Sejarah bangsa ini mewariskan kekerasan yang dimuat kata ”anggota”. Kata ini seolah lekat dengan segala yang kelam.
Oleh
DARMAWATI MAJID
·2 menit baca
”Saya ini anggota,” begitu ucapan Sentot kepada Radja, pada suatu malam di halaman rumah Jeng Yah, tak lama setelah hubungan pertunangannya dengan perempuan itu kandas.
Secuplik adegan ini berasal dari episode tiga Gadis Kretek (2023), film seri terbatas Netflix, diangkat dari novel Ratih Kumala berjudul sama. Dialog tokoh Sentot tersebut tak ada dalam versi novelnya. Namun, justru itu yang menjadikan tiga kata ini menarik dibincangkan.
”Saya ini anggota” telak merepresentasikan kekuatan yang tersimpan di balik kata anggota, kekuatan yang terus-menerus berusaha direpresikan negara dalam berbagai kesempatan. Meskipun Sentot mengucapkan dialog itu dengan santai sambil mengisap kretek, penonton tahu ada ancaman di sana.
Dalam film garapan Kamila Andini dan Ifa Isfansyah itu, kata anggota dipertegas maknanya menjadi ’sesuatu yang seharusnya ditakuti’. Makna tersebut tidak lagi merujuk ke makna ketiga kata anggota yang tertera dalam KBBI daring: ’orang (badan) yang menjadi bagian atau masuk dalam suatu golongan (perserikatan, dewan, panitia, dan sebagainya)’, tetapi lebih dekat ke makna ketiga (masih dari KBBI daring) kata tentara (profesi tokoh Sentot dalam Gadis Kretek): ’kesatuan alat negara yang terdiri atas orang-orang yang terlatih berperang’.
Dalam praktik berbahasa sehari-hari, anggota sering dipakai untuk menggantikan profesi kepolisian dan ketentaraan. Bahasa Indonesia merekam beberapa diksi seputar anggota: aparat keamanan, pihak berwajib, dan petugas. Beberapa kata yang biasa mengikuti kata anggota, misalnya, anggota masyarakat, anggota pramuka, anggota dewan, dan anggota partai.
Namun, ketika menyangkut profesi polisi dan tentara, ekspresi itu cukup berhenti di satu kata, anggota, dan segenap penutur wicara yang hadir pun paham maksudnya. Kata anggota bahkan mampu menyelipkan perasaan aman dan tertib. Ketika mengetahui kompleks perumahan banyak dihuni kedua profesi itu, kita otomatis berasumsi bahwa kompleks akan dijauhi pencuri.
Sayang sekali, sejarah bangsa ini mewariskan kekerasan yang dimuat kata anggota. Kata itu seolah lekat dengan segala yang kelam dari tahun 1965: pembantaian manusia, kudeta, partai terlarang. Tahun 1998 menyumbang kekerasan baru: penculikan aktivis, dan sepatu lars. Bahkan KBBI daring—dari semua penggunaan kata anggota yang bisa dijadikan contoh kalimat—mencatat salah satu, yang juga menyisipkan persepsi dari masa lalu ”Dia anggota partai terlarang”.
Persepsi akan sebuah kata sangat bisa ditentukan oleh kecenderungan zaman. Kata anggota yang menurut kamus Loan Words in Indonesian and Malay garapan Russell Jones (2008) berasal dari bahasa Sanskerta, menjelang Pilpres 2024, sering dikaitkan dengan perkara seputar politik. Leipzig Corpora Indonesia menautkan kata anggota dengan dewan, DPR, KPU, keluarga, partai, parlemen, fraksi, komisi, dan calon.
Makna anggota dalam film Gadis Kretek mewakili persepsi masyarakat mengenai alat negara kita pada suatu zaman. Namun, melalui film itu, kita diingatkan bagaimana sejarah mampu merawat persepsi. Apalagi persepsi yang dibiakkan dari trauma demi trauma yang kita rasakan, kita baca, juga kita dengarkan, bahkan kita saksikan sendiri.
Lalu, jika kita melihat bagaimana hari-hari ini alat negara justru diturunkan untuk melawan dan mengusir warga dari tempat tinggalnya, menakut-nakuti masyarakat agar melepas haknya bahkan untuk mengendalikan pilihan politik rakyat, kita jadi berpikir rasa-rasanya ada yang keliru.
Kata anggota semakin jauh dari sesuatu yang tertib dan seharusnya memberi rasa aman.