Upaya meningkatkan jumlah lulusan S2 dan S3 perlu dibarengi peningkatan peluang mereka berpartisipasi dalam pembangunan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kualitas sumber daya manusia menentukan kemajuan bangsa, dan pendidikan merupakan syarat mutlak untuk mencapai sumber daya manusia yang berkualitas.
Menuju Indonesia Maju, keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu unggul dan berdaya saing tinggi, menjadi kunci. Untuk ini, seperti dikatakan Presiden Joko Widodo, lembaga pendidikan tinggi berperanan sangat strategis untuk mencetak SDM berkualitas (Kompas, 16/1/2024).
Jumlah lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang mencapai 4.593 (Statistik Pendidikan Tinggi 2020) seharusnya sangat cukup untuk menampung lulusan SMA/SMK yang setiap tahun sekitar 3,7 juta. Namun, hanya sekitar 58 persen yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Karena itu, tak mengherankan hanya 6,41 persen penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi (Kementerian Dalam Negeri, 2022). Dari jumlah itu pun, hanya 0,45 persen yang mencapai jenjang magister (S-2) dan doktoral (S-3), jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Vietnam dan Malaysia, yang mencapai 2,43, bahkan negara-negara maju yang mencapai 9,8 persen.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, diyakini semakin tinggi pula kualitasnya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan global untuk menopang gerak laju pembangunan. Karena itu, di tengah keterbatasan anggaran negara, langkah pemerintah untuk meningkatkan rasio penduduk berpendidikan S-2 dan S-3 melalui optimalisasi anggaran pendidikan patut diapresiasi.
Selama ini, pemerintah telah berupaya menaikkan tingkat pendidikan penduduknya melalui pemberian beasiswa. Ada Beasiswa Indonesia Maju, beasiswa untuk calon dosen serta pendidik dan tenaga kependidikan, hingga beasiswa yang ditangani Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Namun, persentase keberlanjutan studi mahasiswa masih sangat rendah. Jumlah mahasiswa S-2 dan S-3 di perguruan tinggi di Indonesia, masing-masing hanya 4,25 persen dan 0,59 persen dari total jumlah mahasiswa.
Permasalahannya bukan hanya karena faktor biaya, melainkan juga peluang kerja bagi lulusan S-2 dan S-3 sangat kecil. Mereka yang masuk kerja di entry level umumnya dihargai setingkat S-1. Bahkan, di beberapa perusahaan, tingkat pendidikan tidak berpengaruh dalam jenjang karier. Mereka yang melanjutkan studi hingga S-2 dan S-3 umumnya dosen dan mereka yang ingin menjadi dosen atau pegawai negeri karena turut menentukan jenjang karier mereka.
Dengan demikian, optimalisasi anggaran pendidikan hendaknya dibarengi dengan upaya meningkatkan peluang lulusan S-2 dan S-3 untuk berpartisipasi dalam pembangunan, baik melalui lembaga-lembaga pemerintah maupun nonpemerintah.
Selain itu, perlu diatasi permasalahan mendasar pendidikan, terutama rendahnya akses pendidikan yang umumnya disebabkan faktor ekonomi. Angka Partisipasi Kasar pendidikan tinggi, misalnya, masih sangat rendah, hanya 39,37 persen. Angka putus sekolah juga masih tinggi.