logo Kompas.id
OpiniNeuropolitik: Antara...
Iklan

Neuropolitik: Antara Rasionalitas dan Emosi dalam Pemilu

Mari rayakan pemilu dengan otak—dengan rasa dan logika setiap masing-masing dari kita.

Oleh
DAMAR SUSILARADEYA
· 4 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Wise men say, only fools rush in. But I can’t help falling in love with you.” Pemilu 2024 pada 14 Februari yang bertepatan dengan Hari Kasih Sayang mengingatkan penulis pada lirik lagu romantis Elvis Presley yang berjudul ”Can’t Help Falling in Love With You”.

Lagu ini tepat menggambarkan bagaimana cara kerja otak kita dalam menentukan pilihan pada sang pujaan hati.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Jika terlalu tergesa-gesa, pengambilan keputusan akan setengah matang. Sebaliknya, orang yang bijak mengambil waktu dalam menentukan pilihan dengan memanfaatkan cara kerja otak yang unik.

Sejatinya, memilih merupakan tarian yang rumit antara rasionalitas dan emosi. Meski kadang terlupakan, sesungguhnya otak adalah pusat keputusan manusia.

Terdiri atas 86 miliar sel saraf dan lebih dari 100 triliun koneksi yang mengirimkan sinyal listrik dan kimia setiap milidetik, otak merupakan ”mesin” kompleks pengolah jutaan informasi untuk mengambil berbagai keputusan dalam hidup manusia. Termasuk keputusan sarapan apa pagi ini, pakai baju apa hari ini, hingga keputusan calon presiden mana yang akan dipilih pada 14 Februari nanti.

Neuropolitik, disiplin ilmiah tentang hubungan otak dan politik, mengungkap kompleksitas proses seseorang menentukan pilihan dalam pemilu. Dalam 20 tahun terakhir, penelitian neuropolitik mulai berkembang seiring munculnya alat-alat pencitraan otak (neuroimaging), seperti fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging).

Dengan fMRI, peneliti bisa memetakan bagian otak mana yang berperan dalam aktivitas tertentu, termasuk dalam menjatuhkan pilihan pada saat pemilu. Pertanyaan yang kemudian muncul, sejauh mana otak rasional dan emosional kita terlibat dalam pemilu?

Dalam 20 tahun terakhir, penelitian neuropolitik mulai berkembang seiring munculnya alat-alat pencitraan otak ( neuroimaging), seperti fMRI ( functional Magnetic Resonance Imaging).

Otak emosional vs otak rasional

Meski masih di tahap awal, penelitian neuropolitik menyoroti kompleksitas dinamika antara amigdala (otak emosional) dan korteks prefrontal (otak rasional) dalam memilih pasangan calon saat pemilu.

Untuk memahaminya, kita perlu mengerti sekilas mengenai fungsi dan peran kedua bagian otak tersebut. Pertama, amigdala—si otak emosional. Amigdala merupakan struktur berbentuk seperti kacang almon yang ditemukan di kedua sisi otak yang berperan penting dalam emosi manusia.

Dalam evolusi manusia selama ribuan tahun, emosi oleh amigdala penting untuk bertahan hidup. Bak alarm pendeteksi asap, amigdala menangkap sinyal ancaman dan mengaktivasi respons lawan atau lari dalam waktu 20 milidetik.

Amigdala memungkinkan seseorang bereaksi secepat kilat tanpa berpikir panjang dalam menghadapi suatu bahaya. Sebagai contoh, amigdala memungkinkan kita untuk segera menepis atau mengelak tanpa sadar ketika ada benda yang dilempar mengarah ke wajah kita.

Kedua, korteks prefrontal—si otak rasional. Letaknya persis di belakang dahi kita, kira-kira pada posisi jari telunjuk kita saat menunjuk dahi sendiri sambil berkelakar ”pakai otaknya!”.

Korteks prefrontal membutuhkan waktu setidaknya 200 milidetik atau 10 kali lebih lambat dari amigdala—untuk menanggapi sesuatu yang terjadi di lingkungan secara ”sadar”.

