Apakah Dapur Kita adalah satu-satunya restoran Indonesia di Dubai?
Oleh
JEAN COUNTEAU
·3 menit baca
Ayam penyet. Pasti kalian pernah makan masakan Jawa itu. Biasanya gurih dan minta ditambah. Itulah biasanya yang saya lakukan. Tetapi, ada penyet dan penyeet. Dan, justru di restoran ini penyetnya betul-betul dipenyet: tulang paha ayamnya betul-betul hancur dan sambalnya betul-betul meresapi paha ayam.
Ayam yang bukan sembarang ayam. Pokoknya enak. Dari membauinya saja, air liur saya sudah keluar. Dan, apa pun larangan istri—mau jadi gemuk? Teriak-ku; Mas, saya mau menambah.
Apalagi kalau bukan di restoran ”Dapur Kita” ini. Di mana gerangan restoran ini, pikir Anda, ingin menikmati gurihnya? Tetapi, sayang disayang!... dan jangan kecewa: restoran Dapur Kita itu bukanlah berada di Kemang atau di Yogya, tetapi di negeri dongeng yang nun jauh di sana, tempat cowok ganteng jenggotan berjubah putih itu, di Dubai, di bawah bayangan menara tertinggi di dunia, Burj Khalifa. Wah....
’Ngapain’ orang Indonesia itu, apa lagi perempuan, Eva namanya, yang mampu membuat, di Dubai, ayam penyet yang lebih enak daripada di restoran mana pun di Jakarta?
”Ngapain” orang Indonesia itu, apa lagi perempuan, Eva namanya, yang mampu membuat, di Dubai, ayam penyet yang lebih enak daripada di restoran mana pun di Jakarta? Penyet yang, ”dipikirin” saja, sudah membuat air liur keluar tak tertahankan di gusi dan ujung lidah saya. Um! Um. Enak.
Apalagi penikmatnya bukan orang Jawa saja. Tadi, di sekeliling saya ada pasangan India, orang Afrika entah dari mana, orang Arab, satu dua anak Indonesia. Tak ada mengeluarkan kata satu pun. Terdengar bunyinya kunyahan saja. Di Dapur Kita, baru orang ngomong hanya bila habis mengunyah karena mutu omongan memang jarang menyamai mutu penyetnya. Gurih. Dan pedasnya enak.
Ketika Ibu Eva datang untuk ngobrol, baru duduk, dia sudah tertawa lebar, yaitu bersikap terbuka sebelum tersipu. Pas! Siapa tak senang dengan sikap itu. Tapi, jangan salah tangkap. Eva bukan ”ibu-ibu” kampung yang membuka restoran setelah terdampar di negeri orang. Bukan!! Dan itulah yang menarik: orangnya modern; mantan pegawai charter dan flight attendant, nikah dengan flight-controller.
Artinya, orang Indonesia masa kini, dinamis, kosmopolit, yang siap menangkap peluang ”bisnis” mana pun, di mana pun. Peluang bisnis itu kebetulan ada di bidang ”lidah” untuk negeri yang tengah booming, kelebihan tambang minyak: berasal dari satu restoran yang tengah mau ditutup, dan pegawainya mau dirumahkan.
Ayuk! Pikir Eva dan suaminya. ”Mari kita coba.” Dengan menerapkan prinsip penerbangan, demikian layaknya dapur. Bila di pesawat tak boleh ada sekrup sebiji pun yang salah pasang—kecuali di Boeing 737 Max 9 itu—di dapur sekrup bumbu hasilnya enak, sambal harus pas pedasnya, ayam kampung harus benar-benar dari kampung, ikan lele tak boleh dari kemarin dulu, dan senyuman pelayan tak boleh bernada ringisan. Pendeknya, harus pro. Tugas Eva menjaganya, secara modern, bukan dengan memarahi, melainkan dengan menentukan standar yang ketat, seperti di dunia penerbangan.
Di tempat seperti itu, apa yang khas Indonesia: suasana santai, senyum keliling. Kalau sudah keluar di jalan di negeri ini, orang seperti saya terus dibuat bingung? Bingung melihat obsesi setempat dengan tubuh perempuan: apakah karena celana pendek ketat yang kelewat pendek, atau karena abaya panjang dengan muka berhijab yang tertutup. Paradoks modernitas.
Lalu, apakah Dapur Kita adalah satu-satunya restoran Indonesia di Dubai. Tidak. Konon terdapat ribuan orang Indonesia di negeri ini. Dan orang-orang itu harus dilayani selera makannya. Ada saja yang merindukan tempe, terasi, dan daging rendang. Ada tokonya, bahkan ada minimarket Alfamart-nya. Tetapi, ada juga warung dan bahkan restorannya.
”Apa terganggu dengan persaingan yang ada,” saya bertanya kepada Ibu Eva tanpa mempersoalkan apakah di menu mereka ada, atau tidak, ayam penyetnya. Dia langsung menjawab santai: ”Mereka adalah kompetitor saya, tetapi kita semua sama: sama-sama mencari rezeki.”
Enak, kan, di Dubai. Bisa berjemaah secara sah mencari rezeki. Coba bilang itu pada para caleg tertentu: kenapa tidak ke negeri seperti Dubai saja untuk bekerja sambil mencari rezeki biasa. Daripada ramai-ramai mencalonkan diri agar sama-sama, seusai tanggal 14 Februari, mencari tomplokan rezeki.