Banjir di Kalimantan dan Sumatera memberi pelajaran berharga. Banjir disebabkan ulah manusia yang merusak lingkungan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kompas.id dan harian Kompas beberapa hari terakhir melaporkan dua contoh banjir yang juga disumbang ulah manusia. Di Pulau Kalimantan, banjir menghambat lalu lintas jalur Trans-Kalimantan di Kalimantan Tengah (Kalteng). Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kalteng, banjir merendam lima dari 14 kabupaten/kota hingga Kamis (25/1/2024). Lima daerah yang kebanjiran adalah Barito Selatan, Barito Utara, Murung Raya, Kapuas, dan Kotawaringin Barat.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng Bayu Herinata menjelaskan, banjir terjadi pada waktu yang relatif sama setiap tahun. Lokasi dan wilayahnya pun serupa. Banjir selalu terjadi di daerah yang kondisi lingkungannya rusak. Namun, hingga kini belum ada upaya mitigasi serius. Bayu mencontohkan Barito Utara dan Murung Raya, dua kabupaten di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Sungai Barito membentang sepanjang 909 kilometer yang membelah Kalteng dan Kalsel. Di DAS Barito, kerusakan lahan terjadi lantaran hilangnya tutupan hutan. Seluas 121.555 hektar berubah menjadi lahan perkebunan, pertambangan, dan hutan tanaman industri.
Di Pulau Sumatera, hujan terjadi di Pagaralam dan Lahat, Sumatera Selatan (Sumsel), Sabtu (27/1/2024) pagi. Hujan dengan intensitas tinggi dan berdurasi cukup lama itu menyebabkan sejumlah anak sungai dan Sungai Lematang meluap dengan debit air tinggi. Hal itu mengakibatkan 21 rumah terendam air di Kecamatan Pagaralam Utara. Beberapa infrastruktur rusak, antara lain tiga jembatan rusak ringan dan satu jembatan rusak berat di Pajar Bulan, serta satu ruas jalan ambles di Kecamatan Lahat.
Tak hanya di kawasan hulu Sumsel, banjir pun mulai memasuki wilayah Palembang di hilir. Sejak Sabtu pagi, sejumlah permukiman di sekitar anak Sungai Musi Palembang tergenang air yang diakibatkan oleh akumulasi curah hujan tinggi dan pasang air laut. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Palembang Akhmad Bastari mengatakan, tantangan utama mengatasi banjir di Palembang adalah kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan, terutama ke sungai. Di samping itu, banyak saluran pembuangan air yang ditutupi oleh bangunan liar.
Dari dua contoh banjir itu, terlihat manusia berkontribusi dalam menyebabkan kerusakan lingkungan baik di hulu maupun di hilir sungai. Dalam banjir di Kalimantan, manusia berkontribusi menghilangkan tutupan hutan di hulu sungai, sedangkan dalam banjir di Sumatera, manusia berkontribusi dengan merusak kawasan hilir sungai.
Pelajaran berharga yang didapat, banjir menjadi alarm bagi kita untuk selalu menghormati alam, sehingga ketika musim hujan datang, dampak lebih besar dapat diminimalkan.