Reduksi Penanganan Tengkes
Saatnya untuk jujur mengakui, tengkes adalah bukti paling nyata tak tercapainya politik kesetaraan dan keadilan jender.
Survei Status Gizi Indonesia 2022 menyebut, prevalensi tengkes (tinggi dan berat badan anak tak sesuai umur) sekitar 21,6 persen.
Artinya, satu di antara empat anak Indonesia mengalami tengkes. Jika diasumsikan separuh dari mereka perempuan, setiap kegagalan penanganan tengkes saat ini akan berpengaruh ke dua dekade mendatang saat Indonesia menyongsong Indonesia Emas di 2045.
Saat itu akan ada 10,3 persen atau 3,3 juta perempuan gagal tumbuh dan berkembang sempurna serta berisiko pada gangguan reproduksinya. Bahkan, memiliki risiko kematian akibat tengkes di masa kini.
Standar WHO menetapkan prevalensi tengkes di setiap negara harus di bawah 20 persen. Indonesia patut berbangga karena dari tahun ke tahun, angkanya turun. Sepuluh tahun lalu (2013) angkanya 37,2 persen.
Abaikan kompleksitas
Bagaimana capres-cawapres berstrategi menekannya? Pasangan calon nomor urut 1 menawarkan program: pendampingan ibu hamil dan dukungan lintas sektor bagi kader pengelola program. Pasangan nomor urut 2: memberi makan siang gratis bagi siswa prasekolah, bantuan gizi bagi ibu hamil dan anak balita, serta gerakan minum susu dengan target ibu-ibu dan anak-anak.
Pasangan nomor urut 3: mendukung asupan gizi selama kehamilan dan menyusui, penyediaan pasokan gizi di seribu hari pertama kehidupan, menurunkan prevalensi di bawah 9 persen (untuk 2024 negara menargetkan 14 persen, dari 21,6 persen saat ini).
Secara umum bisa dilihat ketiganya menggunakan pendekatan sama dan berangkat dari cara pandang tak jauh beda. Tengkes dipandang sebagai persoalan keterbatasan akses makanan bergizi, khususnya pada perempuan (anak balita, remaja, dan perempuan hamil). Karena itu, strategi yang diusulkan mendekatkan akses ke sumber daya pangan bergizi, jika perlu sampai ke mulut anak atau ibu hamil.
Berdasarkan data per provinsi, tengkes terjadi di sebagian besar wilayah yang berhadapan dengan krisis ekologi dan perubahan besar-besaran dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah menjadi wilayah industri.
Pendekatan itu tampaknya mengabaikan kompleksitas anatomi tengkes dilihat dari akar masalahnya, yaitu ketimpangan jender dan ketimpangan distribusi kesejahteraan antarwilayah. Berdasarkan data per provinsi, tengkes terjadi di sebagian besar wilayah yang berhadapan dengan krisis ekologi dan perubahan besar-besaran dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah menjadi wilayah industri.
Ironisnya wilayah itu penyumbang devisa negara di industri ekstraktif, migas, dan foodestate, terutama sawit. Prevalensi jauh di atas rata-rata nasional terjadi di semua wilayah Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, wilayah timur (NTT, Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Maluku), dan wilayah tengah (NTB). Di wilayah barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat di ambang batas rata-rata nasional.
Dari situ, tidakkah terpikirkan untuk melihat hubungan kausalitas yang berpengaruh kepada tengkes?
Sebagai cermin, angka prevalensi perkawinan anak tertinggi terjadi di wilayah-wilayah yang mengalami krisis ekologi serta perubahan kepemilikan dan pengelolaan tanah, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan NTB.
Munculnya industri tambang, migas, dan perkebunan sawit, atau perubahan tata kelola tanah dari pertanian ke industri manufaktur atau pariwisata berdampak pada hilangnya kuasa lelaki atas tanah dan dignity mereka dalam masyarakat patriarkis. Mereka yang kehilangan kuasa dan kelola atas tanahnya tak memiliki kuasa politik lain selain meneguhkan kembali melalui relasi kuasa paling tradisional di tingkat keluarga, pasangan atau warga.
