Konotasi negatif dari istilah ”liberal” muncul karena yang jadi acuan referensi adalah norma seksualitas dan keagamaan.
Oleh
MARTINUS ARIYA SETA
·2 menit baca
Negara-negara Barat acapkali dituding sebagai negara liberal. Istilah liberal cenderung dipahami dengan konotasi negatif karena dikaitkan dengan tindakan amoral. Mengapa konotasi negatif ini muncul? Hal ini disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah acuan referensi (point of reference). Yang kedua adalah bias perspektif.
Konotasi negatif muncul karena yang menjadi acuan referensi adalah norma seksualitas dan keagamaan. Di negara-negara Barat, persoalan seksualitas dan agama adalah persoalan di ranah privat. Apa yang dianggap tabu dan dilarang di Indonesia justru diperbolehkan dan dilindungi di negara-negara Barat. Norma-norma yang mengatur persoalan seksualitas dan agama, bisa dikatakan, sangat longgar.
Yang disorot dari kebebasan adalah kebebasan beragama dan kebebasan seksualitas. Pandangan ini memang menimbulkan pro dan kontra, tetapi inilah yang menjadi patokan dari prinsip liberalisme di Barat. Kebebasan beragama tidak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk memilih agama, tetapi juga kebebasan untuk tidak beragama.
Gagasan kebebasan beragama mulai berkembang di Barat sejak abad ke-18. Sementara itu, keran kebebasan seksualitas mulai dibuka di Barat sejak tahun 1960-an. Revolusi kebudayaan 1968 merupakan salah satu tonggak dari revolusi seksualitas di Barat.
Kebebasan beragama dan kelonggaran norma seksualitas hanyalah salah satu sisi dari negara Barat. Jika yang dijadikan acuan referensi adalah persoalan penegakan hukum dan aturan sehari-hari, apakah negara Barat adalah negara liberal?
Hukum dan peraturan ditegakkan dengan ketegasan. Semua diatur dengan sangat baik, mulai dari persoalan lalu lintas, kebersihan lingkungan, tata ruang, hingga aturan ketenagakerjaan. Para pelanggar akan ditindak tegas.
Dalam ranah politik, kepatutan (Sittlichkeit) benar-benar ditaati. Melanggar kepatutan tidak selalu berarti melanggar hukum positif. Sering terjadi, pejabat publik mengundurkan diri karena melanggar kepatutan. Demokrasi tidak cukup dibangun hanya berdasarkan hukum positif, tetapi juga berdasarkan prinsip-prinsip kepatutan.
Jika wawasan kita diperlebar, kita harus mengakui dalam beberapa hal kita lebih liberal daripada orang-orang Barat. Ini bukan persoalan pro-Barat atau bukan. Ini persoalan fairness. Acuan referensi adalah sebuah perspektif yang memiliki keterbatasan. Jika keterbatasan ini tidak disadari, akan muncul bias.
Gibah memang mengasyikkan, tetapi ini rentan dengan bias perspektif. Saking asyiknya bergibah, kita tidak menyadari bias perspektif. Kita menggunakan pisau analisis yang tajamnya minta ampun ketika gibah tentang orang lain atau negeri orang. Sebaliknya, pisau analisis kita sangat tumpul ketika harus melihat diri sendiri atau negeri sendiri.
Di balik tudingan liberal, barangkali ada motif membanggakan kelompok sendiri, dengan mendiskreditkan kelompok lain. Ini adalah salah satu mekanisme pembentukan identitas kelompok. Ada kecenderungan ideologis di dalam mekanisme ini. Ciri khas kecenderungan ideologis adalah overgeneralisasi dan hilangnya kemampuan otokritik. Dalam bahasa yang sederhana, kita membutuhkan kejelekan orang lain untuk menunjukkan keunggulan diri kita.
Mengkritik adalah hal yang wajar agar kita juga tidak menjadi latah seolah-olah negara Barat menjadi ukuran ideal untuk segala-galanya. Fairness juga hal yang penting agar kita tidak kehilangan kemampuan otokritik. Bijak-bijaklah menggunakan istilah! Kita harus fair dalam menggunakan istilah liberal.
Martinus Ariya Seta, Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta