logo Kompas.id
OpiniMewaspadai Hoaks dan Relevansi...
Iklan

Mewaspadai Hoaks dan Relevansi Pemikiran Soedjatmoko

Menyikapi hoaks, kita butuh budaya tanding baru. Pemikiran Soedjatmoko, berpikir kritis, menjadi relevan di sini.

Oleh
KRISPINUS IBU
· 7 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Dewasa ini, arus globalisasi memengaruhi berbagai lini kehidupan manusia. Arus globalisasi diakui sebagai sebuah arus baru yang membawa dampak dan perubahan dalam hidup manusia. ”Anak kandung” dari arus baru ini adalah teknologi.

Perkembangan teknologi dasawarsa ini begitu cepat dan mulai merasuki kehidupan manusia di berbagai belahan dunia, bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Contohnya, para petani yang tinggal di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) memiliki setidaknya satu akun media sosial (Facebook, Instagram, atau Whatsapp).

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Namun, tak dapat dimungkiri, media sosial mengandung dalam dirinya ”wajah ganda”. Ada kegunaan yang baik bagi manusia, yakni menjalin dan membangun keakraban tanpa sekat, konektivitas antarmanusia menjadi lebih mudah. Meski demikian, jika tidak disikapi dengan bijak, akan membawa manusia kepada jurang kemerosotan peradaban.

Salah satu contoh yang diangkat dalam artikel ini ialah hoaks yang membanjiri berbagai platform media sosial. Apalagi, kita tengah mempersiapkan diri untuk kontestasi pemilihan umum (pemilu). Tentu, salah satu cara yang ditempuh adalah menggunakan media sosial untuk menyebarkan secara cepat kinerja, visi-misi, ketokohan diri yang unggul, dan masih banyak lagi.

Baca juga: Melawan Hoaks Pemilu

Oleh karena itu, tendensi dari artikel ini ialah memberi semacam alarm bagi kita, pemilih, agar tetap menjaga marwah sebagai animal rationale, makhluk yang mampu berpikir kritis, di tengah gempuran berita bohong. Kita tidak sekadar berselancar di media untuk mengetahui profil para kandidat, misalnya, tanpa tuntunan sikap kritis.

Seperti ditegaskan Soedjatmoko (intelektual dan politikus Indonesia), kita mesti tetap membawa dan menyalakan api kritis di tengah dunia baru yang terus mewartakan kabar bohong. Kita diminta untuk menggunakan penyaring rasional demi menandingi fenomena hoaks.

Peserta soalisasi melawan informasi hoaks terkait pemilu melakukan simulasi cek fakta mengenai informasi Pemilu 2024 pada acara sosialisasi melawan hoaks yang digelar Badan Pengawas Pemilu, Minggu (24/12/2023) di Gedung Sarinah, Jakarta.
KOMPAS/ZULKARNAINI

Peserta soalisasi melawan informasi hoaks terkait pemilu melakukan simulasi cek fakta mengenai informasi Pemilu 2024 pada acara sosialisasi melawan hoaks yang digelar Badan Pengawas Pemilu, Minggu (24/12/2023) di Gedung Sarinah, Jakarta.

Hadirnya dunia baru: internet

Kita sementara berada dalam dunia baru yang disebut internet. Seperti yang ditegaskan pada bagian awal, dunia baru ini membawa dalam dirinya ”wajah ganda”, seperti dua sisi dari mata uang logam yang sama.

Pertama, ”wajah” keuntungan. Pada hakikatnya, era internet membawa sebuah harapan baru bagi manusia. Dunia, yang dahulu dipandang begitu luas dan sulit terjangkau, kini lewat berbagai perkembangan teknologi dan komunikasi menjadi kecil dan mudah dijangkau. Dunia pun dilihat hanya ”selebar daun kelor”.

Agus Alfons Duka menegaskan bahwa era internet membawa kemudahan dengan ”memperpendek jarak geografi, mempersingkat jarak waktu, dan dengan demikian memadatkan aktivitas sosial”. Jika sebelumnya manusia membutuhkan ayunan seribu langkah untuk mencapai tujuan tertentu, berkat internet langkah tersebut dieliminasi dan jarak waktu dipersingkat. Singkatnya, manusia yang berkecimpung di dalam dunia internet tidak harus menggeser tubuh fisik (Agus Alfons Duka: 2017, hlm xvi).

Sealur dengan fenomena ini, manusia yang satu dapat terhubung dengan manusia yang lain di berbagai belahan dunia dengan begitu gampang dan mudah. Alhasil, dunia terbentuk menjadi semacam dusun global (global village). Dalam dusun global ini terbentuklah jalan bebas hambatan yang memperlancar lalu lintas pesan di antara berbagai manusia di seluruh dunia (ibid, hlm 16).

Seseorang lebih suka menonjolkan sensasi, keyakinan, dan emosi dalam menanggapi sebuah berita dan opini yang berkembang, sebaliknya mengabaikan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.

Namun, ada ”wajah” lain yang dibawa dunia internet ini. ”Wajah” yang dimaksud adalah keterpurukan. Keterpurukan ini terjadi karena ada pelaku-pelaku tertentu yang memanfaatkan dunia internet dengan tidak memikirkan dampak-dampak sosial yang bekelanjutan. Mereka mencoba menciptakan kebencian antara manusia yang satu dan yang lain, membawa orang agar berpikir dan bertindak diskriminatif terhadap entitas dan identitas lain, melecehkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), dan masih banyak contoh lain, demi memuaskan ego pribadi mereka.

Naasnya, ketika pengguna media mengabaikan penyaring rasional, ia mudah jatuh dan terjebak di dalam pelabelan yang bernuansa negatif ini. Keterpurukan ini bisa membawa manusia kepada kemerosotan peradaban.

Keterpurukan ini riil dan terjadi karena diakomodasi oleh fenomena penyebaran hoaks/berita bohong. Fenomena penyebaran berita bohong ini lazim disebut sebagai fenomena post-truth. Kamus Oxford mengartikan fenomena post-truth sebagai sebuah kondisi di mana emosi dan keyakinan pribadi sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan fakta. Dengan kata lain, seseorang lebih suka menonjolkan sensasi, keyakinan, dan emosi dalam menanggapi sebuah berita dan opini yang berkembang, sebaliknya mengabaikan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga: Hantu Kebenaran Era "Post-Truth"

Iklan

Soedjatmoko menyebut kehadiran fenomena ini sebagai bagian dari revolusi komunikasi. Soedjatmoko mengatakan, ”Revolusi di bidang komunikasi telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat pesat dan yang sering tidak lagi dapat dikendalikan pemerintah-pemerintah di dunia ini…. Pada pokoknya setiap warga dunia sekarang mampu mendapatkan berita tentang semua peristiwa dan informasi tentang apa saja di dunia. Tidak ada pemerintah di dunia ini yang dapat menghalanginya, seandainya itulah yang dikehendaki”. (Soedjatmoko: 1988, hlm 6)

Pertanyaannya, mengapa hoaks mudah merajalela dan merasuki manusia? Alasannya, karena kita sementara berada dalam era instan: sebuah era di mana masyarakat menginginkan sesuatu yang gampang dan mudah didapat; sebuah fenomena di mana kebenaran hanya ditafsir dengan satu perspektif, tanpa mempertimbangkan perspektif lain; sebuah fenomena di mana emosi pribadi melampaui fakta; sebuah fenomena di mana kerja keras dan perjuangan dikesampingkan.

Konsekuensi lanjutnya, ”kebenaran” dari berita bohong ini pun berterima di dalam ruang publik. Ini terjadi karena masyarakat enggan menggunakan penyaring rasional. Suatu hal yang disayangkan apabila masyarakat tidak bersikap kritis atasnya.

Lalu, apa jalan keluar yang mesti kita tempuh?

https://cdn-assetd.kompas.id/HbAVSVuURj0hetlbMP8q2JKr_JY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F30%2F7242f4da-62b9-4773-a576-1ac3a10e3b9e_jpg.jpg

”Pemberontakan” kreatif

Di tengah situasi yang menguntungkan, serentak merugikan dengan kehadiran internet ini, kita membutuhkan semacam ”pemberontakan” kreatif atau budaya tanding baru dalam menyikapi fenomena berita bohong yang mudah dijumpai dalam berbagai platform media. Kita membutuhkan sebuah posisi filosofis di dalamnya budaya kritis ada untuk menghadapi fenomena ini. Kita membutuhkan semacam budaya tanding untuk menantang dunia yang dibanjiri hoaks.

Dalam bahasa Albert Camus, budaya tanding ini disebut sebagai ”pemberontakan” yang kreatif. Pemberontakan ini, menurut Camus, menegaskan bahwa kita memiliki sebuah posisi filosofis yang mampu membendung fenomena negatif.

Camus menyatakan, ”One of the only coherent philosophical positions is thus revolt. It is a constant confrontation between man and his own obscurity. It is an insistence upon an impossible transparency. It challenges the world anew every second (Albert Camus, The Myth of Sisyphus and Other Essays, penerjemah Justin O’Brien: 1955). Dan, lanjut Camus, pemberontakan ini mesti ”memberi nilai pada kehidupan. Tersebar sepanjang kehidupan” (ibid.)

Dengan adanya kemampuan berpikir kritis, kabar bohong tidak mudah dipercayai dan tersebar begitu saja. Berpikir kritis memampukan seseorang untuk menyangsikan setiap informasi yang diperoleh.

Lalu, pemberontakan kreatif model mana yang mesti kita buat? Sumbangan pemikiran Soedjatmoko menjadi relevan di sini, yakni pentingnya berpikir kritis. Setiap orang mesti sadar bahwa dirinya sedang berada dalam dunia instan yang acapkali mengabaikan budaya berpikir kritis.

Soedjatmoko menegaskan, ”Perlu kita sadari kita sedang memasuki dunia yang lain sama sekali daripada dunia yang sekarang kita kenal.... Pada pokoknya yang diperlukan ialah kemampuan berpikir secara mandiri dan secara kritis, serta kesanggupan berpikir bersama, dan berdialog dengan pihak-pihak yang lain pandangannya untuk membina suatu landasan lebar dan kuat guna meniawab masalah-masalah baru” (Soedjatmoko, op cit, hlm 8-9).

Masalah baru yang kita saksikan saat ini adalah tersebarnya berita bohong (fake news) di berbagai platform media. Orang sulit membedakan kebenaran dari kebohongan karena hampir tidak ada patokan yang jelas di media. Hampir tidak ada demarkasi yang tegas antara kebenaran dan kebohongan. Apalagi, kebohongan yang terus diwartakan akan menjadi sebuah kebenaran yang dipercayai khalayak umum.

Ujaran kebencian dan berita bohong yang menyebar melalui media sosial menjadi salah satu materi yang belakangan ini banyak dibicarakan. Banyak perlawanan terhadap berita tidak benar dan cenderung menyuburkan sikap intoleransi antarwarga bangsa.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ujaran kebencian dan berita bohong yang menyebar melalui media sosial menjadi salah satu materi yang belakangan ini banyak dibicarakan. Banyak perlawanan terhadap berita tidak benar dan cenderung menyuburkan sikap intoleransi antarwarga bangsa.

Naasnya lagi, berbagai media tidak memiliki marwah dan nilai-nilai pedoman yang jelas. Media hanya mencari keuntungan finansial, serentak ”menempatkan dalam kurung” posisi kebenaran sebuah informasi. Hal ini tentu bertentangan dengan peran media yang dikumandangkan Soedjatmoko, yakni sebagai ”pendidik umum di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan” (ibid, hlm 11).

Tidak hanya itu, bagi Soedjatmoko, ketika kita berbicara mengenai media di Indonesia, hal tersebut mesti setali tiga uang dengan kecerdasan. Soedjatmoko menyatakan, ”Jelaslah, bagi negara seperti lndonesia, informasi—dikaitkan dengan kecerdasan—merupakan suatu aset/modal yang strategis untuk menjaga otonomi dan kedudukannya di dalam situasi dunia dan masyarakat yang sedang berubah dengan pesat. Dia merupakan modal bukan hanya untuk pemerintah, melainkan juga untuk semua lapisan masyarakat” (ibid).

Sayangnya, kecerdasan model ini sulit ditemukan dalam berbagai platform media (meski ada beberapa media yang masih mempertahankan nilai ini). Media tidak lagi dipercaya sebagai pembawa warta kebenaran. Oleh karena itu, mesti ada usaha preventif yang dilakukan secara masif dari setiap kita, yakni berpikir kritis.

Dengan adanya kemampuan berpikir kritis, kabar bohong tidak mudah dipercayai dan tersebar begitu saja. Berpikir kritis memampukan seseorang untuk menyangsikan setiap informasi yang diperoleh. Orang tidak mudah percaya karena ada budaya skeptis yang sengaja diciptakan untuk ”memberontak” terhadap berita tersebut.

Baca juga: Kebiasaan Berpikir Kritis

Jika setiap orang tidak berpikir kritis atas suatu informasi bohong yang tersebar, orang tersebut rentan terjebak dan menjadi korban pembohongan. Lebih parah lagi, tanpa penyaring rasional, orang tersebut meneruskan informasi bohong ini ke ranah publik. Cara kerja seperti ini acapkali membuka kemungkinan bagi munculnya korban berikut, dan ini suatu hal yang sangat berbahaya.

Dengan demikian, berdasarkan inspirasi pemikiran Soedjatmoko, setiap kita mesti menjadi ”pendidik umum di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan” dengan selalu menggunakan penyaring rasional berhadapan dengan masifnya penyebaran berita bohong. Kita mesti terus berpikir kritis dengannya kita tidak mudah terjebak dan jatuh sebagai korban dari informasi bohong. Kita mesti berpikir kritis mulai dari hari ini demi terwujudnya bonum commune.

Krispinus Ibu, Biarawan Katolik; Alumus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000