Sepuluh Tahun Hilirisasi Mineral
Banyak pengamat mengatakan, pertumbuhan industri manufaktur sedikitnya seharusnya 7 persen, saat ini sekitar 5 persen.
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara atau Minerba Nomor 4 Tahun 2009 terbit setelah melalui pembahasan lebih dari tiga tahun di Dewan Perwakilan Rakyat.
Salah satu misi undang-undang ini adalah meningkatkan nilai tambah minerba lewat kewajiban mengolah di dalam negeri atau hilirisasi. Harapannya, hilirisasi mineral bukan sekadar memproduksi logam, melainkan juga mengolahnya ke hilir dalam mata rantai nilai tambah.
Keinginan ini menuntut harmonisasi kebijakan sektor pertambangan dan sektor industri manufaktur. Perlu dicatat bahwa, sejak 1970-an, di dalam negeri sudah diproduksi logam dalam bentuk feronikel, matte dari bijih nikel, dan aluminium, bahkan berabad-abad lamanya logam timah sudah diperdagangkan. Hanya saja, pada saat itu belum ada kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha pertambangan mengolah mineral di dalam negeri.
Tonggak bersejarah
Pertemuan di Cikeas saat itu sangatlah penting dan mendesak. Bagaimana tidak, tepat hari itu adalah hari dimulainya kewajiban perusahaan pertambangan melakukan pengolahan dan/atau pemurnian mineral mentah sesuai mandat UU Minerba dan peraturan pemerintah (PP) turunannya, paling lambat lima tahun setelah UU terbit pada 11 Januari 2009.
Lima tahun masa transisi itu diberikan pemerintah dengan pertimbangan, pada kurun itu perusahaan tambang bisa menyesuaikan diri dengan membangun fasilitas pemurnian. Selama mereka membangun pabrik pengolahan atau pemurnian tersebut, mereka masih diperbolehkan mengekspor mineral bijih.
SBY memimpin langsung pertemuan yang berlangsung alot itu. Pada satu sisi, terungkap bahwa 178 perusahaan berbagai jenis mineral yang berencana membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian belum menyelesaikan pabriknya walaupun telah diberikan waktu lima tahun.
Di antara mereka terdapat tidak kurang dari 29 perusahaan pertambangan nikel. Beberapa perusahaan telah memulai pembangunan fasilitas pemurniannya atau smelter sebelum tahun 2014.
Sebelum pertemuan malam itu, pemerintah telah melakukan serangkaian pembahasan internal, termasuk berkonsultasi dengan sejumlah pakar hukum. Salah satu hasil penting, pemerintah dapat memberikan kelonggaran ekspor mineral bijih atau mineral mentah setelah 11 Januari 2014 bagi perusahaan yang berkomitmen membangun pabrik pemurnian.
Di sisi lain, dalam rapat kerja dengan DPR pada 5 Desember 2013, DPR meminta pemerintah tetap konsisten dengan mandat yang tertuang dalam UU Minerba.
Pada waktu bersamaan, para gubernur se-Sulawesi mendukung penegakan pelaksanaan UU Minerba. Mereka meminta agar olah murni tidak boleh ditunda. Para gubernur rupanya prihatin terhadap eksploitasi nikel yang semakin masif.
Eksploitasi itu telah berdampak pada lingkungan sehingga kelima gubernur se-Sulawesi lalu membuat surat yang menyatakan bahwa hilirisasi ini penting untuk mengendalikan eksploitasi besar-besaran.
Selama masa transisi lima tahun, memang ekspor bijih nikel Indonesia sangat tinggi karena sangat diminati dan diburu. Penyelundupan bijih nikel diperkirakan tak kalah banyak jumlahnya.
Catatan resmi pemerintah, ekspor selama 2013 hanya 64 juta ton. Namun, di tempat tujuan, yaitu China, justru tercatat 90 juta. Di sisi lain, lingkungan rusak karena masifnya eksploitasi yang tak mengenal batas wilayah izin.
Dengan pertimbangan dan masukan yang ada, Presiden SBY akhirnya memutuskan menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2014. Intinya adalah tak diizinkan ekspor mineral bijih kecuali yang telah diolah.
Menteri ESDM Jero Wacik dan Menko Perekonomian Hatta Radjasa lalu mengumumkan hasil pertemuan di Cikeas. Menteri ESDM menyampaikan bahwa, sejak 12 Januari 2014, mineral mentah tidak diizinkan diekspor. Ekspor hanya diperkenankan untuk mineral yang sudah diolah dalam bentuk konsentrat untuk kurun tiga tahun.
Artinya, pemerintah memberikan waktu tiga tahun sampai dengan 11 Januari 2017 bagi perusahaan untuk menyelesaikan fasilitas pemurnian. Pengolahan memiliki makna proses memperkaya mineral pembawa logam, sedangkan pemurnian adalah proses memisahkan logam dari mineralnya. Bijih nikel termasuk salah satu yang tidak diizinkan untuk diekspor.
Tantangan atau keberatan dari pelaku usaha muncul dengan membawa UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada pertengahan 2014 agar meninjau ulang pasal-pasal dalam UU yang mewajibkan pelaku usaha pertambangan mineral untuk melakukan pengolahan dan pemurnian.
Usaha ini gagal, gugatan ditolak MK. Berbeda dengan periode DPR sebelumnya, pada awal tahun 2015 sebagian anggota DPR meminta agar ekspor bijih nikel dan bauksit dibuka.
