Adaptasi Perilaku Konsumsi-Tabungan
Adaptasi kelas menengah membuat perekonomian lebih berdaya tahan.
Tahun 2023 yang baru saja berlalu akan dikenang sebagai tahun prediksi resesi meleset (The Economist, Desember 2023). Di Amerika Serikat, suku bunga acuan naik, inflasi berangsur turun, tanpa perekonomian harus mengalami resesi. Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2023 bahkan tercatat 4,9 persen yang didorong oleh pengeluaran untuk jasa. Pertumbuhan ini adalah yang tertinggi sejak triwulan III dan IV-2022.
Pertumbuhan berbasis sektor jasa ini didukung data Purchasing Manager’ Index (PMI) sektor jasa yang tetap dalam zona ekspansi, naik ke 51,3 pada Desember dari 50,8 di bulan sebelumnya. Sementara PMI untuk sektor manufaktur tetap dalam zona kontraksi, turun dari 49,4 ke 47,9.
Inflasi AS turun dari 3,2 persen pada November ke 3,1 persen pada Desember. Ini catatan terendah dalam lima bulan terakhir pada 2023. Inflasi ini adalah imbas dari krisis energi dan pangan akibat konflik Rusia-Ukraina.
Faktor penting di balik melesetnya prediksi resesi 2023 adalah adanya jumlah kelas menengah yang signifikan.
Hal yang menarik, adaptasi di sisi permintaan masyarakat ala Hicksian compensated demand function (Mas-Collel et al 1995) atau HCDF turut meminimalkan dampak inflasi. Peran masyarakat melalui substitution-income effects tidak dapat diabaikan sehingga perekonomian lebih berdaya tahan terhadap inflasi-resesi.
Faktor penting di balik melesetnya prediksi resesi 2023 adalah adanya jumlah kelas menengah yang signifikan. Sebagai respons terhadap inflasi, reaksi HCDF membuat pola konsumsi bergeser ke arah discretionary items, lebih terdiversifikasi antara pangan-sandang, barang tahan lama, dan jasa (Chaudary dan Khatoon, 2021).
Akibatnya, kemungkinan substitusi di antara kelompok barang menjadi lebih besar. Dengan anggaran yang lebih lapang, kelas menengah dapat merealokasi porsi konsumsi dari yang inflasi relatifnya tinggi ke lebih rendah sehingga secara agregat momentum pertumbuhan tetap terjaga.
Kasus Indonesia
Bank Dunia pada 2020 memperkirakan 114,7 juta penduduk Indonesia menuju kelas menengah. Selama 2002 sampai dengan 2016, jumlahnya bertambah 7-10 persen per tahun. Dari penghitungan ini, sedikitnya 52 juta orang sudah masuk menjadi kelas menengah (Bank Dunia, 2020).
Definisi kelas menengah adalah warga dengan pengeluaran Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per bulan. Sementara kelompok di atasnya disebut kelas atas. Semua ini turut berperan dalam perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) publikasi Bank Indonesia yang secara konsisten di atas 120 sejak Mei 2022.
IKK Bank Indonesia mempunyai penggolongan pendapatan-pengeluaran yang sedikit berbeda, tetapi beririsan, dengan versi Bank Dunia. Dua kelompok terbawah, yaitu Rp 1 juta sampai Rp 2 juta dan Rp 2,1 juta sampai Rp 3 juta per bulan, mempunyai IKK di atas 110, tetapi di bawah 120, yang berarti tetap dalam zona optimistis.
Bank Dunia pada 2020 memperkirakan 114,7 juta orang penduduk Indonesia menuju kelas menengah. Selama 2002 sampai dengan 2016, jumlahnya bertambah 7-10 persen per tahun.
IKK untuk kelompok pengeluaran Rp 3,1 juta sampai Rp 4 juta per bulan adalah 123,9. Sementara untuk kelompok pengeluaran Rp 4,1 juta sampai Rp 5 juta dan kelompok di atas Rp 5 juta masing-masing 128,3 dan 132,3. Indeks keseluruhan untuk bulan November adalah 123,6, yang berarti sangat optimistis melihat ke depan.
IKK yang optimistis di atas dibarengi dengan minat membeli barang tahan lama yang meningkat. Indeksnya untuk November berada pada 110,2, naik tipis dari 109,2 pada bulan lalu. Indeks ini sebelumnya secara konsisten bertahan di atas 105 sejak April 2023. Pembelian barang tahan lama ini tampaknya dibiayai dengan cicilan.