Dengan kata lain, otak kita merespons sinyal yang terjadi di lingkungan kita secara emosional dalam 20 milidetik pertama dan secara rasional dalam 200 milidetik berikutnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/kWSLEWQgOusFhangGnNk5v9qAZQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F16%2F9818df21-0788-419c-8be7-9e6f1a6ee653_jpg.jpg
Iklan

Umpamanya, respons emosional meluncur di jalan tol, sedangkan respons rasional melewati jalur lambat.

Jika sinyal yang sampai ke amigdala membuat kita merasa takut, ketika sinyal itu sampai ke korteks prefrontal, otak menilai apakah kita benar-benar perlu merasa takut dan merespons terhadap sesuatu atau tidak. Korteks prefrontal kemudian dapat menurunkan intensitas emosional terhadap sinyal tersebut.

Sebagai contoh, ibu saya memiliki ketakutan yang besar terhadap ular. Ketika adik saya yang iseng menaruh ular mainan dari karet di tempat tidurnya, ibu saya melompat dengan cepat dan berteriak sebelum akhirnya tertawa karena menyadari bahwa ”ancaman” yang ada ternyata bukan ancaman sungguhan.

Jika amigdala dapat diandaikan sebagai alarm pendeteksi asap, korteks prefrontal dapat diumpamakan sebagai tombol putar volume yang bisa menaikturunkan reaksi emosional kita terhadap suatu stimulus.

Otak dalam pemilu

Lantas, bagaimana kita menghadapi masa kampanye yang penuh dengan informasi, misinformasi, dan disinformasi melalui berbagai kanal media?

Dengan adanya aktivasi cepat dari amigdala, sadar ataupun tidak, mau tidak mau, emosi kita akan terpicu ketika kita menerima suatu informasi terkait pasangan calon tertentu. Emosi primer manusia, seperti marah, senang, sedih, jijik, dan kaget, bisa bangkit seketika saat kita menerima informasi baru.

Menyadari hal ini, maka jika kita merasa marah, takut, atau cemas saat melihat atau mendengar sesuatu di masa pemilu, mari mengambil waktu beberapa detik untuk mengolah informasi tersebut di otak korteks prefrontal kita.

Kita dapat memeriksa kebenarannya dan menentukan apakah kita sungguh perlu merasa marah, takut, atau cemas atas informasi itu. Dengan kata lain, kita bisa ”memutar tombol volume emosi” dan meredakannya dengan otak rasional kita.

Merayakan pemilu dengan otak berarti merayakan hak pilih kita dengan rasa dan logika.

Akhir kata, di masa pemilu ini, mari kita mengolah emosi dan pikiran dalam menjatuhkan pilihan, dengan ’kedua’ otak emosional dan rasional kita.

Mungkin mirip seperti jatuh cinta, mendekati pemilu tanggal 14 Februari 2024 yang bertepatan dengan Hari Kasih Sayang, kita kadang sulit menjelaskan alasan mengapa kita menentukan pilihan kita.

Mungkin sebagian pembaca sudah menentukan pilihannya dengan berbagai pertimbangan baik secara emosional maupun rasional—karena pada akhirnya keduanya memang tidak dapat dipisahkan.

Namun, bagi yang belum menjatuhkan pilihan hatinya, masih ada ruang untuk mempertimbangkan pilihan pasangan capres dan cawapres, baik dengan rasa maupun logika.

Akhir kata, di masa pemilu ini, mari kita mengolah emosi dan pikiran dalam menjatuhkan pilihan, dengan ”kedua” otak emosional dan rasional kita. Hal terakhir yang kita inginkan dari pemilu adalah tidak adanya perpecahan.

Pemilihan umum bukan hanya tentang pilihan individu, melainkan juga tentang membangun masyarakat yang mampu menghargai perbedaan pilihan dan bekerja sama menuju masa depan yang lebih baik.

Mari rayakan pemilu dengan otak—dengan rasa dan logika setiap masing-masing dari kita.

Baca juga : Kesehatan Mental di Tahun Politik

Damar SusilaradeyaDoktor Neurosains, Dokter, dan Aktivis Kebijakan Kesehatan di IMERI Fakultas Kedokteran UI dan Kementerian Kesehatan

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000