Dalam keterbatasan sumber ekonomi akibat perubahan kepemilikan tanah, mereka mengukuhkan dominasinya dengan memainkan norma-norma jender yang makin konservatif dan dominatif.
Dalam kasus kawin anak, misalnya, mereka akan melepaskan anak perempuannya untuk kawin, meski masih di bawah umur, untuk memperoleh uang kontan dari hasil perkawinan anaknya atau mendapatkan tenaga kerja baru yang dapat membantu ekonomi keluarga.
Pada waktu bersamaan, kaum perempuan, hampir tanpa pilihan, akan masuk ke pasar kerja tanpa keterampilan memadai, sedangkan lelaki tak dimampukan secara sosial menjadi orangtua pengganti meski mereka tak lagi punya pekerjaan. Dalam situasi inilah anak perempuan menjadi yatim piatu sosial, punya ayah punya ibu tapi tak memiliki keberdayaan sebagai pelindung/pendukung anak (Rumah Kitab 2017).
Akar masalah tengkes
Penanganan tengkes yang selama ini dioperasionalkan pemerintah melalui wapres telah menyentuh pendekatan sosial keagamaan dan relasi jender tradisional dengan penyadaran tentang pentingnya keluarga terutama ibu menyayangi dan melindungi keluarga.
Namun, pendekatan serupa itu tanpa melihat akar masalah yang lebih dahsyat, yaitu soal keadilan dan kesetaraan ekonomi, tak akan mampu mengembangkan daya ungkit untuk perbaikan relasi jender yang memberdayakan perempuan dan keluarga.
Pendekatan yang ada hanya akan menambal dan menyulam kebocoran kecil, sementara duduk masalah tengkes adalah jebolnya bendungan daya tahan keluarga akibat perubahan pengelolaan politik ekonomi bias jender yang hanya berorientasi keuntungan kumulatif dan mengabaikan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan.
Saatnya untuk jujur mengakui, tengkes adalah bukti paling nyata tak tercapainya politik kesetaraan dan keadilan jender dalam akses, partisipasi, manfaat, dan kontrol (APKM) atas sumber daya politik, ekonomi yang beroperasi sampai ke tingkat keluarga bahkan di dapur dan meja makan.
Ketika anak balita perempuan atau perempuan hamil mengalami gizi buruk, maka sesungguhnya telah terjadi ketimpangan yang cukup akut dan berlangsung lama dalam relasi dan pengambilan keputusan antara anak dan orang dewasa, bayi dalam kandungan/ibu hamil dengan ibu dan bapaknya dalam mengakses ke sumber daya terutama pangan.
Sepanjang persoalan relasi kuasa atas sumber daya ekonomi tak terpecahkan, dan sepanjang pengambilan keputusan pada perempuan, anak perempuan tak berhasil dibangun, maka upaya perbaikan gizi tak akan optimal.
Ketimpangan dalam mengakses pangan jelas tak dapat diserahkan kepada sistem kesejahteraan sosial seperti mengandalkan para kader desa, kader posyandu atau PKK atau ormas yang secara tradisional senantiasa menjadi kaki tangan negara dalam pembangunan untuk kesejahteraan perempuan.
Sepanjang persoalan relasi kuasa atas sumber daya ekonomi tak terpecahkan, dan sepanjang pengambilan keputusan pada perempuan, anak perempuan tak berhasil dibangun, maka upaya perbaikan gizi tak akan optimal. Sebab, ketika anak dan perempuan mengalami gizi buruk, maka sesungguhnya negara telah gagal membangun politik ekonomi berorientasi kesejahteraan dan keadilan.
Baca juga : Gotong Royong Percepat Penurunan Tengkes
Lies MarcoesGEDSI Specialist