logo Kompas.id
OpiniPresiden dan Kampanye Pemilu
Iklan

Presiden dan Kampanye Pemilu

Laku presiden berkampanye, walau boleh menurut UU, memang lebih besar mudarat jika dibandingkan manfaatnya.

Oleh
BAMBANG KESOWO
· 5 menit baca
Ilustrasi/Supriyanto
SUPRIYANTO

Ilustrasi/Supriyanto

Kini ramai diperbincangkan, dipertanyakan, atau bahkan diperdebatkan: bolehkah presiden berkampanye menjelang Pemilu 2024 ini?

Kalau pokok soal hanya boleh atau tidak boleh, sebenarnya jawabnya juga mudah dan sudah tersedia.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Undang-Undang (UU) Pemilu yang kini berlaku, yang mengatur dan menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti, mengatur dan membolehkan presiden berkampanye.

Konsepsi dan kemanfaatannya

Pantaskah presiden berkampanye? Kalau soal ini, lain lagi urusannya.

Ketika UU mengatur suatu perbuatan yang dibolehkan, mestinya hal itu merepresentasikan nilai yang baik. Mencerminkan norma yang baik. Seharusnya juga demikian.

Namun, dalam kehidupan politik yang senyatanya, apalagi dalam ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan politik dan pemerintahan negara, semangat yang sering terlihat adalah mengejar dan membulatkan kesepakatan politik.

Apakah kesepakatan yang dihasilkan selalu dapat sejajar dengan dan menjunjung kepantasan yang diterima secara umum serta mencerminkan nilai, etika, dan norma yang baik, itu pula yang sering menjadi pembicaraan. Bukan hanya di ruang publik, melainkan juga di mimbar akademik.

UU Pemilu juga produk dari proses politik tadi. Bukankah dari sisi proses, UU memang tidak keliru amat jika dikatakan sebagai baju hukum dari keputusan politik? Kini, norma dalam UU itu pula yang sedang dihadapkan pada ujian. Secara hukum, presiden boleh berkampanye. UU Pemilu menegaskan itu.

Kini, banyak orang bertanya, baik dan bermanfaatkah konsepsi sekitar bolehnya presiden berkampanye yang diatur dalam pemilu tadi?

Kini, banyak orang bertanya, baik dan bermanfaatkah konsepsi sekitar bolehnya presiden berkampanye yang diatur dalam pemilu tadi?

Presiden berkampanye untuk siapa

Pertanyaan praktis yang cepat dapat diambil dalam konteks Pemilu 2024 ini adalah presiden akan berkampanye untuk apa dan untuk siapa? Untuk kepresidenan beliau?

Bukankah presiden yang menjabat saat ini sudah memangkunya dalam dua periode berturut-turut dan tak dimungkinkan untuk periode ketiga? Jadi, untuk siapa ia akan berkampanye?

Kalaupun misalnya masih mungkin dan akan berkampanye untuk periode kedua kepresidenan, hal itu pun tetap tidak umum dilakukan ”dalam jabatan” yang sedang diembannya.

Selain pagi-pagi mesti sudah terdaftar sebagai calon, presiden harus mengambil cuti dan menyerahkan pelaksanaan kewajiban penyelenggaraan pemerintahan negara kepada wakil presiden. Sudah barang tentu, asumsinya, wakil presiden juga tidak sedang ikut serta dalam pencalonan dan tidak sedang dalam kegiatan kampanye.

Cobalah tengok praktik di negara lain, baik yang jauh maupun yang dekat. Dalam kontestasi kepemimpinan negara ataupun pemerintahan, mereka yang sedang menjalankan pemerintahan, apakah itu perdana menteri ataukah presiden, masing-masing tampil sebagai dan dalam kapasitas pribadi!

Bilamana dalam pernyataan beliau mengemukakan soal hak politik, hak tersebut bukan dimiliki presiden. Presiden adalah institusi. Yang memiliki hak politik adalah manusia. Yang mempunyai hak politik adalah pribadi Joko Widodo sebagai warga negara.

https://cdn-assetd.kompas.id/kf300R1q6hSvnEqh1i4VRcw6q6g=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F31%2F1d5ee757-7efb-4a41-b790-b7d9c684419f_jpg.jpg

Namun, kalaupun tak bisa lagi berkampanye sebagai calon presiden—yang tak dimungkinkan berdasarkan UUD—secara teoretis bukanlah masalah kalau sebagai pribadi beliau berkampanye untuk pasangan calon tertentu. Bahwa dalam pasangan yang didukung dan akan dicalonkan itu ada anak beliau, soal itu pun wajar dan sah pula. Namun, dukungan dan kampanye mesti dilakukan sebagai insan pribadi.

Iklan

Keadilan

Mengapa tidak sebagai atau dalam kedudukan presiden? Dalam sistem UUD, presiden, baik selaku kepala pemerintahan maupun kepala negara, adalah pemimpin penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara.

