Berita tentang temuan lima spesies baru landak berbulu lembut dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dimuat di Kompas, 4 Januari 2024, sangat menarik. Spesies itu konon sudah tersimpan selama 84 tahun dan 62 tahun sebelum diidentifikasi. Berita itu mengingatkan kita akan potensi keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya.
Sayangnya, tim peneliti tidak ada satu pun dari Indonesia, yang paling dekat dari University of Malaya. Dua spesies baru ditemukan di pegunungan Leuser yang masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Demikian halnya kisah orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) di hutan Batangtoru, Tapanuli Selatan, yang juga pernah dilaporkan Kompas. Hal ini sering saya jadikan contoh akan kurangnya peranan perguruan tinggi serta lembaga ilmiah yang ada di Sumut. Berdasar laporan itu, tim penelitinya berasal dari Swiss, didampingi peneliti dari Jakarta dan Bogor. Padahal, di setiap kabupaten di Sumut terdapat perguruan tinggi. Bahkan, di Medan ada USU, Unimed, UINSU, dan berbagai perguruan tinggi lainnya.
Sementara itu, Kompas juga acap melupakan tentang biodiversitas. Misalnya, ketika menulis tentang wisata rohani di Tarutung menjelang Natal yang lalu (Kompas, 23 Desember 2023), kuliner yang diceritakan adalah ”mi gomak” dan ”poul poul”. Tak ada cerita tentang durian. Padahal, sejarah kota Tarutung saja berasal dari sebatang pohon durian tua di tengah kota itu. Dan tarutung merupakan kata Batak untuk durian. Di musim durian seperti sekarang ini, tentu kisah wisata yang mengangkat biodiversitas akan semakin menarik.
Meski durian konon berasal dari Kalimantan, Semenanjung Malaysia, dan Pulau Sumatera (yang menyatu di zaman es), buah berduri ini belum banyak diteliti di dalam negeri, khususnya Pulau Sumatera. Durian terkenal, seperti musangking, justru hasil pengembangan Malaysia, sedangkan montong yang kini dikebunkan di sejumlah negara (seperti Vietnam, Australia, dan Pulau Hainan, China) bermula dari Thailand.
Banyak inspirasi menarik dari keanekaragaman hayati di Indonesia yang layak digali, diteliti, dikembangkan, serta ditulis menjadi kisah-kisah menarik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Baharuddin Aritonang
Benhil, Jakarta Pusat
Masukan untuk Kompas TV
Saya menjadi pemirsa Kompas TV sejak masa awal kuliah, tahun 2014. Program yang dihadirkan Kompas TV cukup membuktikannya sebagai televisi berita dan inspirasi Indonesia sesuai dengan slogannya. Seiring berjalannya waktu, pada 2016 Kompas TV mendeklarasikan diri sebagai stasiun televisi berita.
Dengan cepat Kompas TV dapat menghadirkan berita-berita berkualitas dan independen. Hal itu dibuktikan dengan komitmennya untuk menjaga independensi Kompas TV yang sama seperti harian Kompas. Saya memandang Kompas TV sudah merealisasikan slogannya dan konsisten sebagai televisi independen dan tepercaya sampai hari ini.
Akan beberapa masukan untuk Kompas TV yang kini menginjak usia 12 tahun. Pertama, soal alokasi waktu siaran. Masih ada sejumlah program yang disiarkan berulang kali. Misalnya, pada program Berita Utama, Kilas Kompas, juga program Kompas Malam.
Program news talkshow Sapa Indonesia Malam, menurut saya, kurang efisien dan terlalu banyak dialog. Pemandu acara tersebut perlu lebih variatif.
Saya juga kehilangan program berita Kompas TV yang sudah lama menghilang, seperti Kompas Dunia dan Dunia dalam Sepekan. Apakah program tersebut dapat dihidupkan kembali dan ditayangkan di waktu yang tepat? Bagi saya, dua program itu cukup menarik dan menambah wawasan tentang peristiwa internasional.
Saya juga ingin memberi usul bagaimana jika Kompas TV menambah program berita, seperti berita berbahasa Inggris atau berita hiburan? Dengan demikian, Kompas TV lebih beragam dalam program buletin berita, tidak hanya berbahasa Indonesia dan membawa suasana lebih variatif.
Semoga Kompas TV terus berbenah dan makin berkembang dan memenuhi harapan para pemirsanya agar tidak bosan.
Alvan Lazuardie Alkhaf
Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah