Jalan berliku untuk mewujudkan mimpi masyarakat akan harga tiket pesawat terjangkau. Perlu kemauan politik pemerintah.
Oleh
RIDHA ADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Fenomena meroketnya harga tiket pesawat rute domestik tengah berulang. Masih teringat penduduk Aceh berbondong-bondong membuat paspor pada 2019. Sempat pula menjadi wacana perjalanan dinas aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Provinsi Riau transit di Kuala Lumpur atau Singapura. Persinggahan ini bukan untuk pelesiran ke luar negeri, tetapi mencapai Jakarta dengan harga terjangkau ketimbang penerbangan langsung.
Cerita serupa pada 2024 berarti pemerintah dan swasta perlu mempersiapkan anggaran transportasi udara ekstra. Premis ini turut berlaku bagi tujuan selain Jakarta. Dewasa ini mayoritas transit penerbangan domestik masih berpusat di Bandara Soekarno-Hatta. Bahkan, sejumlah rute penerbangan sesama ibu kota provinsi sepulau non-Jawa perlu transit di Pulau Jawa.
Alhasil, sejumlah penerbangan domestik setara perhitungan dua harga tiket end-to-end, yakni destinasi awal menuju Jakarta kemudian dari Jakarta bertolak ke tujuan akhir. Bicara perjalanan pulang pergi, maka tinggal dikalikan dua. Indikator harga tiket kelas ekonomi ialah 80-100 persen tarif batas atas (TBA) sebagaimana banyak diterapkan maskapai penerbangan. Adalah konsep bandara pengumpul dan pengumpan (hub and spoke) di balik transit Jakarta-sentris.
Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 39 Tahun 2019 mengatur tatanan kebandaraan nasional agar tercipta kesetaraan akses transportasi udara. Pada pengujung 2023, Kementerian Perhubungan menyatakan telah membangun 25 bandara baru dan merevitalisasi 38 bandara dalam kurun 2015-2023 (26/12/2023).
Pembangunan tiga bandara termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), yakni Bandara Ewer di Papua Selatan, Bandara Siboru di Papua Barat, dan Bandara Mentawai di Sumatera Barat. Apresiasi pembangunan bandara terutama di kawasan tertinggal, terluar, terpencil, dan perbatasan (3TP) patut dilayangkan.
Terobosan
Kehadiran infrastruktur bandara merupakan modal kuat pembangunan. Sayangnya, implementasi konsep hub and spoke belum optimal mengingat maskapai juga berhitung aspek komersial rute-rute diterbangi. Logika hanya memilih rute menguntungkan berlaku. Sangat lumrah mengingat bisnis penerbangan berorientasi mencari keuntungan. Pada celah inilah kehadiran negara diuji.
Terdapat tiga terobosan akan status quo dunia penerbangan nasional. Pertama, pemerintah perlu menyadari tersisa sedikit negara yang masih menerapkan konsep TBA (ceiling price). Setidaknya Indonesia adalah minoritas di ASEAN. Dalam perkembangannya, konsep harga tiket tetap (fixed price) kemudian beradaptasi menjadi TBA dan tarif batas bawah (TBB atau floor price). Keduanya merupakan warisan model Bermudaair service agreements sebagaimana sarat dengan proteksionisme.
Bisnis penerbangan global berubah pesat dalam tiga dekade terakhir. Proteksionisme menerima sanggahan melalui liberalisasi, salah satunya model Open Skies, dengan menghapuskan TBA maupun TBB. Maskapai menentukan harga berdasarkan mekanisme pasar. Konsumen berpeluang membeli tiket di bawah TBB atau sebaliknya melampaui TBA.
Formula TBA berlaku bagi kelas ekonomi sesuai Kepmenhub No KM 106/2019 kini tidak lagi relevan.
Terdapat perspektif yang perlu diluruskan perihal tiket pesawat murah. Kompetisi sehat menuntut maskapai berinovasi guna memperoleh pendapatan. Model bisnis kian berkembang, mulai dari berjualan extralegroom di kabin, kamar hotel, rental mobil, hingga mengembangkan super app. Pemantauan ketat inspektur penerbangan dibutuhkan untuk menjamin tidak ada aspek keselamatan penerbangan (flight safety) yang dikorbankan.
Masuk akal apabila Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) pada November 2023 menyarankan TBA dihapus. Melambungnya harga avtur imbas konflik geopolitik serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melatarbelakangi. Formula TBA berlaku bagi kelas ekonomi sesuai Kepmenhub No KM 106/2019 kini tidak lagi relevan. Pengejawantahan keadilan bagi maskapai nasional ialah fleksibilitas menentukan harga tiket guna bertahan hidup. Aspek keselamatan penerbangan nasional turut dipertaruhkan.