Beliau memimpin bangsa dan negara. Keberpihakannya hanya kepada bangsa dan negaranya. Itu pula yang sesungguhnya tecermin dari sumpah jabatan sebelum memangku jabatan. Bahwa Presiden ”akan memenuhi kewajiban dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD, menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.

Dalam kontestasi kepresidenan, keberpihakannya mesti kepada semua calon pemimpin bangsa dan negara pula. Memenuhi kewajiban dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya bagi nusa dan bangsa. Kini, dalam kondisi dan situasi nusa dan bangsa yang sangat memerlukan persatuan dan kesatuan dan bukan perpecahan, sungguh layak soal ini mendapat pertimbangan.

Tampilan dan narasi di luar itu akan menabrak prinsip utama yang selalu dijunjung tinggi dan didambakan: keadilan! Dalam negara hukum yang berdasar Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi, keadilan menjadi inti dan acuan utama. Sikap dan laku untuk menjaga keadilan semestinya dipegang teguh.

Kini, dalam kondisi dan situasi nusa dan bangsa yang sangat memerlukan persatuan dan kesatuan dan bukan perpecahan, sungguh layak soal ini mendapat pertimbangan.

Soal fasilitas

Soal larangan penggunaan fasilitas negara yang melekat pada jabatan, ada pula pengaturannya dalam UU Pemilu.

Soal peletakannya dalam pasal yang berjauhan dengan pengaturan kampanye untuk presiden dan pejabat negara (termasuk menteri) dan kemudian menyulut interpretasi yang beraneka macam, bukanlah masalah.

Kalaupun itu dianggap bagian dari trik dalam teknik perundang-undangan, hal itu juga biasa. Namun, terlepas dari semua itu, bagaimana kalau soal fasilitas tersebut dikaitkan pada isu kampanye oleh presiden?

Presiden bukan saja predikat dari fungsi yang beroperasi 24 jam sehari dan untuk lima tahun lamanya. Tanpa henti. Tidur pun pejabatnya tetaplah presiden. Fasilitas, protokol, preseance, dan pengamanan, berikut segala fasilitas, tetap melekat semasa itu.

Bilamana Presiden berkampanye, lantas bagaimana mesti melarang penggunaan fasilitas yang melekat? Soal ini lebih mudah dibicarakan atau ditulis daripada dilaksanakan.

Namun, kalau mesti berkampanye sebagai pribadi, pertanyaannya: mungkinkah? Jika pertanyaan ditujukan kepada Pak Jokowi, yang sehari-hari dan bahkan sewaktu memakai kaus santai dan olahraga pagi pun selalu menyematkan ”pin” Tanda Kehormatan Bintang RI di dada kiri, sanggupkah beliau?

Kalaupun yang namanya fasilitas presiden mesti dikurangi sejauh mungkin dan hingga pengawalan pribadi yang melekat, bisakah hal itu diwujudkan? Perlu diresapi, soal tersebut tetap saja akan menyangkut keamanan dan keselamatan seorang kepala pemerintahan dan kepala negara RI.

Dari selisik singkat ini, diputar bagaimanapun, kalau menyangkut presiden, pelaksanaan kampanye oleh presiden pasti menyangkut soal yang ribet. Bukan hanya bagi presidennya repot, petugas mengalami kesulitan dan rakyatnya ”eker-ekeran” sendiri dalam menyikapi. Sebaliknya, untuk sebuah pengaturan yang fasilitatif sifatnya, tak digunakan juga bukanlah sebuah pelanggaran.

https://cdn-assetd.kompas.id/RWUx-e_X2nhfij1Ku8KwOreBCig=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F05%2F2346b815-bf0a-4048-beea-9bbdc8c84990_jpg.jpg

Lebih banyak mudarat

Tampaknya, dari segala sudut pandang, laku presiden berkampanye, walau boleh menurut UU, memang lebih besar mudarat jika dibandingkan manfaatnya.

Hak politik memang ada dan dimiliki. Semua mesti menghormatinya. Namun, adakalanya, untuk kepentingan yang lebih besar, lebih arif jika penggunaan hak tidak terlalu dikedepankan.

Bilamana lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya, lebih baik hak politik digunakan di kesempatan lain, dalam situasi dan kondisi yang lebih bebas, lebih nyaman, dan tidak dilibat oleh berbagai kontroversi seperti saat ini.

Pengorbanan sementara serupa itu terhormat dan sangat dihargai. Kalau seluruh anggota TNI saja bisa, apalagi seorang presiden. Bapak Joko Widodo pasti bisa!

Baca juga : Cawan Rapuh Demokrasi

Bambang Kesowo, Pengajar Sekolah Pasca FH-UGM, 2005-2020

Bambang Kesowo
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Bambang Kesowo

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000