logo Kompas.id
OpiniJanji Politik, Berita Bohong, ...
Iklan

Janji Politik, Berita Bohong, dan Politik Penyangkalan

Terjadi anomali dalam demokrasi Indonesia akibat sikap abai para politisi terhadap janji kampanye mereka.

Oleh
VIDHYANDIKA D PERKASA
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/VGiX6hITNDfQUKyqwe1n4J9HfN8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F05%2F6a400c0c-1ed4-427a-be1e-4a11ea7684a9_jpg.jpg

Tahun politik 2024 merupakan momen bagi masyarakat Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif yang baru. Saat ini publik tengah antusias menyaksikan debat calon presiden dan calon wakil presiden sebagai sarana mengekspos visi-misi para kandidat tersebut.

Dalam hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fernandes (2023) menyebutkan bahwa debat diperkirakan dapat memengaruhi terjadinya penggeseran dukungan pemilih pada kandidat yang sudah dipilih sebelum debat berlangsung atau untuk memoderasi, bahkan mengoreksi pilihan seseorang. Sementara di tingkat daerah juga bermunculan poster dan baliho kandidat calon anggota legislatif beserta janji-janji bombastis dan retorika manis guna menarik dukungan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Meskipun debat dan penyampaian janji-janji dalam masa kampanye merupakan tahapan yang penting dalam proses politik, publik seakan dilanda amnesia terhadap apa yang dijanjikan para pemimpin terpilih pascapemilu. Hal ini mencerminkan lemahnya akuntabilitas politik pemimpin terhadap pemilihnya.

Baca juga: Ontologi Janji

Selain itu, negara ini juga tidak mengenal sistem ”kontrak politik” yang mengikat pemimpin dengan konstituennya. Dalam kontrak tersebut, idealnya ada perjanjian bahwa pemimpin terpilih harus benar-benar mewujudkan apa yang sudah dijanjikannya.

Tulisan ini mendiskusikan anomali dalam demokrasi Indonesia akibat sikap abai para politisi terhadap janji kampanye mereka. Sering kali hal ini dilakukan lewat politisasi penyangkalan dan cap berita bohong terhadap kritik atau fakta yang merugikan citra mereka. Hal ini telah mencederai proses demokrasi.

https://cdn-assetd.kompas.id/-EU_bOAiKS7XJAmqaQCXJTIjXV4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F10%2F61ac6ab5-3f33-43e8-8bb7-421a726f0a9c_jpg.jpg

Politik penyangkalan

Dalam gimmick politik, sering kita dengar bahwa rakyat ”dimanfaatkan” hanya untuk kepentingan meraih suara pada masa pemilu. Hal tersebut menjadi kondisi empiris di beberapa wilayah di Tanah Air. Banyak kasus yang terjadi di daerah di mana pemimpin atau wakil rakyat terpilih sudah tidak lagi memedulikan kepentingan rakyatnya.

Kritik rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang ”gagal” yang sering kali diberitakan melalui media sosial dan cetak atau yang viral sering kali malah dianggap sebagai suatu berita bohong (fake news). Harapannya, apabila ada klaim dari pemerintah bahwa berita tersebut adalah suatu berita bohong, publik akan mengurangi tingkat kepercayaannya terhadap berita tersebut.

Secara empiris, masih jarang dijumpai upaya memverifikasi informasi yang dilakukan pemegang kekuasaan terkait berita yang memojokkan mereka yang seharusnya bisa untuk memuaskan kepentingan publik.

Secara konseptual, perilaku pemerintah untuk membantah kritik dalam pemberitaan disebut sebagai politik penyangkalan (politics of denial). Hal ini dilakukan agar ”citra baik” pemerintah tetap terjaga, terutama menjelang pemilu.

Stigma berita bohong kerap dijadikan senjata untuk mengintimidasi dan menutup suara kritik.

Peran media sangat besar dalam memengaruhi citra pemerintah. Ironisnya, dijumpai banyak kasus di mana para jurnalis justru diancam karena menulis berita yang memuat suatu kebenaran, tetapi justru dianggap mendiskreditkan kinerja pemerintah.

Studi menunjukkan bahwa di beberapa negara, penguasa kerap menggunakan berita bohong dan penyangkalan untuk menekan suara kritik dan menutupi kelemahannya (Wang & Huang, 2020). Sayangnya, kebiasaan serupa kini merambah ke proses politik dan demokrasi di Indonesia.

Dampaknya cukup merugikan. Pertanyaan menariknya adalah bagaimana kita memahami berita yang sudah diklaim sebagai berita tidak benar oleh pemerintah tersebut akhirnya terbukti sebagai suatu informasi yang benar?

Pertama, penyangkalan yang terbantahkan melalui kebenaran justru akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata warga. Ini berisiko menurunkan kepercayaan publik pada sistem politik secara keseluruhan.

Kedua, sangat mungkin informasi negatif yang disebut hoaks ternyata fakta valid. Penyangkalan yang prematur tanpa melakukan verifikasi yang memadai sering kali justru dipakai sebagai strategi untuk menutupi kelemahan dalam sistem pemerintahan, seperti masalah korupsi atau kebijakan yang salah.

Iklan

Ketiga, stigma berita bohong kerap dijadikan senjata untuk mengintimidasi dan menutup suara kritik. Ini ancaman serius bagi kebebasan berpendapat dan pers.

Mural tentang kebebasan berpendapat tergambar di sebuah dinding di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, 16 Juni 2021.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Mural tentang kebebasan berpendapat tergambar di sebuah dinding di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, 16 Juni 2021.

Kasus politik penyangkalan

Sebagai contoh kasus politik penyangkalan, pada 2019, kabut asap Riau diklaim tidak separah pemberitaan. Padahal, data menunjukkan angka yang buruk. Pemerintah mengklaim indeks standar pencemaran udara (ISPU) Riau masih di bawah 300, angka yang dianggap aman.

Namun, data satellite NASA dan LAPAN menunjukkan sejumlah wilayah di Riau mengalami titik panas akibat kebakaran hutan dengan ISPU mencapai lebih dari 700. Angka ini jauh melampaui ambang batas sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 25.

Berbeda dengan kasus di atas, studi CSIS di Papua telah menemukan variasi politik penyangkalan yang dilakukan pemerintah. Sebagai contoh, pada Juli 2023 dalam kunjungannya ke Jayapura, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Papua aman dan meminta masyarakat untuk tidak membesar-besarkan masalah-masalah negatif.

Baca juga: Konflik Papua dan Kegagalan Perlindungan Warga Sipil

Pernyataan ini bertolak belakang dengan kondisi empiris di Papua, dimana terjadi eskalasi konflik dan kekerasan. Politik penyangkalan ini bertujuan untuk menutupi ”kegagalan” pemerintah dalam menerapkan keamanan di tanah Papua.

Politik penyangkalan juga terjadi pada fenomena kekeringan di Kabupaten Yahukimo yang mengakibatkan 17 warga meninggal akibat kelaparan dan gagal panen pada Oktober 2023. Ironisnya, kabar tersebut dibantah oleh Bupati Yahukimo.

Menurut Bupati, kematian tersebut disebabkan oleh penyakit dan bukan kelaparan. Informasi bahwa terjadi kematian karena kelaparan dianggap sebagai berita bohong. Faktanya, masyarakat memang meninggal karena kelaparan akibat perubahan cuaca.

Ratusan warga Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, mengalami kelaparan akibat tanaman pangan di kebun mereka mengalami kerusakan, Juni 2022. Kondisi ini disebabkan fenomena alam embun beku.
BPBD LANNY JAYA

Ratusan warga Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, mengalami kelaparan akibat tanaman pangan di kebun mereka mengalami kerusakan, Juni 2022. Kondisi ini disebabkan fenomena alam embun beku.

Solusi

Kedewasaan publik dalam proses politik memang suatu hal yang perlu ditingkatkan. Debat, visi-misi, dan adu gagasan tidak selayaknya hanya diperlakukan sebagai suatu hiburan politik, tetapi suatu modal untuk mendorong perwujudkan akuntabilitas pemimpin pascaterpilih dan sekaligus juga membawa perubahan positif bagi kehidupan masyarakat sesuai dengan visi dan misi yang ditawarkan.

Dengan kata lain, tahapan pascadebat dan kampanye setelah terpilih pemimpin yang baru juga menjadi hal yang penting. Masyarakat jangan terbawa euforia kemenangan pemimpin pilihannya tanpa dengan kritis mengawal bagaimana mereka mewujudkan janji-janji politik mereka.

Selain itu, perlu juga adanya peningkatakan akuntabilitas politik melakukan mekanisme hukum yang memantau kinerja pemimpin terpilih. Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah membentuk lembaga independen yang bertugas memverifikasi informasi sebelum dilabeli sebagai berita bohong secara sepihak oleh elite penguasa.

Baca juga: Demokrasi dan Orang-orang Biasa

Lembaga ini idealnya bebas dari kepentingan politik sehingga dapat menjadi penengah obyektif dalam mengklarifikasi kebenaran suatu berita. Selain itu, perlu ada sanksi tegas bagi figur publik atau lembaga yang terbukti secara sengaja menyebarkan informasi tidak benar. Sanksi ini penting untuk mencegah stigma berita bohong yang disalahgunakan untuk menutupi fakta yang tidak menguntungkan citra seseorang.

Meningkatkan literasi digital dan kritis warga juga perlu dilakukan dengan segera agar masyarakat makin cerdas dalam menyaring informasi valid di tengah banjirnya pemberitaan palsu. Platform media sosial perlu mendukung upaya ini dengan menerapkan fitur peringatan kredibilitas pada konten yang diragukan kebenarannya.

Terakhir, publik juga perlu meningkatkan kedewasaan dalam berpolitik dengan lebih kritis menilai kinerja pemimpin, berani menagih janji politiknya serta melawan politik penyangkalan yang dilakukan.

Vidhyandika D Perkasa, Peneliti Senior Department Politik dan Perubahan Sosial CSIS

Vidhyandika D Perkasa
VIDHYANDIKA D PERKASA

Vidhyandika D Perkasa

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000