Tragedi Kemanusiaan di Gaza
Israel dengan sengaja menghambat aliran logistik masuk ke Gaza supaya warga di sana mengalami kelaparan dahsyat.
Tak ada lagi yang bisa menggambarkan derita anak-anak manusia, ciptaan Ilahi, di Gaza, Palestina, sekarang. Puisi yang bertutur dengan hati nurani juga sudah tak kuasa lagi memberi gambaran penderitaan itu.
Sejak serangan Israel ke Gaza pada 7 Oktober 2023, hingga kini sudah 23.000 orang tewas, terutama anak-anak, orang tua dan perempuan. Mereka yang masih hidup sedang sekarat. Saat ini, sudah ada orang yang tidak makan selama empat hari di sana.
Makanan dan air sudah menjadi barang impian. Ketenangan sudah hampir tak dibicarakan lagi. Jalur Gaza yang dihuni sekitar 2,4 juta penduduk kini sudah luluh lantak. Terisolasi dari apa pun, terutama Gaza bagian utara yang dihuni sekitar 400.000 orang.
Oleh karena itu, sungguh tidak mudah memberi bantuan logistik karena tentara Israel mencegah segala bentuk ikhtiar bantuan yang keluar-masuk dari Gaza. Penduduk Gaza kini tinggal menanti, kapan ajal datang menjemput dengan kekerasan atau kelaparan.
Sungguh tidak mudah memberi bantuan logistik karena tentara Israel mencegah segala bentuk ikhtiar bantuan yang keluar-masuk dari Gaza.
Pada 10 Januari 2024, saya mengunjungi rumah sakit Bulan Sabit Merah Palestina di kota Kairo, Mesir. Standar hati nurani apa pun yang dipakai untuk memahami derita para pasien yang sempat lolos dari Gaza rasanya tidak dapat menggambarkan derita itu.
Saya menemukan seorang pemuda yang telah menjalani operasi kaki sebanyak tujuh kali lantaran luka yang dideritanya sulit tergambarkan lagi oleh ilmu kedokteran. Seorang anak tergeletak dengan kaki serta lengan yang hilang, juga telah kehilangan kedua orangtuanya.
Setiap negara, lembaga, dan individu yang hendak membantu warga Gaza mesti berhadapan dengan penjagaan ketat dari tentara Israel dengan senjata yang terkokang. Mereka membongkar dan menggeledah semua muatan truk yang datang mengangkut logistik.
Bahkan, generator, alat-alat kesehatan yang mengandung metal, tenda yang menggunakan peralatan metal, juga tidak boleh masuk ke Gaza. Semuanya dilakukan dengan satu alasan pembenar: menjaga keamanan.
Akibat semua itu, sekitar 50.000 orang di sana sekarang sedang terluka akibat terjangan bom, pelor, atau tertindih puing-puing bangunan. Mereka ini umumnya mengalami retak dan patah tulang. Sekitar 55.000 orang terinfeksi diare karena sanitasi yang nihil.
Diperhitungkan 180.000 orang terserang penyakit pernapasan karena debu dari reruntuhan bangunan serta asap mesiu senjata. Hampir 40.000 orang terserang penyakit kulit. Masih banyak lagi bentuk penderitaan lainnya.
Semua rumah sakit dan klinik di Gaza, termasuk rumah sakit Indonesia, diterjang serangan Israel dan tak berfungsi lagi. Malah, gereja Orthoodox tertua di dunia ikut dilumat oleh terjangan peluru dan bom. Sebuah masjid yang berusia sekitar seribu tahun pun luluh lantak.
Lengkaplah derita dan nestapa orang-orang Palestina di Gaza.
Semua rumah sakit dan klinik di Gaza, termasuk rumah sakit Indonesia, diterjang serangan Israel dan tak berfungsi lagi.
Semua data empirik ini dikumpulkan dari Gaza dan dipresentasikan pada Konferensi Humanitarian Appeal to Support Gaza di Kairo pada 11 Januari 2024 yang diselenggarakan oleh Bulan Sabit Merah Mesir dan Palestina.
Data-data ini dikumpulkan oleh petugas kemanusiaan yang terlibat dan menyaksikan langsung keadaan yang sesungguhnya. Media massa tak mudah merekam situasi tragis itu karena lebih dari 100 jurnalis sudah terbunuh selama perang berlangsung.