Demikian pula di internal pemerintah terjadi kekhawatiran karena penerimaan negara menurun akibat larangan ekspor bijih. Kekhawatiran ini terbayar setelah pada 2015 dimulai produksi perdana nickel pig iron (NPI), sejenis logam campuran nikel dan besi, di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah, dan alumina di Kalimantan Barat mulai diproduksi pada 2016.
Hingga akhir 2022, produksi nikel mencapai 1 juta ton. Pada 2023 sudah mulai diproduksi bahan baku baterai seperti mixed hydroxide precipitate (MHP) dan nikel sulfat.
Inkonsistensi kebijakan
Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang memberi peluang ekspor bijih nikel dan bauksit selama lima tahun sejak 12 Januari 2017 bagi perusahaan yang sedang dan telah membangun fasilitas pemurnian atau bekerja sama dengan pemilik fasilitas pemurnian lain. Persyaratan lainnya, perusahaan harus menyerap atau memanfaatkan bijih nikel kadar sedikitnya 30 persen bijih dari kapasitas produksi.
Sayang sekali, dalam praktiknya tidak ada perusahaan yang menyerap nikel kadar rendah tersebut dan tidak diketahui berapa besar bijih nikel dan bauksit yang diekspor dan berapa besar kadarnya. Juga tidak diketahui berapa banyak perusahaan yang sedang dalam proses penyelesaian fasilitas pemurniannya.
Lantas apa yang terjadi? Pada saat petambang nikel bergembira, ternyata ekspor bijih nikel berdampak negatif bagi Indonesia. Pasar NPI dunia yang harusnya ditempati Indonesia kembali dikuasai China. Industri nikel di China tumbuh kembali setelah mendapat pasokan bijih dari Indonesia.
Indonesia kehilangan pangsa pasar NPI sejak 2017 hingga 2020 senilai 6 miliar dollar AS dari tambahan produksi 300.000 nikel di China atau setara dengan sekitar 25 juta ton bijih nikel.
Baru tiga tahun relaksasi ekspor bijih nikel dan bauksit berjalan, UU Minerba No 3/2020 terbit. UU ini merupakan perubahan atas UU Minerba terdahulu. Dengan UU ini, ekspor nikel dan bauksit dilarang, tetapi dibolehkan untuk beberapa jenis mineral yang telah diolah.
Akhir-akhir ini sudah tampak perbaikan kebijakan pemerintah, yaitu menekan perusahaan untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam mata rantai nilai tambah global, antara lain MHP menjadi bahan baku baterai atau baterai.
Kritik dan saran terhadap hilirisasi
Hilirisasi tembaga, alumina, seng, dan timah sudah mulai terlihat. Riset metalurgi tumbuh pesat di perguruan tinggi. Sebaliknya, bukan berarti hilirisasi hampa kritikan, terutama terkait penerimaan negara. Walaupun nilai ekspor tinggi, isu ketenagakerjaan terus muncul.
Begitu pula masalah lingkungan dan keselamatan kerja, terutama dengan kebakaran dan korban di pabrik nikel yang baru-baru ini terjadi. Perlu dilakukan audit teknologi.
Isu lain, pemerintah sangat minim menyediakan pendanaan dan infrastruktur energi untuk hilirisasi. Jalan atau rute hilirisasi selama ini masih ditentukan oleh investor asing, seperti untuk NPI, Feni, matte, baja tahan karat, dan produk MHP untuk bahan baku baterai. Semua produk ini masih bahan baku industri dan sebagian besar diekspor. Sayang sekali perusahaan tambang milik negara pemilik cadangan terbesar bijih nikel dan bauksit masih tertinggal.
Ke depan, pemerintah melalui perusahaan nasional harus berperan aktif dalam mengembangkan industri pionir berbasis sumber daya alam nasional yang unggul di dunia, seperti nikel. Pemerintah perlu memberikan perhatian pendanaan untuk penguasaan teknologi proses di semua mata rantai nilai tambah.
Manakala sumber daya mineral mengering, inovasi teknologi yang akan menolong dan menjadikan cadangan marginal dapat diolah secara ekonomis. Bahkan, perusahaan dapat melakukan ekspansi ke luar negeri atau memanfaatkan sumber daya mineral impor.
Dalam kondisi ini, berlaku prinsip survival of the fittest, yang mampu menyesuaikan dengan keadaan akan tetap hidup. Apalagi, dengan dikeluarkannya kebijakan mineral kritis oleh pemerintah. Penguasaan teknologi menjadi kritikal guna mendapatkan dan memproduksi mineral dan logam kritis tersebut serta memanfaatkannya di industri manufaktur.
Kelembagaan Kementerian Perindustrian perlu ditingkatkan. Jika hilirisasi, apalagi yang lebih strategis—yaitu industrialisasi berbasis sumber daya alam (SDA)—dianggap penting aliran material mulai dari komoditas SDA pada satu mata rantai nilai tambah tidak terputus di dalam industri manufaktur.
Pertumbuhan industri manufaktur harus lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Bahkan, banyak pengamat yang mengatakan pertumbuhan industri manufaktur sedikitnya seharusnya 7 persen, sementara saat ini sekitar 5 persen. Demikian pula porsi industri manufaktur dalam produk domestik bruto harus mencapai sedikitnya 30 persen jika Indonesia ingin menjadi negara maju, sementara saat ini sebesar 20 persen.
Raden Sukhyar, Dirjen Minerba (2013-2015), Ketua Perkumpulan Tambang dan Industri Silika Indonesia (Pertamisi)