum didesain sedemikian rupa, dan aneka peraturan perundang-undangan ditata.

Akan tetapi, hari ini, kelembagaan politik semakin rapuh dan gagal menjadi instrumen representasi daulat rakyat, konstitusi dipunggungi, kebebasan sipil semakin menyempit, pranata dan aneka produk hukum dirancang secara disruptif. Semua ini bisa semakin menjauhkan kita dari cita-cita Republik.

Pemilu 2024 akan menjadi penentu masa depan demokrasi dan negara hukum Indonesia.

Antitesis demokrasi

Kematian demokrasi bisa terjadi lewat berbagai cara. Bahkan dimulai dari bilik suara, melalui proses pemilu intimidatif. Setelah hampir satu dekade banyak negara membuktikan tesis bagaimana demokrasi mati (Levitsky dan Zibblatt, 2018), kini Indonesia sedang menapaki tesis kematian demokrasi.

Sesudah melalui empat kali pemilihan langsung, kualitas demokrasi Indonesia bukan semakin kokoh, melainkan semakin prosedural dan artifisial. Pemilu 2024 bisa jadi menjadi pemilu terburuk setelah reformasi karena berbagai drama politik kekuasaan yang dikendalikan hanya oleh segelintir orang dan hanya untuk kepentingan sekelompok orang.

Demokrasi Indonesia akan mati secara perlahan oleh pemimpin dengan karakter kepemimpinan otoriter yang terpilih dalam sebuah pemilu demokratis-prosedural menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan, dan membungkam kebebasan sipil dan oposisi.

Jika mengacu pada tiga indikasi di atas, dua indikasi kematian demokrasi itu telah terjadi di Indonesia. Sementara itu, oposisi politik yang direpresentasikan oleh aspirasi masyarakat sipil kini tengah megap-megap seperti menjemput ajal.

https://cdn-assetd.kompas.id/cABX4gEBINv09w9eSzJLXxZkPXk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F04%2F054d3b6b-cb31-4316-b797-bae9126d78ee_jpg.jpg

Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang pada mulanya hadir karena mukjizat demokrasi—yakni orang kecil dan bukan berasal dari kalangan yang berkuasa oleh sistem demokrasi dimungkinkan menjadi presiden pada 2014 dan 2019—kini tampak berubah dan menjadi antitesis demokrasi. Menjelang akhir jabatannya, Presiden Jokowi, melalui pilihan politik dan sikap permisif atas berbagai peragaan politik antidemokrasi, tampak memunggungi demokrasi dan konstitusi. Jokowi seperti hendak membuktikan tesis kematian demokrasi, yakni dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Baik kecenderungan melekatnya gejala otoritarianisme pada Jokowi maupun dugaan praktik penyalahgunaan kekuasaan memang bisa dibantah, karena semuanya bekerja melalui kanal-kanal dan instrumen demokrasi. Situasi ini yang juga banyak dicemaskan oleh pengkaji transisi demokrasi.

Donnell dan Schmitter (1986) menggambarkan rangkaian transisi demokrasi, yang salah satunya selalu memiliki peluang dan kecenderungan untuk kembali pada otoritarianisme. Tidak perlu waktu lama, sejak 1998 rezim Orde Baru jatuh, pada 2024 tanda-tanda kematian demokrasi dan kembalinya otoritarianisme itu semakin terang.

Dari sisi aktor yang berkumpul, juga semakin jelas. Terdapat kelompok yang lahir dan dibesarkan oleh rezim politik Orde Baru. Ada juga mereka yang lahir dari rahim demokrasi, bahkan tumbal dari reformasi 1998.

Iklan

Kelompok gabungan ini yang tidak diselisik oleh Donnell dan Schmitter saat mengkaji topik transisi demokrasi. Bagi keduanya, transisi demokrasi hanya melahirkan dua kecenderungan. Kecenderungan pertama, kembalinya kekuatan lama dan mengokohkan kembali sistem kekuasaan; dan kecenderungan kedua, keberhasilan transisi demokrasi yang mengokohkan nilai dan sistem yang baru dan lebih demokratis.

