Tulisan Hariadi Kartodihardjo (Kompas, 23/1/2024) memuat pesan penting untuk khalayak. Terlebih untuk para pasangan calon presiden-wakil presiden dan calon anggota legislatif yang hari-hari ini riuh berkontestasi. Pesan itu dapat dilihat setidaknya dari dua kata kunci, yaitu krisis ekosistem dan (perlunya) transformasi tata kelola.
Tulisan itu meyakini, transformasi tata kelola bisa jadi jawaban untuk dapat mengatasi krisis ekosistem. Yang dimaksud antara lain reposisi cara pikir dan cara pandang atas hasil sumber daya alam dan lingkungan menjadi tidak sekadar kumpulan komoditas ekonomi. Artinya, perlu diperhatikan adanya sejumlah nilai dan manfaat yang tidak melulu ekonomi. Dengan begitu, diperlukan pembaruan cara pikir yang sifatnya non-ekonomi.
Reposisi dan pembaruan cara pikir demikian jadi modalitas bagi transformasi tata kelola. Transformasi demikian tidak mudah saat dibenturkan dengan realitas pelaksanaan pemerintahan saat ini.
Disebutkan, pelaksanaan pemerintahan saat ini bertumpu pada dua dunia. Dunia pertama, penyiapan hukum formal dengan segala perangkat aksi lanjutannya. Dunia kedua berupa tindakan menyimpang (atas pelaksanaan hukum formal itu) yang justru dilakukan pelaku dunia pertama. Dunia kedua mewujud menjadi struktur kepemerintahan berupa jaminan loyalitas.
Rendahnya gaji dan minimnya fasilitas sehingga menjebak para pelaku menyimpang ini masuk perilaku koruptif, melahirkan struktur macam itu. Loyalitas dimaksud dangkal dan bermakna dua arah: kepada atasan pelaku dan kepada pihak yang berkompromi untuk bertindak koruptif. Beberapa ilustrasi kasus dalam tulisan mengonfirmasi hal ini.
Praktik dunia kedua memosisikan korupsi lebih sebagai representasi menguatnya institusi ekstralegal—suatu jaringan dipelihara kekuasaan yang faktanya melebihi kekuasaan legal negara. Penguatan ini dicemburui terutama oleh semakin merajalelanya oligarki.
Haryatmoko (Kompas, 24/1/2024) menyinyalir oligarki telah menjadi lingkaran setan. Dengan realitas ini, meniadakan institusi ekstralegal menjadi syarat perlu bagi transformasi tata kelola. Untuk itu, bisa coba dimanfaatkan pendekatan Heldeweg (2019). Ia fokus pada perencanaan dan pengaturan hukum tata kelola dalam mengatasi tindakan kolektif dengan coba connecting rules-in-form to rules-in-use dari situasi aksi yang ada.
Azis Khan
Bubulak, Bogor
Layanan Jasa Antar
Saya ingin berbagi pengalaman mengirim paket dengan jasa layanan Tiki semoga bisa jadi bahan pertimbangan para (calon) pengguna jasa antar.
Tanggal 16 Januari yang lalu, istri saya mengirim hadiah untuk teman yang akan berulang tahun pada Jumat, 19 Januari. Ia tinggal di kompleks perumahan di Tangerang Selatan. Biasanya paket akan diterima 1-2 hari kemudian.
Waktu saya cek pada 19 Januari ternyata dikatakan bahwa alamat yang dituju berada di daerah abu-abu sehingga akan dicoba lagi dikirim dan akan diterima Sabtu.
Pada hari Sabtu, saya cek lewat tracking online Tiki dan muncul tulisan ”success—kiriman dikembalikan kepada pengirim: Putra”. Karena tidak ada yang bernama Putra di rumah kami, saya menjadi khawatir. Saya pergi ke Kantor Pusat Tiki di Jalan Raden Saleh. Jawaban lebih simpang siur lagi. Petugas menelepon nomor yang ada di alamat penerima dan dikonfirmasi ”belum diterima”.
Saya minta paket dikembalikan saja ke pengirim. Setelah itu kami cek terus pada Senin dan Selasa. Akhirnya paket dapat saya ambil kembali di tempat agen pada Selasa (23/1/2024) siang.
Pertanyaan saya kepada Tiki, apakah proses perekrutan kurir sudah benar dan mereka diajari menggunakan Google Maps dan/atau menelepon penerima yang nomornya ada di paket tersebut?
Semoga Tiki dan layanan jasa antar lainnya bisa menggunakan pengalaman saya ini untuk memperbaiki sistem layanannya agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik.
Untuk (calon) pengguna jasa layanan antar supaya berhati-hati memilih layanan jasa antar.
Wadyono Suliantoro
Kuningan, Jakarta Selatan