logo Kompas.id
OpiniEtika dan Kepemimpinan...
Iklan

Etika dan Kepemimpinan Profetik

Untuk menjamin transformasi, Indonesia menunggu kehadiran pemimpin yang berpegang teguh kepada etika politik profetik.

Oleh
SYAMSUL ARIFIN
· 6 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Kontestasi dalam Pemilu 2024, lebih-lebih menjelang pencoblosan pada 14 Februari 2024, kian menyadarkan kita tentang pentingnya mengelola hasrat dalam bingkai etika. Hasrat yang dimaksud adalah hasrat kepada kekuasaan (the will to power). Dalam konteks Pemilu 2024, terutama pilpres-cawapres, hasrat ini terdapat pada dua pihak, yang disebut Bertrand Russell (1872-1970) dalam Power: New Social Analysis (2004), memiliki orientasi kekuasaan berbeda, eksplisit dan implisit, kendati menyasar obyek yang sama.

Pihak pertama adalah elite yang memiliki orientasi kekuasaan secara eksplisit. Inti dari elite ini adalah pasangan yang mengincar posisi puncak dalam kratos, yaitu presiden-wakil presiden. Pihak kedua adalah pendukung dan pengikut yang terbagi dalam beberapa entitas dan menyebar menjadi berbagai gerombolan. Karena posisi yang diincar terbatas, mobilisasi sumber daya tak terhindarkan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Target utama mobilisasi adalah perolehan suara mayoritas. Dalam iklim demokrasi yang belum dewasa dan sehat, perilaku politik secara diskursif yang lebih mengutamakan nalar terkalahkan oleh cara berpolitik yang mengedepankan politik uang, dan ditambah pula dengan kekerasan, guna mendapatkan dukungan mayoritas.

Kekerasan, politik uang yang bahkan kian prolifik, dan pada gilirannya korupsi oleh pemimpin dan pejabat publik yang memang lekat dengan praktik kekuasaan, menurut Haryatmoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan (2003), harus dipandang sebagai bentuk kejahatan.

Baca juga: Etik, Hukum, dan Kekuasaan

Etika profetik

Karut-marut politik termasuk yang terjadi dalam Pemilu 2024 selalu berakar dan bersumber pada elite terutama yang memiliki orientasi kekuasaan eksplisit. Masih lekat dalam ingatan publik tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan yang berembus kencang menjelang akhir kekuasaan Presiden Joko Widodo. Lepas dari wacana liar ini, publik dibuat bingung dengan keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang menganulir batas usia capres-cawapres.

Orientasi kepada kekuasaan yang begitu kuat inilah yang mengakibatkan demokrasi tersandera oleh kepentingan elite oligarkis. Elite membentuk oligarki untuk menyorongkan calon tertentu dengan maksud mengamankan kepentingan mereka. Perilaku mereka persis seperti digambarkan Jean Monnet (1888-1979), negarawan dari Perancis, ”For the politician, the goal is always to be in the government. Everything is about the struggle for office. The purpose of power, the problem to solve, is forgotten.

https://cdn-assetd.kompas.id/7EkcGXHHCXWtsujb7nkZFQOaeUg=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F20%2F8cf8bf95-3742-4a19-a61d-1db4c50a234c_jpg.jpg

Dalam perspektif etika, praktik ini tentu merupakan paradoks. Etika menaruh perhatian kepada tindakan individual yang disebut actus humanus atau deliberate action, yakni tindakan (elite, politisi, pemimpin) yang berkesadaran yang mengandung implikasi moral. Dengan individu yang kokoh secara etik, pada gilirannya akan muncul kemaslahatan pada level sosial, institusional, dan publik. Dalam konteks ini, etika profetik, yaitu etika yang didasarkan kepada praktik kepemimpinan nabi (prophet) penting dieksplorasi.

Etika profetik menekankan kepada kualitas adiluhung sebagaimana yang melekat pada pribadi nabi, yang dengan kualitas ini nabi dapat menjalankan kepemimpinan yang dapat memadukan antara dimensi keagamaan dengan keduniawian. Karena itu, Imam Mawardi (972-1058), pemikir politik Islam, mengatakan dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, ”Sesungguhnya imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” Merujuk kepada Imam al-Mawardi, pemimpin dengan demikian merupakan perpaduan antara kualitas diri, terutama aspek moral ability, legitimasi, dan peran profetik yang dijalani.

Aspek moral harus dijadikan pertimbangan utama selain physicality dan intellectuality karena pemimpin, sebagai nabi, akan menjadi role model atau uswah hasanah suatu tindakan individual dan sosial yang mengandung kebaikan. Tindakan yang harus menjadi teladan dari pemimpin, dikemukakan al-Farabi (872-951), filsuf Islam klasik, di antaranya: (1) pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan; (2) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan duniawi; (3) pencinta keadilan dan pembenci kezaliman (Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, 1990).

Dengan individu yang kokoh secara etik, pada gilirannya akan muncul kemaslahan pada level sosial, institusional, dan publik.

Iklan

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menemukan sosok ideal tersebut? Ini penting dipertanyakan karena pada era yang dipenuhi oleh realitas ciptaan sebagai buah dari revolusi industri 4.0, dalam ruang publik mendadak muncul sosok yang dicitrakan memiliki kualitas luhur. Dalam era di mana berbagai piranti media sosial mudah didapat dan diciptakan bahkan secara perorangan, publik tiba-tiba disodorkan dengan sosok yang mendadak tercitrakan memiliki kualitas luhur.

