Siapa di antara mereka yang palsu, apakah pemengaruh konvensional (manusia) atau pemengaruh virtual?
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Perusahaan makin sering menggunakan pemengaruh (influencer) virtual dibandingkan menggunakan manusia untuk mempromosikan produknya. Apalagi, dengan teknologi kecerdasan buatan, mereka bisa menghadirkan sosok tiga dimensi sesuai keinginan merek. Lebih dari itu, ongkosnya lebih murah dan tidak rewel. Salah satu riset menyebutkan, ongkos pemengaruh virtual ini lebih murah 91 persen dibandingkan sosok riil.
Beberapa perusahaan teknologi telah mendorong mereka untuk menggunakan pemengaruh virtual berbasis kecerdasan buatan. Semula Amazon, Google, dan Meta mendorong pengiklan untuk menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk menghasilkan teks dan gambar iklan. Teknologi ini menjanjikan kinerja tinggi, biaya lebih rendah, dan penargetan yang sangat spesifik. Kini perusahaan teknologi mulai mendorong mereka untuk beriklan dengan menghadirkan sosok pemengaruh virtual tiga dimensi yang dihasilkan dari teknologi kecerdasan buatan.
Salah satunya adalah Meta. Dalam sebuah analisis studi kasus yang dibagikan oleh Instagram disebutkan, kampanye iklan H&M menampilkan Kuki, sosok pemengaruh virtual dan bot percakapan berbasis AI yang selalu aktif, yang dibuat oleh perusahaan bernama ICONIQ AI. Mereka menghasilkan peningkatan ingatan iklan sebesar 11 kali dibandingkan pemengaruh konvensional (manusia). Orang-orang yang ingat pernah melihat iklan untuk merek tertentulebih dari iklan dengan video kampanye saja sehingga menghasilkan penurunan biaya sebesar 91 persen per orang yang mengingat iklan.
Saat memunculkan sosok Kuki, H&M membuat target pasar lebih dulu. Sasaran H&M adalah terhubung dengan audiens perempuan muda berusia 18-34 tahun. Mereka kemudian mencari cara mendekati pasar ini hingga menengok koleksi Metaverse Design Story miliknya. Sosok Kuki sendiri, karena berada di metamesta (metaverse), hadir dalam sosok tiga dimensi. Mereka kemudian mencari produk yang pas untuk pasar itu, yaitu mencakup pakaian siap pakai yang dapat dibeli secara daring dan di toko dan pakaian digital yang dirancang bersama yang dibuat oleh Institute of Digital Fashion.
Global Head Of Media Innovation And Strategy H&M Hanna Bergius mengatakan, untuk kampanye inovasi Metaverse Design Story, pihaknya tertarik dengan titik temu antara dunia fisik dan digital dan ingin menemukan cara baru dan lebih menarik untuk terhubung dengan audiens. Mereka juga ingin memamerkan koleksi virtual dan fisik untuk kampanye tersebut.
Meta membantu H&M untuk mengubah wawasan yang lebih positif seputar pembuat konten virtual. Mereka juga mengubah sosok virtual menjadi proyek agar H&M terhubung dengan audiens perempuan muda di AS. Dengan melakukan hal ini, mereka mengetahui bahwa menyertakan kreator virtual @Kuki_ai dalam kampanye membantu mereka mendapatkan perhatian sebelas kali lebih banyak orang. H&M mengakui, pengalaman tersebut sangat positif dan hasilnya menjanjikan!
Akhir pekan lalu, Financial Times juga membahas soal ini. Mereka menyebut sosok Aitana Lopez. Aitana adalah sosok pemengaruh virtual yang telah memiliki pengikut 200.000 orang. Mereka telah membayarnya 1.000 dollar AS untuk satu unggahan promosi produk. Ia telah mendapatkan order untuk mempromosikan produk perawatan rambut Olaplex dan juga pakaian dalam Victoria’s Secret. Aitana adalah pemengaruh virtual yang diciptakan dengan menggunakan alat kecerdasan buatan.
Dalam analisis itu juga disebutkan, kemunculan AI telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemengaruh konvensional (manusia). Pendapatan mereka akan dikanibalisasi. Mereka juga terancam oleh pesaing mereka, yaitu sosok pemengaruh digital. Selama ini mereka mengeluhkan pemengaruh konvensional ini karena harganya tidak masuk akal.
”Kami terkejut dengan meroketnya tarif yang dikenakan pemengaruh saat ini. Hal ini membuat kami berpikir, bagaimana jika kami membuat sosok pemengaruh sendiri?” kata Diana Núñez, salah satu pendiri agensi The Clueless yang berbasis di Barcelona. The Clueless inilah yang mendirikan Aitana. Mereka juga lebih nyaman dengan pemengaruh virtual karena mereka memiliki kendali sepenuhnya dengan sosok ini.
Di sisi lain, pemengaruh konvensional (manusia) kerap kali membuat kontroversi, seperti perilakunya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai mereka. Banyak permintaan yang merepotkan mereka. Mereka juga sering kali rewel hingga mereka tidak konsisten dalam menerima order. Kadang mereka menerima order dari produk kompetitor. Mereka sering membuat opini dan permintaan-permintaan yang, sekali lagi, merepotkan mereka.
Debat soal yang palsu
Salah satu yang lucu adalah muncul debat siapa di antara mereka yang palsu, antara pemengaruh konvensional (manusia) dan pemengaruh virtual. Mereka memiliki alasan masing-masing untuk menuduh lawannya sebagai yang palsu alias tidak asli.
Pemengaruh konvensional langsung menunjuk semua yang ada di pemengaruh virtual adalah palsu. Sosok palsu, perbincangan palsu, dan bahkan atribut palsu. Pemengaruh virtual hanyalah sosok rekaan dan tidak ada dalam dunia nyata. Oleh karena itu, semua yang dihasilkan dari sosok virtual ini tidak ada yang riil seperti dalam kehidupan.
Sebaliknya, mereka yang di belakang pemengaruh virtual mengatakan, pemengaruh virtual muncul karena pemengaruh konvensional kerap memunculkan kepalsuan dalam setiap unggahan. Mereka tidak mengungkapkan siapa mereka sesungguhnya. Banyak polesan dan yang disembunyikan oleh pemengaruh konvensional. Kehidupan pemengaruh konvensional sendiri banyak kepalsuan sehingga merek tidak bisa begitu saja nyaman dengan mereka.
Debat ini tentu akan makin panjang karena urusannya adalah nasib rezeki masing-masing. Nilai bisnis pemengaruh diperkirakan mencapai 21 miliar dollar AS secara global. Pemengaruh konvensional yang mulai terdisrupsi akan mempertahankan keberadaannya. Sementara pemengaruh virtual akan terus berinovasi hingga makin mendapatkan tempat.
Akankah pemengaruh konvensional hilang dari dunia? Di dalam analisis Financial Times, seorang penulis menyebutkan, mereka yang berada di balik penciptaan pemengaruh berbasis kecerdasan buatan sangat realistis. Mereka berpendapat bahwa pemengaruh virtual hanya mengganggu pasar yang terlalu besar. Meski demikian, kehadiran pemengaruh virtual bisa pula menjadi tanda bahwa sosok virtual mulai mengalahkan peran manusia.