Porsi pengeluaran cicilan menunjukkan kecenderungan naik sejak Februari 2023, dari 8,4 persen menjadi 9,3 persen pada November 2023, sekalipun belum kembali ke rerata 12 persen seperti 2018-2019. Tren ini akhirnya ikut mendorong pertumbuhan tahunan sektor manufaktur per triwulan III-2023 sebesar 5,2 persen.
Adaptasi inflasi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi tahunan Desember turun ke 2,61 persen dari 2,89 di bulan sebelumnya. Angka inflasi kelompok makanan termasuk olahannya adalah 6,18 persen, turun dari 6,71 persen di bulan sebelumnya.
Namun, secara relatif, kelompok ini tetap menjadi penyumbang terbesar inflasi. Porsinya adalah 61,3 persen dari inflasi total, naik dari 60,1 persen di bulan sebelumnya.
Konsumsi barang tahan lama yang masuk ke dalam kategori perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga mencatat inflasi 1,57 persen alias turun dari 1,63 persen pada November. Kontribusinya terhadap inflasi total adalah 3,4 persen, turun dari 3,9 persen pada November 2023.
Inflasi relatif dan konsumsi tertunda akibat pandemi membuat preferensi konsumen antarkelompok barang berubah.
Sementara barang bukan tahan lama dengan elemen mobilitas termasuk transportasi, rekreasi-olahraga-budaya, serta penyediaan makanan-minuman atau restoran mencatat inflasi masing-masing sebesar 1,27; 1,69; dan 2,07 persen. Secara bersama-sama porsinya adalah 14,9 persen dari inflasi total. Angka ini lebih tinggi dari kontribusinya pada bulan November sebesar 13,6 persen karena inflasi komoditas rekreasi.
Inflasi relatif dan konsumsi tertunda akibat pandemi membuat preferensi konsumen antarkelompok barang berubah. Ini menjelaskan mengapa indeks pembeli barang tahan lama pulih ke zona di atas 100 (optimistis), bahkan sejak Mei 2022, setahun lebih sebelum Covid-19 dinyatakan sebagai endemi.
Kompleksitasnya, fenomena rindu perjalanan (revenge travelling) pascapandemi masih terjadi. Konsumsi jasa mungkin berebut porsi belanja rumah tangga dengan barang tahan lama. Namun, pengamatan pada beberapa tujuan wisata saat liburan Natal dan Tahun Baru yang lalu menunjukkan aktivitas konsumsi dengan mobilitas tinggi tetap tidak terlalu terganggu.
Tampaknya, barang tahan lama dan nontahan lama cenderung menjadi komplementer, bukan substitusi seperti pada 2019, paling tidak untuk sementara. Konsumsi simultan barang tahan lama dan nontahan lama adalah kombinasi pembiayaan cicilan dan mengurangi porsi pengeluaran bulanan yang biasanya disisihkan untuk ditabung (average propensity to save/APS).
Ini tidak dapat diartikan sebagai dis-saving, melainkan lebih pada mengatur waktu aktivitas konsumsi dan besaran APS plus cicilan sebagai penyangga antarwaktu.
Data IKK menunjukkan APS turun tipis dari 15,7 persen di bulan Oktober ke 15,4 persen di bulan November, menjelang liburan akhir tahun 2023. Pola yang lalu, Desember 2022 sebelum Natal dan Tahun Baru, angkanya 15,2 persen, turun dari 15,7 di November, kemudian Januari 2023 melonjak ke 16,7 persen.
Ilustrasi lain, Maret 2023 menjelang Lebaran, APS tercatat 15,5, turun dari 16,4 pada bulan Februari, kemudian April kembali ke 16,4. Indikasinya, ada siklus musiman perilaku konsumsi-tabungan pascapandemi menghadapi hari raya atau liburan panjang.
Perilaku ini membantu pertumbuhan manufaktur, perdagangan, transportasi, hotel-restoran, dan informasi-komunikasi, terkointegrasi dengan multiplier lintas sektor. Kelas menengah dengan adaptasi melalui HCDF membuat perekonomian lebih berdaya tahan.
Pola ini membuat pesimisme bahwa gejolak perekonomian global akan membuat perlambatan dalam negeri tidak terealisasi pada 2023, bahkan kemudian menjadi modal untuk optimisme dengan kehati-hatian pada 2024.