Perjalanan Panjang Menuju Negara Berpendapatan Tinggi
Meski kekuatan ekonomi Indonesia (PDB) berada pada urutan 16 dunia, pendapatan rata-rata rakyat Indonesia masih rendah.
Pada awal dekade 1960-an, pendapatan per kapita negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik rendah (sekitar 150 dollar AS), di bawah negara-negara di Amerika Latin (hampir 400 dollar AS). Apa yang terjadi beberapa dekade kemudian?
Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi negara industri baru. Beberapa negara Amerika Latin, yang semula dijagokan menjadi negara industri, tersandung ketidakstabilan makro, seperti utang luar negeri yang berlebihan dan salah strategi dalam membangun perekonomiannya.
Dari gambaran itu, ada tiga pertanyaan muncul. Faktor apa yang membuat negara berkembang dapat mengatasi ketertinggalannya dari negara maju? Strategi apa atau jalur mana yang dipilih untuk jadi negara maju? Apa urgensinya bagi Indonesia untuk tumbuh tinggi?
Pengertian negara berpendapatan tinggi beda dengan negara maju. Negara digolongkan berpendapatan tinggi jika melewati threshold (ambang) tertentu.
Bank Dunia menggolongkan negara jadi empat kelompok dengan ambang pendapatan nasional kotor (gross national income/GNI) pada 2022 sebagai berikut. Negara berpendapatan rendah jika GNI di bawah 1.085 dollar AS, negara berpendapatan menengah rendah (1.086 dollar-4.255 dollar AS), negara berpendapatan menengah atas (4.256 dollar-13.205 dollar AS), dan negara berpendapatan tinggi (di atas 13.205 dollar AS).
Sementara negara maju adalah negara yang memiliki kualitas hidup tinggi, ekonomi yang maju, infrastruktur teknologi yang modern, dan institusi yang bertaraf dan terkait dengan global.
Apa urgensinya bagi Indonesia untuk tumbuh tinggi?
Dengan pengertian ini, negara yang eksploitatif terhadap sumber daya alam, seperti Nauru (fosfor), tanpa mengembangkan industri beragam, atau negara yang bergantung pada jasa saja, tidak masuk status negara maju.
Ringkasnya, kriteria negara maju lebih berat daripada negara berpendapatan tinggi. Dalam konteks Indonesia, negara berpendapatan tinggi sering diartikan sebagai negara maju.
Urgensi tumbuh tinggi
Pertama, Indonesia harus jadi negara berpendapatan tinggi sebelum atau paling lama pada 2045. Meski kekuatan ekonomi Indonesia (tecermin dari produk domestik bruto/PDB) berada di urutan ke-16 dunia, pendapatan rata-rata rakyat Indonesia masih relatif rendah.
Pada 2022 PDB per kapita Indonesia hanya 4.784 dollar AS dan menempati urutan ke-115 dari 193 negara di dunia.
Dalam ukuran GNI, pendapatan per kapita Indonesia 4.580 dollar AS. Sementara pada 2022 PDB per kapita Malaysia dan Thailand (dulu disebut East Asian Miracle Economy bersama Indonesia) 11.972 dollar AS dan 6.909 dollar AS. Apalagi dibandingkan dengan Singapura (82.808 dollar AS) dan Korea Selatan (32.255 dollar AS).
Sebagian mempertanyakan bahwa pembandingan tersebut kurang tepat karena Indonesia berpenduduk besar. Ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada negara yang berpenduduk besar memang lebih berat, kecuali SDM berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi.
China, dengan jumlah penduduk lima kali penduduk Indonesia, pada 2022 PDB per kapitanya 12.814 dollar AS. Dengan jumlah penduduk yang besar, China merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia setelah AS.
Kedua, bonus demografi akan memudar sebelum tahun 2040 karena Indonesia memasuki aging society (Proyeksi Sensus Penduduk 2020). Artinya kekuatan penduduk usia produktif akan berkurang peranannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dampak meningkatnya rasio ketergantungan umumnya tidak secara dramatis.
Namun, jika terjadi dramatis seperti di Jepang, sulit dikompensasi dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja. Sayangnya bonus demografi yang terjadi sejak 2012 belum tampak mendorong pertumbuhan ekonomi dengan kuat.
Tidak mudah
Perjuangan menjadi negara berpendapatan tinggi tak mudah. Saat ini hanya ada 83 negara berpendapatan tinggi dari 217 negara dan teritorial di dunia. Negara Asia lapis kedua, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand, belum berhasil menjadi negara berpendapatan tinggi.