Jokowi seperti hendak membuktikan tesis kematian demokrasi, yakni dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Vetokrasi

Di Indonesia, justru muncul kekuatan ketiga sebagai kecenderungan yang tak dideteksi banyak ahli, yakni kelompok gabungan sebagaimana digambarkan di atas. Kelompok ini memanfaatkan semua instrumen dan pranata demokrasi, tetapi tidak digunakan untuk memperjuangkan nilai dan aspirasi demokratis. Kolaborasi kekuatan ketiga yang gejalanya muncul sejak periode kedua Jokowi itu melahirkan berbagai produk hukum yang tidak demokratis, politisasi penegakan hukum, pembungkaman kebebasan sipil, dan sebagainya.

Pembacaan atas situasi mutakhir Indonesia telah menjelaskan menguatnya vetokrasi di tubuh pemerintahan Jokowi. Jika dipotret dengan lensa hukum dan konstitusi, tanda-tanda kematian demokrasi dan menguatnya vetokrasi dapat dibaca dari tiga fakta utama: disrupsi legislasi, autocratic legalism, dan yudisialisasi politik otoritarianisme.

Muara dari ketiganya adalah memusatkan kekuasaan pada sekelompok kepentingan, mengabaikan prinsip respublika, dan melegalisasi kekuasaan yang seolah-olah sesuai dengan hukum dan konstitusi, padahal watak aslinya adalah otoritarianisme.

Disrupsi legislasi (SETARA Institute, 2022) terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mengabaikan cara-cara dan prosedur yang ditetapkan dalam konstitusi dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahkan melalui praktik disrupsi legislasi, pembatasan-pembatasan kebebasan dan hak asasi manusia dilakukan secara tidak akuntabel.

Pada periode kepemimpinan Jokowi, semua peragaan disrupsi legislasi tampak nyata pada pembentukan UU Cipta Kerja, UU Perpajakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Penanganan Covid-19, Peraturan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, UU Ibu Kota Nusantara (IKN), dan sebagainya.

https://cdn-assetd.kompas.id/zM0CpkqSkoTRdhIawhThySCcRak=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F02%2F8d77d8ff-b362-4b38-8747-29588130243c_jpg.jpg

Sementara itu, autocratic legalism (Scheppele, 2018; Susanti, 2023) telah memusatkan pengambilan keputusan pada kekuasaan eksekutif dengan melemahkan pemegang kekuasaan lainnya, yang justru dalam kerangka demokratis bertugas mengawasi kekuasaan.

Dalam bahasa yang berbeda, autocratic legalism diartikan sebagai penyelenggaraan kekuasaan yang seolah-olah sesuai dan patuh secara hukum, tetapi yang dilakukannya adalah memupuk kekuasaan dan melanggar prinsip dasar berhukum dan bernegara.

Sementara, yudisialisasi politik otoritarianisme (Wiratraman, 2022) telah menyempurnakan praktik vetokrasi melalui proses pengabsahan tindakan yang merupakan elemen otoritarianisme, yang pada pokoknya memusatkan kekuasaan pada seorang penguasa dan/atau kelompok kepentingannya.

Proses-proses yudisial—baik dalam kasus perlawanan rakyat versus negara maupun kasus kriminalisasi kebebasan, dan lain-lain—sesungguhnya ditujukan untuk mengakomodasi kehendak rezim. Yudisialisasi politik otoritarianisme juga ditujukan sebagai instrumen pelemahan derajat kebebasan warga melalui produk hukum dan proses-proses yudisial.

Demokrasi seharusnya bisa diselamatkan. Vetokrasi seharusnya pula bisa dihindari. Momentum lari dari jebakan vetokrasi adalah pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.

Baca juga : Warga Negara Kompeten Versus Oligarki

Hendardi Ketua Dewan Nasional SETARA Institute

Hendardi
PRADIPTA PANDU MUSTIKA

Hendardi

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000