”Kecelik” Figur Teladan
Ingatlah, rakyat punya hati nurani. Ia paham dengan akrobat para badut kehidupan.
Semesta keteladanan para tokoh dan pemimpin di negeri ini bagi pendidikan kita sedang ambyar. Mereka asyik dengan mainannya. Mereka tega dan tidak ambil peduli dengan dampaknya bagi pemberantakan bangunan karakter bangsa ini.
Hari ini semakin sulit bagi kita untuk memungut tokoh bangsa sebagai figur teladan. Membangun karakter bangsa bisa dilakukan salah satunya dengan meniru tokoh teladan. India punya Mahatma Gandhi. Amerika punya Abraham Lincoln.
Menemukan tokoh teladan dan panutan kian sulit karena kini jejak digital dan kisah masa lalu banyak dieksploitasi untuk membongkar jejak kelam para pesohor di negeri ini. Eksploitasi dilakukan dengan intensi menghancurkan karakter orang lain sebagai lawan atau musuhnya.
Mereka mematutkan wajah diri sendiri dengan menghancurkan wajah orang lain. Atmosfer divide et impera dalam kehidupan berbangsa meruap pekat dalam selancar digital.
Media digital kita jenuh dengan argumentasi dan keculasan merangkai narasi yang mengagungkan seorang tokoh dan memburamkan jejak tokoh lain. Namun, ada juga tokoh yang tega dan sengaja membuat anak bangsa kecelik dalam merawat ingatan tokoh teladan. Dengan sadar dan tega mereka berantakkan bangunan karakter anak bangsa ini.
Media digital kita jenuh dengan argumentasi dan keculasan merangkai narasi yang mengagungkan seorang tokoh dan memburamkan jejak tokoh lain.
Kebiasan mengelabui
Kecelik itu kondisi seseorang yang salah menerka, salah menduga, salah memahami, dan salah mengerti tentang suatu ihwal yang telah dialami dalam durasi waktu yang wajar. Ketika di bulan Desember lalu tidak turun hujan, bisa dikatakan kita kecelik karena ada pemahaman bahwa di bulan Desember pasti banyak turun hujan.
Kondisi kecelik mengingatkan kita pada syair lagu ”Kapusan Janji” yang dinyanyikan mendiang Didi Kempot. Sebagian syair itu bertutur: ”Ningopo kowe janji/ Yen mung ngapusi?/ Ningopo kowe nong ati/ Yen mung ngelarani?/ Tresnamu uwis ilang/ Garing kegowo angin/ Yen ngerti koyo ngene/Kenal kowe ora pengin”.
(Mengapa engkau berjanji bila ujungnya hanya ingin berdusta? Mengapa engkau memikat hatiku bila ujungnya engkau hanya ingin menyakiti? Cinta dan kasihmu telah hilang, kering hilang terbawa angin. Kalau tahu seperti ini kenyataannya, aku tak ingin mengenalmu).
Penggalan lirik tembang itu persis menggambarkan rakyat Indonesia yang kecelik dengan akrobat penghadiran diri sejumlah tokoh dan pemimpin bangsa di hadapan rakyat. Kehadiran tokoh yang telah lama dianggap rakyat sebagai kesatria unggul atau negarawan tiba-tiba tanpa ragu hadir sebagai badut-badut kehidupan yang tega mengelabui rakyat dengan amat menyakitkan.
Dalamnya rasa sakit rakyat yang dikibuli para tokoh negeri ini tersirat pada bait ”Kapusan Janji” selanjutnya: ”Larane ati iki/Nganti kapan ora ngerti/Seprene ra ono wong/ Sing nambani/” (Tak ada yang tahu sampai kapan rasa sakit hati ini. Hingga kini tak ada yang peduli untuk mengobati rasa sakit hati ini).
Persis seperti itulah derita rakyat yang dikelabui oleh para tokoh bangsa dan pemimpin yang dengan tega serta sadar melakukan polah tingkah akrobat badut kehidupannya. Mungkinkah kebiasaan berdusta dan mengelabui rakyat telah membuat mereka tega dan tak ambil peduli dengan upaya anak bangsa membangun karakter unggul, khususnya lewat pemodelan?
Kemartiran dan kenabian
Entahlah, masihkah para tokoh dan pemimpin bangsa ini mampu mengecap pergulatan suasana ”larane ati iki, nganti kapan ora ngerti” pada sanubari rakyat? Masih pedulikah mereka pada hakikat dan martabat dirinya yang sejati sebagai manusia?
Masihkah mereka membutuhkan rakyat atau orang lain untuk bangunan kebermartabatan dirinya? Ataukah sesungguhnya bagi mereka, rakyat hanya jumlah, rakyat hanya obyek dan instrumen untuk mewujudkan hasratnya?
Jika para tokoh dan pemimpin bangsa ini masih membutuhkan rakyat dan menghayati rakyat sebagai subyek sebagaimana dihayati Emmanuel Levinas, mereka harus berani menempuh jalan kemartiran dan kenabian.
Jalan kemartiran adalah jalan penyangkalan egoisme demi kebermaknaan dan kebermartabatan diri. Jalan kenabian adalah jalan peluruhan egoisme serta pemberian diri demi kemaslahatan hidup bersama yang lebih bermakna dan bermartabat. Jalan kemartiran dan kenabian niscaya ditempuh untuk menyembuhkan luka rakyat.
Luka itu hanya tersembuhkan apabila mereka tidak ingkar janji lagi (marine yen kowe bakal/ngugemi janjimu).
Pertobatan dari perilaku sadar intensional mengelabui rakyat di tahun politik ini agaknya sulit diharapkan. Membangun citra diri baik, meski sejatinya palsu, adalah resep ampuh untuk mengangkangi kekuasaan.
Tak peduli apabila cara itu terus melukai sanubari rakyat. Mereka semakin percaya diri membungkus dirinya hingga tampak memukau meski aslinya tidak seperti itu.
Mungkinkah kebiasaan berdusta dan mengelabui rakyat telah membuat mereka tega dan tak ambil peduli dengan upaya anak bangsa membangun karakter unggul, khususnya lewat pemodelan?
Namun, ingatlah, rakyat punya hati nurani. Ia paham dengan akrobat para badut kehidupan. Persis seperti dilukiskan dalam puisi jenaka Joko Pinurbo berjudul ”Celana 3” (1996).
Dikisahkan, setelah lama sibuk mencari celana yang pantas, akhirnya seorang pemuda mendapatkan celana yang ia banggakan. Dengan mengenakan celana itu, dalam keyakinan diri akan memukau sang kekasih, ia sambangi kekasihnya. Simak kisah selanjutnya:
”Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih/yang menunggunya di pojok kuburan/ la pamerkan celananya: ”Ini asli buatan Amerika.”/ Tapi perempuan itu lebih tertarik/ pada yang bertengger di dalam celana./ Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”/
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,/yang gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan/burung yang selama ini dikurungnya/ sudah kabur entah ke mana./
Semoga para tokoh dan pemimpin bangsa ini masih mengasihi dan mencintai dirinya sendiri. Itu saja harapan kita.
Baca juga : Ilusi Kenegarawanan
Sidharta Susila,Peminat Pendidikan