logo Kompas.id
OpiniDebat Capres
Iklan

Debat Capres

Tampaknya para capres tak tertarik membahas posisi dan peran bahasa Indonesia. Apakah karena bahasa Indonesia tak layak?

Oleh
TENDY K SOMANTRI
· 2 menit baca
Dalam debat calon presiden tidak ada yang membicarakan posisi dan peran bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan pertahanan dan keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik.
SUPRIYANTO

Dalam debat calon presiden tidak ada yang membicarakan posisi dan peran bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan pertahanan dan keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik.

Seru! Debat ketiga calon presiden menjelang Pemilu 2024 pada Minggu (7 Januari 2024) benar-benar seru. Bahkan, arena debat meluas dan keluar dari ruang dan waktu yang disediakan.

Perdebatan berlanjut di ruang-ruang lain, termasuk di ruang maya. Peserta debat pun bertambah banyak, mulai dari pejabat papan atas hingga petani-petani di sawah.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Lembaga-lembaga survei pun makin sibuk mengukur elektabilitas ketiga calon. Suhu politik memanas. Padahal, juara debat belum tentu jadi presiden. Keputusan tetap di tangan rakyat, bukan di ruang debat.

Terlepas dari persaingan para kandidat, saya justru tertarik pada materi untuk tema debat ketiga, yaitu pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik. Maaf, saya bukan tertarik pada materi-materi yang disampaikan para kandidat. Saya justru tertarik pada materi yang tidak ada dalam penyampaian mereka, yakni posisi dan peran bahasa Indonesia dalam pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik.

Tampaknya, para kandidat tidak tertarik membahas hal itu. Karena bicara pertahanan dan keamanan, perhatian pun hanya terpusat pada hal-hal yang berkaitan dengan kemiliteran. Tak ada kandidat yang membahas posisi dan peran bahasa Indonesia dalam empat tema tersebut. Padahal, bahasa Indonesia berperan besar dalam pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik.

Jauh sebelum republik ini berdiri, para pendiri bangsa sudah memperhitungkan peran besar bahasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka menyebutkan dalam sumpah: selain bertanah air dan berbangsa satu, bangsa Indonesia juga harus menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.

Penerusnya kemudian mengejawantahkannya dalam berbagai sendi kehidupan sehingga negara membentuk lembaga khusus—Badan Bahasa—yang mengurusi masalah kebahasaan. Posisi bahasa Indonesia makin kokoh ketika pada 9 Juli 2009 ditetapkan dan diberlakukan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Iklan

Artinya, bahasa Indonesia memiliki kedudukan mulia yang setara dengan bendera, lagu kebangsaan, dan lambang-lambang negara lainnya. Sayang, pemerintah dan masyarakat pada umumnya memperlakukan bahasa Indonesia tidak semulia memperlakukan lambang-lambang negara lainnya.

Baca juga: Apa Itu Liberal?

Para calon wakil presiden tampil di babak terakhir dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para calon wakil presiden tampil di babak terakhir dalam Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Kita bisa melihat pemerintah atau masyarakat yang marah ketika bendera atau lagu kebangsaan diperlakukan secara tak wajar. Namun, mereka bersikap biasa-biasa saja ketika bahasa Indonesia dilecehkan di ruang-ruang publik.

Contoh nyata, warga Indonesia di mana pun pasti langsung memprotes pemasangan bendera Indonesia secara terbalik, putih-merah. Mengapa? Mereka akan langsung menyebutkan bahwa yang dipasang adalah bendera Polandia, bukan Indonesia!

Namun, adakah warga yang protes ketika nama gedung, nama tempat olahraga, atau nama-nama lain di ruang publik menggunakan bahasa asing? Kalaupun ada protes, biasanya tidak diindahkan. Lain halnya pada kasus pemasangan bendera yang terbalik, sang pemasang akan segera memperbaikinya.

Contoh yang lebih mengenaskan adalah saat pemerintah menghapuskan syarat kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) melalui Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.

Perubahan permenaker tentang TKA berikutnya juga tetap tidak mencantumkan syarat wajib berbahasa Indonesia bagi TKA. Akibatnya, Indonesia dibanjiri TKA yang tidak berbahasa Indonesia sehingga sarana-sarana informasi dan komunikasi di lingkungan tempat kerja mereka terpaksa menggunakan bahasa asing.

Mengapa perlakuan terhadap bahasa Indonesia berbeda? Apakah bahasa Indonesia tidak layak untuk ”dipertahankan” sebagai bahasa negara? Apakah karena hal itu, tidak ada yang tertarik mengangkat masalah bahasa Indonesia sebagai materi debat untuk tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik? Padahal, jika kita bicara geopolitik Indonesia—Wawasan Nusantara—bahasa Indonesia punya peran besar dalam kedaulatan. Sayang, rasanya bahasa Indonesia tak lagi berdaulat di negeri sendiri.

Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas, Bandung

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000