Industri Pendorong Ekonomi
Industri manufaktur harus bertransformasi dari padat karya ke industri yang padat modal dan berteknologi lebih tinggi.
Sumbangan industri manufaktur Indonesia terhadap ekonomi nasional sekitar 18 persen.
Dengan struktur dan perkembangan ekonomi Indonesia sekarang ini, semestinya persentase tersebut lebih dari 20 persen. Ini penting tidak hanya bagi perekonomian nasional, tetapi juga kesempatan kerja yang dapat diciptakan.
Ibarat ekonomi adalah pesawat terbang, industri manufaktur adalah mesin yang membangkitkan daya dorong (thrust) untuk mendapatkan kecepatan tinggi yang menerbangkan pesawat. Industri elektronika dan komputer adalah kokpit untuk mengendalikan pesawat. Sektor perdagangan layaknya sayap pesawat, sektor konstruksi adalah kerangka (frame), dan keuangan adalah bahan bakar pesawat.
Industri manufaktur utama adalah makanan dan minuman, diikuti tekstil dan garmen, kimia, kendaraan bermotor, dan elektronika. Industri tekstil dan garmen serta elektronika bersifat padat karya, juga memberi sumbangan berarti pada ekspor negara kita, tetapi perkembangannya mengalami pelambatan dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Pertumbuhan manufaktur
Sebelum krisis ekonomi 1998, pertumbuhan industri manufaktur sekitar 7 persen, di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 6 persen. Setelah itu pertumbuhan manufaktur rata-rata sekitar 4,6 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sekitar 5 persen.
Pertumbuhan ini kurang memadai untuk mentransformasi Indonesia menjadi negara maju ke depan. Untuk menjadi negara maju harus didorong oleh manufaktur yang bertransformasi ke industri berteknologi lebih tinggi dalam perekonomian.
Industri manufaktur harus bertransformasi dari padat karya dan teknologi rendah ke industri yang lebih padat modal dan berteknologi lebih tinggi.
Kegagalan transformasi akan menyebabkan stagnasi, bahkan kemunduran industri.
Transformasi ini juga dalam rangka menghadapi persaingan yang semakin tinggi. Kegagalan transformasi akan menyebabkan stagnasi, bahkan kemunduran industri. Ini dialami Indonesia sehingga banyak yang menyebutnya sebagai gejala deindustrialisasi.
Substitusi impor, ekspor, digitalisasi, hilirisasi
Indonesia memulai industrialisasi dengan kebijakan substitusi impor. Industri strategis seperti baja, kimia, kendaraan bermotor, dan perkapalan dikembangkan di dalam negeri, dengan menerapkan tarif tinggi untuk impor dan dukungan dana pemerintah yang besar.
Kebijakan membangun industri domestik dapat mengurangi impor, tetapi tak dapat bersaing dengan produk dari luar. Perusahaan substitusi impor, swasta maupun BUMN, mengalami kerugian besar, sehingga terpaksa dijual ke asing atau diinjeksi dana lebih besar lagi oleh pemerintah. Impor juga dibuka lagi, bahkan lebih besar.
Kebijakan ekspor manufaktur didorong, menyusul turunnya harga minyak. Industri padat karya, seperti tekstil dan garmen, alas kaki, dan elektronika, mengekspor produknya dan memberi pemasukan devisa cukup besar. Namun, transformasi industri ini ke produk yang lebih tinggi teknologinya terhambat karena pelaksanaannya sulit. Kandungan teknologi ekspor Indonesia lebih rendah daripada negara-negara tetangga untuk manufaktur.
Digitalisasi industri dicanangkan dengan prioritas pada lima industri utama: makanan dan minuman, tekstil dan garmen, kendaraan bermotor, kimia, dan elektronika. Namun, ini lebih sebagai mengikuti kecenderungan saat ini, dan kurang serius dalam melakukan transformasi di industrinya. Digitalisasi berkembang cukup pesat di sektor keuangan dan perdagangan barang dan jasa.
Hilirisasi menjadi kebijakan yang diprioritaskan belakangan ini dengan menutup impor bahan mentah dan mengharuskan pemrosesan di dalam negeri.
Tujuannya, mendapatkan nilai tambah lebih tinggi di dalam negeri. Kebijakan ini mendapat tentangan dari negara importir bahan mentah, khususnya nikel, dan kritik dari lembaga multilateral, seperti IMF dan Bank Dunia, yang menyoroti tak dilakukannya perhitungan keuntungan-biaya yang memadai.
Industri pemrosesan dalam negeri juga masih belum cukup berkembang untuk mengolah bahan mentah ini. Biaya yang mahal, margin yang kecil, dan harga mineral yang berfluktuasi, juga sulit untuk ditangani.
Pengalaman itu menunjukkan bahwa apa yang paling menentukan dalam industrialisasi adalah pelaksanaannya di tingkat mikro perusahaan, apakah bisa menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi.
Kebijakan hanyalah mengarahkan, memperkuat, dan memfasilitasi. Dalam hal substitusi impor dan hilirisasi, pendekatannya semestinya adalah pada picking the likely winner sehingga lebih fokus, spesifik dengan keberhasilan dan kegagalannya mudah dievaluasi. Impor bahan mentah tak harus dilarang, tapi bisa dilakukan dengan domestic obligation (DMO) untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah industri.
Substitusi impor dan hilirisasi secara luas menyulitkan dalam perhitungan keuntungan biaya, transformasi untuk bisa berdaya saing, dan ada tentangan dari negara lain. Ini berimplikasi pada hambatan kerja sama dagang dan investasi.
Kebijakan makro dan sektoral industri hanya efektif jika dijalankan di tingkat mikro perusahaan.
Makro, sektoral, mikro
Kebijakan makro dan sektoral industri hanya efektif jika dijalankan di tingkat mikro perusahaan. Secara makro, biasanya ekonom menekankan liberalisasi dan menentang kebijakan sektoral industri, apalagi picking the winner jenis industri tertentu dan perusahaan.
Namun, liberalisasi hanya memberikan keuntungan sesaat dari keunggulan komparatif, terutama tenaga kerja murah, dengan membuka ekonomi; tetapi tak dapat mentransformasikan industri dengan teknologi yang lebih tinggi dan berdaya saing, baik produk maupun perusahaan. Kebijakan sektoral dan picking the winner dibutuhkan dengan melakukan perhitungan keuntungan-biaya dan kemampuan keuangan (balance sheet) serta teknologi di tingkat mikro perusahaan.
Di tingkat perusahaan, pelakunya bisa BUMN, swasta domestik, ataupun asing. Tenaga kerja juga sinergi antara tenaga kerja lokal dan selektif tenaga berkeahlian tinggi asing. Pengembangan industri di tingkat mikro ini yang menentukan daya saing. Kualitas perusahaan industri—tidak hanya dalam mendapatkan keuntungan, tapi juga berinovasi—sangat menentukan transformasi Indonesia menjadi negara maju berbasis industri, dengan mengandalkan keterampilan, pengetahuan, dan teknologi, kian penting.
Di sisi konsumen, tingkat kesejahteraan rumah tangga menentukan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan kuat. Ini berarti ketersediaan kesempatan kerja yang produktif dengan kualitas tenaga kerja lebih tinggi dan kuat.
Baca juga: Transformasi Struktural Ekonomi Menuju Indonesia Emas 2045
Umar Juoro, Senior Fellow the Habibie Center