Sosok dengan kualitas luhur muncul melalui pergumulan dalam dunia yang sesungguhnya, bukan dalam dunia ciptaan media sosial. Pun juga tidak muncul secara mendadak karena memanfaatkan popularitas, pengaruh, serta otoritas orang terdekatnya seperti orangtua dan kerabat. Kepemimpinan dan posisi sebagai nabi, Muhammad, misalnya, diperoleh karena kemampuan menempa dirinya melalui olah spiritual yang panjang, serta teruji secara otentik ketika menghadapi persoalan krusial di sekitarnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/mEWl0u4wtG6b28PQdIzu4TlyQlI=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F28%2Fa988bad0-7b6f-4abd-a806-00dc59467a4c_jpg.jpg

Relevansi dan urgensi

Partisipasi warga pada 14 Februari 2024 akan membuahkan rotasi kepemimpinan nasional. Selain ditandai dengan partisipasi dan rotasi, demokrasi meniscayakan pertanggungjawaban (accountability) yang dibebankan kepada peraih suara terbanyak. Semua kandidat memiliki semangat yang sama, yakni mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, unggul, dan berkeadilan untuk semua, sebagaimana disampaikan saat kampanye

Mewujudkan cita-cita ini bukan perkara mudah. Bangsa Indonesia patut bangga dan bersyukur karena dilimpahi berbagai kekayaan alam. Sayangnya, kita masih dihantui kekhawatiran terjadinya realitas paradoksal yang disebut resource curse (kutukan sumber daya alam) karena tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan tata kelola atau governansi yang tunduk terhadap berbagai ketentuan etik yang absolustik, universal, dan imperatif.

Akibatnya, kekayaan alam belum menjamin keterwujudan suatu negara dan bangsa yang dalam imajinasi al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadilah (Kota Utama), mampu menjamin ketercapaian kebahagiaan warganya, sebagaimana kondisi yang juga diidealkan Socrates (470 SM–399 SM), filsuf Yunani di era klasik. Alih-alih kebahagiaan bagi seluruh warga, menempatkan diri pada posisi medioker, tengahan, Indonesia dalam indeks kebahagiaan masih berada di level bawah, bahkan termasuk di kawasan Asia Tenggara.

Salah satu faktor yang dapat mengondisikan kebahagiaan adalah pendapatan per kapita, seperti ditunjukkan oleh negara-negara Skandinavia, misalnya Finlandia dan Denmark, yang selalu berada pada urutan teratas dalam laporan World Happiness Report. Sementara Indonesia masih harus berjuang untuk keluar dari jebakan atau perangkap berpendapatan menengah (middle-income trap).

Baca juga: Demokrasi Tanpa Etika Politik

Jika Indonesia telah dilimpahi kekayaan alam, ditambah lagi dengan pertambahan penduduk yang di antaranya menjadi bonus demografi, tetapi masih ada satu hal lagi yang dapat menjamin transformasi Indonesia ke kondisi ideal, yakni kehadiran pemimpin yang berpegang teguh kepada etika politik profetik. Penekanan pada etika ini didasarkan pada argumen bahwa tata kelola atau governansi di Indonesia telah menyimpang sedemikian jauh dari ketentuan etik absolustik, universal, dan imperatif.

Batas antara yang baik dan buruk terjadi kekaburan. Suatu aktivitas yang dari sisi etika deontologis Kantian adalah buruk atau jahat, lalu dipersepsi dan dipraktikkan sebagai tindakan yang netral belaka secara etik. Korupsi, misalnya, karena sedemikian massif, terstruktur, dan sistematis, tidak lagi dipandang sebagai kejahatan. Merujuk kembali Haryatmoko, korupsi yang sejatinya merupakan kejahatan individual, sosial, dan struktural, ironisnya, menjadi hal biasa (banalisasi) yang dilakukan oleh banyak orang, utamanya mereka yang memiliki posisi strategis.

Kepemimpinan yang dapat menghentikan praktik culas adalah yang tunduk kepada etika politik profetik. Mengapa? Pemimpin, sebagaimana nabi, adalah eksemplar yang baik, atau uswah hasanah. Pemimpin harus menunjukkan bahwa dirinya ketika menjalankan tugas kepemimpinan jauh dari mentalitas animal laborans yang berpotensi korup karena menjadikan jabatan sebagai instrumen mata pencaharian. Sebagai pejabat publik, apalagi menempati posisi puncak, seharusnya memerdekakan diri dari persekongkolan untuk mendapatkan insentif bagi diri dan kroninya.

Jika menilik besaran pendapatan pejabat publik, sebenarnya terbilang lebih dari cukup, bahkan berlebih. Maka bisa dipastikan, segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) lebih didorong oleh mentalitas serakah (by greed), alih-alih sekadar untuk memenuhi kebutuhan berjangka pendek (by need).

Pemimpin berkarakter profetik, sebagaimana dipraktikkan oleh para nabi, adalah pemimpin yang menampilkan dirinya dengan mentalitas dan perilaku iffah, mampu menahan diri dari godaan kenikmatan duniawi. Sebagaimana nabi, yang menjadi prioritas utama pemimpin berkarakter profetik adalah kebahagiaan seluruh warga, bukan untuk dirinya, keluarga, dan kroninya.

Syamsul Arifin, Guru Besar dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang

Syamsul Arifin
ARSIP UMM.AC.ID

Syamsul Arifin

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000