Sejak tahun 1993, Malaysia sudah menyandang status sebagai negara berpendapatan menengah atas, tetapi belum mampu menembus negara berpendapatan tinggi sampai kini meski ekonominya tumbuh rata-rata 4,9 persen per tahun. Dalam jangka pendek ini, hanya China yang diperkirakan menjadi negara berpendapatan tinggi. Sementara itu, meski India tumbuh tinggi, keberlanjutannya masih jadi tanda tanya besar.
China hanya butuh waktu 11 tahun untuk keluar dari negara berpendapatan menengah bawah jadi negara berpendapatan menengah atas dengan PDB per kapita naik 5,2 kali lipat serta diperkirakan jadi negara berpendapatan tinggi sekitar 14 tahun dengan PDB per kapita naik menjadi sekitar empat kali lipat.
Untuk menjadi negara berpendapatan menengah atas, China tumbuh rata-rata 10,2 persen per tahun dan untuk jadi negara berpendapatan tinggi, tumbuh rata-rata hampir 7,0 persen per tahun.
Apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia jangka panjang ke depan dapat mencapai rata-rata 6 persen atau 7 persen per tahun, dibutuhkan waktu sekitar 20 tahun dan 16 tahun untuk menjadi negara berpendapatan tinggi.
Bagaimana dengan Indonesia? Apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia jangka panjang ke depan dapat mencapai rata-rata 6 persen atau 7 persen per tahun, dibutuhkan waktu sekitar 20 tahun dan 16 tahun untuk menjadi negara berpendapatan tinggi. PDB per kapita Indonesia di dua angka pertumbuhan itu diperkirakan sekitar 22.000 dollar AS dan 28.000 dollar AS pada 2045.
Estimasi ini memperhitungkan proyeksi penduduk ke depan (Sensus Penduduk 2020), pergerakan nilai tukar mata uang, serta perubahan ambang negara pendapatan tinggi yang tidak lagi konstan ke depan (bahkan menurun tahun 2016-2019). Dalam 20 tahun ke depan, ambang negara berpendapatan tinggi diperkirakan meningkat sebesar 4.000 dollar AS. Proyeksi bisa berbeda satu sama lain tergantung pada asumsi yang diyakini. Akan tetapi, saya kira tidak jauh dari angka-angka tersebut.
Dapatkah Indonesia tumbuh tinggi?
Berapa pertumbuhan potensial Indonesia? Potential growth adalah tingkat pertumbuhan di mana ekonomi dapat tumbuh berkesinambungan tanpa menimbulkan ekses yang membahayakan, termasuk inflasi yang berlebihan dan ketidakseimbangan eksternal yang kritis.
Dengan memakai tren pertumbuhan terakhir, potential growth Indonesia sekitar 5 persen lebih sedikit. Namun, jika kita menarik ke belakang, akan ditemui potential growth sekitar 6 persen, bahkan 7 persen pada masa Orde Baru.
Lebih lanjut, ekonomi Indonesia belum pada berpendapatan per kapita yang harus tumbuh kurang dari 5 persen. Dengan PDB per kapita yang relatif rendah, potensi ekonomi untuk tumbuh tinggi sebenarnya masih ada. Nanti, dengan bertambahnya pendapatan per kapita, kemampuan tumbuh melambat.
Potential growth bukan besaran yang kaku, tetapi bisa ditingkatkan dengan memperluas kapasitas ekonomi. Di sini pentingnya reformasi struktural yang benar-benar konkret dan meyakinkan.
Meski bisa tumbuh lebih dari 5 persen, sulit bagi Indonesia tumbuh 7 persen dalam jangka panjang. Dari pengalaman China dan potensi pertumbuhan Indonesia sebelumnya, ekonomi Indonesia bisa tumbuh maksimal rata-rata 6 persen per tahun sampai menjadi negara berpendapatan tinggi. Lebih rendah daripada China karena reformasi ekonomi yang lebih kuat di China.
Faktor pendorong pertumbuhan
Teori pertumbuhan ekonomi dan pengalaman negara maju menunjuk tiga faktor utama yang penting dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang, yaitu SDM, sumber daya fisik (physical capital), dan institusi.
Kualitas SDM yang diperlukan untuk menjadi negara maju relatif tinggi. Ini dibutuhkan untuk mendorong produktivitas ekonomi. Pendidikan, sebagai salah satu proksi penting kualitas SDM, diperlukan untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi harus lebih dari 55 persen untuk jadi negara berpendapatan tinggi. APK pendidikan tinggi Indonesia saat ini relatif rendah, kurang dari 35 persen.
Selanjutnya, sumber daya fisik terus dipupuk dalam jumlah yang memadai. Sumber daya fisik mencakup, antara lain, infrastruktur, mesin, peralatan, dan sejenisnya. Stok infrastruktur negara berpendapatan tinggi terhadap PDB diperlukan lebih dari 60 persen. Di Indonesia, kini masih sekitar 43 persen.