Kematian para jurnalis tersebut adalah keuntungan besar bagi Israel karena tidak ada yang melaporkan kondisi obyektif di Gaza sekarang. Jaringan internet pun sangat terbatas dan tidak dapat diandalkan untuk mengirim dan menyalurkan pesan keluar.
Baca juga: Teman dan Kemenangan Menjauhi Israel karena Gaza
Taktik mengosongkan Gaza
Israel dengan sengaja menghambat aliran logistik masuk ke Gaza supaya penduduk mengalami kelaparan dahsyat. Dengan demikian, mereka pelan-pelan mencari kemungkinan untuk hengkang dari kampung halaman mereka. Mereka dikondisikan sedemikian rupa agar tidak sanggup lagi bertahan di Gaza.
Saya menduga keras, taktik perang Israel ini dilakukan sebagai upaya mengosongkan Gaza kelak. Dengan begitu, Israel akan menduduki Gaza sepenuhnya, lalu memilikinya secara permanen. Sebuah niat dan taktik jitu yang amat keji dan tak bermoral.
Di tengah deraan nestapa yang mengimpit penduduk Gaza tersebut, mereka tidak mau meninggalkan tempat dan kampung halaman. Mereka sadar sepenuhnya, begitu mereka pergi untuk mencari perlindungan atau mencari makanan, maka sejak itulah mereka tidak akan pernah bisa pulang kembali ke Gaza. Tanah mereka secara otomatis dirampas.
Taktik perang Israel ini dilakukan sebagai upaya mengosongkan Gaza kelak. Dengan begitu, Israel akan menduduki Gaza sepenuhnya, lalu memilikinya secara permanen.
Momen seperti inilah yang telah lama dinanti dan dikondisikan oleh Israel. Dalam perang Gaza ini, Israel sungguh-sungguh menganut prinsip zero sum game and no mercy terhadap Palestina. Memenangi perang melawan Palestina adalah cara yang paling efektif untuk merampas tanah Palestina, sebagaimana tanah atau wilayah Jordania, Suriah, dan Mesir yang pernah direbutnya selama perang enam hari pada 1967 dan Perang Yon Kipur pada 1973.
Kondisi ketiadaan atau kelangkaan makanan, air, dan layanan kesehatan akan menjadi masalah yang semakin besar pada Maret mendatang. Bila perang dan kekerasan masih berlanjut hingga Maret, eskalasi perang kian pelik untuk dibendung karena pada Maret mendatang akan tiba bulan Ramadhan, saat orang Islam menjalankan ibadah puasa.
Ketiadaan dan kekurangan makanan bisa menjadi isu agama yang membawa tentakel ke mana-mana.
Tergantung Amerika Serikat
Akankah perang dan kekerasan di Gaza berlangsung terus dan tidak berhenti dalam waktu dekat?
Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh Amerika Serikat. Bila Pemerintah Amerika Serikat mau menghentikan, perang akan berhenti. Sebaliknya, bila Amerika Serikat menginginkan perang berlanjut, perang akan berlanjut.
Tidak ada yang bisa menghentikan Israel sekarang, kecuali Amerika Serikat. Negara-negara Eropa Barat, sekutu dekat Amerika Serikat, pun tak kuasa menghentikan Israel.
Baca juga : Israel-Hamas Bukan Perang Internasional
Presiden Amerika Serikat Joe Biden tampaknya memanfaatkan momen perang Gaza ini untuk kepentingan politiknya. Joe Biden membutuhkan dukungan komunitas Yahudi yang amat berpengaruh di Amerika Serikat untuk memenangi pemilihan umum presiden pada November tahun 2024 ini.
Satu-satunya yang bisa memaksa Biden untuk mengubah kebijakannya terhadap perang Gaza adalah tekanan domestik publik Amerika Serikat sendiri. Mulai muncul tekanan publik yang khawatir perang Gaza akan membuat Amerika Serikat terjun langsung dalam perang dengan cara membantu Israel.
Keikutsertaan dalam perang, berarti Amerika Serikat juga turut membiayai perang tersebut. Rakyat pembayar pajak tidak menghendaki uang pajak mereka dipakai untuk membunuh dan merusak.
Perang juga bisa berhenti manakala tekanan publik Israel kepada Perdana Menteri Netanyahu untuk menghentikan perang semakin kuat mendesak. Angka statistik menunjukkan 85 persen penduduk Israel menilai Netanyahu sekarang sangat tidak popular. Mereka menuntut Netanyahu berhenti menjadi Perdana Menteri.
*Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan HAM RI Periode 20 Oktober 2004-8 Mei 2007