logo Kompas.id
OpiniMenantang Komitmen Iklim...
Iklan

Menantang Komitmen Iklim Capres

Tidak mungkin warga negara dapat berperan aktif dalam mengatasi krisis iklim jika ruang demokrasi dibatasi.

Oleh
KHALISAH KHALID
· 5 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Data dan fakta sudah sering disampaikan oleh organisasi dan komunitas lingkungan hidup terhadap tantangan krisis iklim dan kondisi lingkungan hidup yang berada di ujung tanduk jika tidak segera diselamatkan.

Forum Ekonomi Dunia telah merilis laporan ”Global Risk Perception Survey 2022-2023”, yang menyebutkan bahwa krisis iklim dan dampaknya termasuk dalam risiko global tertinggi, baik dalam dua tahun, dan terlebih lagi 10 tahun ke depan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Pemerintah dalam diplomasi internasional selalu menyatakan komitmen iklimnya. Mengklaim mampu menurunkan deforestasi, tetapi faktanya deforestasi seluas 3,4 juta hektar terjadi sepanjang 2014-2022.

Bahkan deforestasi terencana mengincar hutan Papua yang menjadi benteng terakhir hutan alam Indonesia yang seharusnya diselamatkan. Kebakaran hutan dan lahan masih menghantui Sumatera dan Kalimantan.

Selalu menggembar-gemborkan transisi energi, tetapi energi batubara masih menjadi primadona dan membuat seolah Indonesia tidak bisa lepas dari jeratan energi kotor dengan mitos energi murah. Porsi batubara masih 59,4 persen pada bauran energi tahun 2030. Terdapat penambahan PLTU sebesar 43 persen dari kapasitas existing sepanjang 2021-2030.

Nasib pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia juga mengkhawatirkan dengan ekspansi industri tambang dan perkebunan sawit, serta pembangunan atas nama proyek strategis nasional (PSN). Perampasan ruang hidup masyarakat adat dan masyarakat lokal tak berhenti menghiasi pemberitaan media, konflik agraria tak mampu diselesaikan pemerintah.

Perampasan ruang hidup masyarakat adat dan masyarakat lokal tak berhenti menghiasi pemberitaan media, konflik agraria tak mampu diselesaikan pemerintah.

Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2.710 konflik agraria terjadi pada hampir satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Sebagai negara dengan kekayaan berlimpah, ketimpangan menjadi fakta buram yang nyata. Oxfam menyebutkan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari jumlah total 100 juta orang termiskin, dan menempatkan Indonesia sebagai negara keenam dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia.

Tantangan tersebut dipastikan tak mungkin akan bisa dijawab jika calon presiden (capres) gagal memahami problem fundamental atau akar masalah dari persoalan struktural lingkungan hidup dan krisis iklim.

Kemampuan calon presiden memahami hal itu menjadi krusial agar terhindar dari penyelesaian persoalan yang sifatnya di permukaan dan dengan jawaban-jawaban teknis jangka pendek.

Sebagai contoh dalam lontaran isu penangkapan dan penyimpanan karbon pada debat sebelumnya. Alih-alih menyelesaikan masalah krisis iklim, yang muncul justru solusi palsu; atau kebijakan hilirisasi yang diharapkan memberi nilai tambah, sementara hingga saat ini hilirisasi belum berhasil menjawab tantangan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Buktinya, koefisien gini Indonesia naik menjadi 0,388 pada Maret 2023, dari sebelumnya 0,381 pada September 2022. Bukan cuma tidak berhasil dari sisi ekonomi, ketergantungan pemerintah terhadap industri ekstraktif juga terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan memperparah krisis iklim. Belum lagi kebijakan lumbung pangan dengan mengatasnamakan krisis pangan, yang malah membabat hutan alam.

Foto udara kerusakan hutan di bagian hulu di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (6/12/2023).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara kerusakan hutan di bagian hulu di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (6/12/2023).

Akar masalah dari krisis iklim dan lingkungan hidup terkait dengan paradigma ekonomi. Indonesia salah satu negara yang juga menganut paradigma dan sistem ekonomi kapitalisme, dengan narasi dan ”gula- gula” pertumbuhan tentunya.

Mari kita tengok turunannya pada kebijakan dan regulasi yang dilahirkan dari rezim ke rezim pemerintahan dan bagaimana desain pada kelembagaan yang praktiknya hingga hari ini masih sangat sektoral.

Iklan

Kita patut menanyakan apakah mereka punya visi untuk menjaga kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dan bagaimana menjawab problem ketimpangan struktur dan penguasaan sumber agraria yang selama ini dikuasai oligarki dan bahkan sudah masuk sumsum dan nadi kekuasaan?

Semua dipastikan tidak akan mampu dijawab jika pendekatannya teknis dan di permukaan, karena hingga saat ini belum tampak dengan tegas bagaimana para capres akan secara serius keluar dari jeratan ekonomi ekstraktif.

Ada janji ekonomi hijau, ekonomi biru, transisi energi, dan seterusnya, tetapi di sisi lain tetap menjadikan sumber daya alam sebagai tulang punggung dari ekonomi Indonesia, dengan mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Akar masalah dari krisis iklim dan lingkungan hidup terkait dengan paradigma ekonomi.

Sederhana saja mengujinya, apakah capres jika terpilih nanti berani merevisi sejumlah undang-undang (UU) yang problematik yang semakin mengancam ruang hidup rakyat dan memperparah krisis iklim. Sebut saja UU omnibus law Cipta Kerja dan UU Minerba yang di dalamnya sarat dengan kepentingan oligarki.

Sementara itu, Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam teronggok lusuh dalam lemari arsip regulasi, tidak pernah dijalankan.

Krisis iklim memerlukan kehadiran negara dan peran presiden terpilih menjadi kunci dalam melakukan adaptasi dan mitigasi. Kebijakan tersebut antara lain mencakup reformasi fiskal, penghentian deforestasi, dan percepatan transisi energi.

Kajian yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia bersama Celios menyimpulkan, jika pengurus negara berkomitmen dan konsisten meninggalkan ekonomi ekstraktif dan beralih ke ekonomi hijau yang berkeadilan, hal itu akan berdampak terhadap produk domestik bruto sebesar Rp 2.943 triliun dalam kurun sepuluh tahun.

Hal itu juga membuka lapangan pekerjaan dengan memberikan kesempatan kerja pada 19,4 juta tenaga kerja, yang artinya mampu menjawab keresahan anak muda akan masa depannya.

Isu elektoral

Pemilu 2024 sudah di depan mata. Hari pemungutan suara tinggal menghitung hari. Beberapa tahun terakhir, masyarakat sipil juga telah mengingatkan bahwa Indonesia saat ini berada pada situasi yang tidak baik-baik saja.

Kemunduran demokrasi berjalan bersamaan dengan semakin menguatnya oligarki pada bisnis ekstraktif yang koruptif dan mengabaikan hak asasi manusia. Demokrasi dan krisis iklim mau tak mau harus diperbincangkan dalam satu tarikan napas.

Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Perlawanan Perubahan Iklim melakukan aksi unjuk rasa di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (5/11/2021).
KOMPAS/WAWAN HADI PRABOWO

Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Perlawanan Perubahan Iklim melakukan aksi unjuk rasa di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (5/11/2021).

Bayangkan, pemilu sebagai sebuah proses demokrasi akan terancam jika bencana iklim semakin masif, dan tentu kita berupaya kuat agar hal itu tidak terjadi. Selain itu, tidak mungkin warga negara dapat berperan aktif dalam mengatasi krisis iklim jika ruang demokrasi dibatasi.

Pelbagai riset dan kampanye dilakukan oleh organisasi lingkungan hidup untuk mendorong isu lingkungan hidup sebagai isu pemilu, dengan kemenangan atau kekalahan calon dapat dipengaruhi oleh sejauh mana komitmen iklimnya, seperti bagaimana visi misi dan agenda lingkungan hidup dalam pemerintahan yang akan dipimpin ke depan.

Juga bagaimana pemilih pada akhirnya menjadikannya sebagai sebuah preferensi dalam menentukan hak politiknya. Ingat, salah pilih, susah pulih!

Baca juga: Krisis Ekosistem dan Transformasi Tata Kelola

Khalisah Khalid, Public Engagement and Action Manager, Political Working Group Coordinator Greenpeace Indonesia

Khalisah Khalid
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS

Khalisah Khalid

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000