Melepaskan TBA ataupun TBB perlu diimbangi penguatan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pekerjaan rumah berat mengingat sejarah penegakan hukum putusan KPPU, termasuk kasus lampau surcharge dalam bisnis penerbangan nasional. Tantangan implementasi fungsi pengawasan guna mencegah kartel tiket kelas ekonomi rute domestik nyata mengingat persaingan sempurna sulit terwujud. Puzzle ini membutuhkan kemauan politik pemerintah.
Kedua, pemerintah dapat mengoptimalkan perannya sebagai regulator guna menginisiasi penerbangan codeshare. Hukum positif Indonesia mengklasifikasi maskapai dalam tiga segmen, yaitu full service, medium service, dan no frills (atau low-cost carrier). Klasifikasi ini dapat menjadi basis dalam mendorong kerja sama maskapai nasional sesama segmen walau berbeda grup, termasuk antara BUMN dan swasta.
Tujuannya memaksimalkan tingkat keterisian penumpang sehingga maskapai memiliki opsi meniadakan atau mengganti jadwal penerbangan sepi. Terbang merugi dihindari. Optimalisasi ini penting saat dunia penerbangan nasional pascapandemi menjumpai keterbatasan armada. Solusi temporer tersebut membutuhkan peran aktif pemerintah dalam menjembatani. Contohnya, inisiasi diskusi aspek komersial antara maskapai yang menerbangi (operating carrier) dan maskapai penjual tiket (contracting carrier), termasuk jika beda segmen.
Belakangan ini muncul ide mengintegrasikan Citilink Indonesia dengan Pelita Air ke dalam satu subholding aviasi, InJourney. Upaya menekan biaya logistik dan berstrategi menghadapi kekurangan armada pesawat melandasi. Apa pun aksi korporasi yang ditempuh kelak, pemerintah perlu menjamin lisensi penerbangan reguler Citilink dan Pelita Air tetap mandiri.
Kemandirian masing-masing bernilai strategis. Opsi ekspansi rute internasional tetap terbuka. Saat ini Indonesia memiliki beragam air service agreements dengan banyak negara. Baik bilateral maupun multilateral, serta menganut antara konsep Bermuda atau Open Skies. Sebagian bilateralisme mengusung Bermuda. Implikasinya, sejumlah air service agreements mengunci daftar maskapai nasional yang berhak melayani transportasi udara antarnegara. Independensi Citilink dan Pelita Air berarti menjaga peluang ekspansi jika salah satu tidak terdaftar. Maka, gagasan penerbangan codeshare realistis mengingat bersifat fleksibel.
Terobosan terakhir ialah pemerintah mendorong maskapai memindahkan kantor pusat (homebase) ke bandara pengumpul selain Soekarno-Hatta. Prioritas bandara di luar Pulau Jawa. Langkah krusial guna menciptakan pemerataan konektivitas. Saat ini dependensi masih tinggi sehingga setiap keterlambatan dari dan menuju Bandara Soekarno-Hatta akan memengaruhi jadwal penerbangan di bandara lain.
Wajar jika maskapai enggan meninggalkan homebase Bandara Soekarno-Hatta dengan segala infrastruktur serta peluang bisnis. Pemerintah dapat memberikan insentif kepada maskapai yang beralih ke bandara pengumpul tertentu dengan memperhatikan sejumlah syarat. Di antaranya, pangsa pasar domestik, persentase menerbangi kota tier-two maupun tier-three, dan persentase rute tanpa alternatif moda transportasi lain. Berbicara masa depan, rute kereta cepat perlu menjadi variabel.
Wujud insentif bervariasi sesuai kemampuan pemerintah. Terpenting tidak mendistorsi kompetisi sehat sehingga perlu melibatkan KPPU mengacu keilmuan air transport economics. Insentif dapat membiayai sewa kantor dan fasilitas di bandara baru hingga pelatihan kru beserta teknisi. Jangka waktu harus ditentukan agar maskapai tidak menerima insentif selamanya.
Akhir kata, terdapat jalan berliku untuk mewujudkan mimpi masyarakat akan harga tiket pesawat terjangkau. Pemerataan akses transportasi udara merupakan fondasi dan proses ini tidak dapat diingkari. Kemauan politik pemerintah adalah kunci keberhasilan.
Ridha Aditya Nugraha, Air and Space Law Studies, Sekolah Hukum dan Studi Internasional Universitas Prasetiya Mulya