Institusi sebenarnya bukan faktor. Lebih merupakan lingkungan strategis yang memungkinkan faktor produksi berkontribusi maksimal dalam perekonomian. Institusi tak hanya menyangkut lembaga, tetapi juga aturan, hukum, bahkan stabilitas keamanan dan politik yang terjaga dengan baik. Direction yang keliru terhadap faktor produksi akan mengakibatkan faktor produksi mengalir pada kegiatan yang tidak produktif. Pembiaran terhadap tindak korupsi, misalnya, akan berakibat alokasi sumber daya pembangunan tidak optimal.
Dari pengalaman negara-negara yang sudah maju, tak ada satu strategi baku yang dapat diterapkan pada semua negara.
Strategi
Dari pengalaman negara-negara yang sudah maju, tak ada satu strategi baku yang dapat diterapkan pada semua negara. Masing-masing punya karakteristik dan waktu berbeda. Keberhasilan Inggris, Eropa Barat, AS, Jepang, dan negara industri Asia berbeda satu sama lain.
Singapura lebih aktif mendorong ekonomi berpindah ke sektor yang lebih modern dibandingkan Hong Kong. Korea Selatan lebih menekankan pada pendalaman industri hulu hingga hilir, terutama logam dan kimia, Sementara Taiwan lebih menekankan pada rumpun industri yang saling menunjang.
Dalam kaitan keinginan Indonesia menjadi negara maju, beberapa kesimpulan dapat diambil. Pertama, mendapatkan momentum yang tepat untuk tumbuh tinggi. Perlu ada bukti awal yang meyakinkan bagi perekonomian untuk tumbuh tinggi. China mengundang modal China di luar negerinya besar-besaran pada akhir dasawarsa 1970-an. Demikian pula India melakukan reformasi besar di dekade 1990-an. Indonesia juga pernah melakukan reformasi cukup meyakinkan, yaitu pasca-oil boom dasawarsa 1980-an untuk mengurangi ketergantungan terhadap migas.
Kompleksitas untuk tumbuh tinggi dapat dilihat dari sisi pembiayaannya. Standar kesenjangan tabungan dan investasi/saving-investment gap (Harrod-Domar) menyatakan bahwa investasi yang lebih besar dari tabungan akan meningkatkan utang pemerintah dan defisit transaksi berjalan.
Dengan incremental capital output ratio/ICOR (tambahan kapital/investasi) baru yang dibutuhkan untuk menambah satu unit output, saat ini sekitar 6,9 (rata-rata 10 tahun terakhir) dan tabungan nasional kotor (gross national saving) 37 persen dari PDB, maka untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen, akan terdapat kesenjangan pembiayaan (financing gap) 9-10 persen PDB.
Sementara defisit APBN tak bisa melebihi 3 persen PDB dan arus penanaman modal asing (PMA) neto tak pernah lebih dari 3,2 persen PDB. Ini yang harus dipecahkan pemerintah mendatang untuk mendorong ekonomi tumbuh rata-rata 7 persen lima tahun ke depan. Yakni: bagaimana melakukan big-push tanpa mengakibatkan instabilitas ekonomi yang membahayakan.
Kedua, industrialisasi. Strategi ini menjadi perdebatan yang panjang. Haruskah pemerintah secara aktif memilih dan mendorong industri sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi? Strategi ini ada yang berhasil, tetapi banyak juga yang gagal. Dorongan yang tepat akan mempercepat pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Singapura dan Korea Selatan merupakan contoh pemerintah yang terlibat secara aktif di awal pembangunan ekonomi.
Saat ini Indonesia mengalami deindustrialisasi. Industri tak lagi jadi penggerak utama ekonomi. Sebagian menyebutnya premature deindustrialization. Padahal, untuk negara yang berpenduduk besar, industrialisasi umumnya berlangsung lama. Singapura dan Korsel tetap bisa mempertahankan peranan industri yang tinggi di perekonomian.
Tantangan industri saat ini adalah bagaimana menggerakkan kembali industri di tengah daya saing global yang tinggi. Kondisi saat ini lebih berat dibandingkan dengan saat Korsel membangun industri pada 1970-an. Selain itu, spektrum pengembangan industri juga perlu broad based. Satu atau dua sub-sektor industri saja tak akan mampu untuk memulihkan sektor sekunder sebagai penggerak utama ekonomi. Broad based juga diperlukan untuk menggerakkan tenaga kerja yang berlimpah di Indonesia. Cara ini ditempuh oleh China. Padat modal dan padat karya didorong kuat untuk menggerakkan manufaktur.
Baca juga : Deindustrialisasi, Hilirisasi, dan Kemiskinan
Bambang Prijambodo,Ekonom Senior; Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden; Mantan Deputi Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas