Refleksi Bencana Kebakaran Smelter di Morowali
Banyak hal yang harus diperbaiki dalam hilirisasi pertambangan agar kecelakaan kerja tak terus merenggut korban jiwa.
Suasana libur Natal 2023 dinodai dengan bencana memilukan yang mencoreng dunia pertambangan Indonesia. Sehari sebelum Natal, pada 24 Desember 2023 sekitar pukul 06.00, terjadi kebakaran smelter yang menyebabkan 13 tenaga kerja tewas di tempat kejadian dan 46 orang lainnya mengalami luka bakar di sekujur tubuh diperkirakan hingga 70 persen.
Belakangan, saat artikel ini ditulis, korban meninggal bertambah menjadi 19 orang dari total 59 korban kecelakaan kerja (Kompas.com, 28/12/2023). Korban tewas terdiri dari 11 tenaga kerja Indonesia dan 8 tenaga kerja asing dari China.
Bencana yang berulang
Bencana kecelakaan kerja di PT ITSS tersebut menelan korban terbanyak, tetapi bukan yang pertama sejak program hilirisasi pertambangan dicanangkan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Berikut adalah beberapa catatan kecelakaan serupa sebelumnya yang merenggut korban selama satu tahun terakhir, sebagai pengingat betapa seriusnya insiden kecelakaan kerja seperti di Morowali ini harus segera kita hentikan.
Pada 2 Oktober 2023, ledakan smelter di kiln 17 Smelter E di area PT IWIP menewaskan dua pekerja. Pada 23 September 2023, seorang pekerja terbakar di kolam limbah panas di area smelter PT GNI di Morowali Utara.
Baca juga: Kecelakaan Berulang di Smelter Berpotensi Hambat Hilirisasi
Pada 26 Juni 2023, ledakan tungku (furnace explosion) di smelter 2 PT GNI di Morowali Utara menyebabkan satu orang meninggal dan melukai enam pekerja lainnya akibat dari semburan api.
Pada 27 April 2023, longsor pada area penumpukan limbah (slag dumping area) di IMIP menyebabkan dua pekerja PT IGCNSI meninggal tertimbun slag panas.
Pada 29 Januari 2023, kendaraan truk pembawa nickel ore tergelincir, mengakibatkan satu pekerja tewas di area kerja PT GNI. Pada 7 Januari 2023, seorang pekerja di IWIP tewas terlindas loader di gudang ore pada area industri Smelter H.
Pada 22 Desember 2022, ledakan tungku di smelter PT GNI di Morowali Utara menyebabkan dua orang tewas.
Hilirisasi mineral
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang kemudian disempurnakan oleh UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), memberikan mandat untuk menasionalisasi pengelolaan sumber daya mineral. Ekspor sumber daya mineral dalam bentuk bahan mentah (baca: menjual ”Tanah Air”) yang hanya mempunyai nilai tambah sangat kecil harus dihentikan.
Pada saat yang sama, program hilirisasi digalakkan, yakni dengan mewajibkan pengusaha pertambangan membangun pabrik pengolahan di dalam negeri sehingga produk tambangnya bisa mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi. Sebagai contoh di produk nikel. Nilai bahan baku nikel mentah (nickel ore) saat ini dihargai sekitar 30 dollar AS per ton.
Ketika nickel ore tersebut diolah di pabrik smelter menjadi nickel pig iron (NPI), harganya akan naik menjadi sekitar 3,3 kali lipat. Sementara apabila diolah menjadi bahan feronikel (FeNi), bisa naik menjadi 6,8 kali lipat.
Ketika bahan tersebut diolah lebih lanjut dan menghasilkan produk nickel matte, nilainya bisa bertambah menjadi 44 kali lipat. Terlebih lagi apabila nickel ore tersebut diolah dengan menggunakan teknologi hydrometallurgy yang dapat menghasilkan produk mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai, nilai tambahnya bisa melejit menjadi 120 kali lipat.
Ketika nickel ore tersebut diolah di pabrik smelter menjadi nickel pig iron, harganya akan naik menjadi sekitar 3,3 kali lipat.
Sebelum UU Minerba diterapkan, di dunia pertambangan nikel Indonesia, kita hanya mempunyai dua operator smelter nikel, yaitu PT Antam dan PT Vale/Inco, yang beroperasi sejak 1976/1977. Hingga kini, PT Antam mengoperasikan tiga tungku (furnace) di Smelter Pomalaa berkapasitas produksi 27.000 ton nikel per tahun di dalam produk feronikel. Sementara PT Vale mengoperasikan 4 tungku di Smelter Sorowako dengan kapasitas produksi 70.000 ton nikel per tahun di dalam produk nickel matte.
Selama hampir 50 tahun, Indonesia hanya memproduksi sekitar 100.000 ton nikel yang proses pengolahannya dilakukan di dalam negeri. Sisanya, kita ekspor sumber ke luar negeri dalam bentuk bahan baku mentah (nickel ore), terutama ke China dan sebagian ke Eropa dan negara lainnya.
Sejak program hilirisasi dilaksanakan dengan tegas oleh pemerintahan Jokowi, dengan implementasi larangan ekspor bahan baku mineral mentah sesuai dengan amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 beserta aturan-aturan menteri turunannya, ratusan smelter nikel baru telah dibangun dan sebagian besar telah berproduksi.
Setidaknya ada 116 smelter nikel saat ini yang telah beroperasi dan puluhan lainnya sedang tahap konstruksi. Smelter tersebut tersebar di Morowali, Morowali Utara, Konawe, Kolaka, Pulau Obi, Bantaeng, Weda Bay, Kalimantan Selatan, dan beberapa lokasi lainnya.
Produksi pengolahan nikel Indonesia meningkat drastis dari 345.000 ton pada 2017 menjadi 1,6 juta ton pada 2022. Ini memosisikan Indonesia sebagai raja produsen nikel dengan kontribusi hampir 50 persen dari total produksi nikel dunia.
Pendapatan negara dari ekspor produk nikel pun terbang dari sekitar Rp 60 triliun pada 2017 menjadi Rp 504 triliun pada 2022, atau 840 persen peningkatan dalam lima tahun. Perlu diketahui dan patut disyukuri, Indonesia mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia, sekitar 21 juta ton, dan merupakan 22 persen dari total cadangan dunia.
Baca juga: Mendorong Hilirisasi ke Hilir
Semua smelter nikel baru yang dibangun dalam program hilirisasi ini menggunakan teknologi China, berbeda dengan smelter yang sudah ada milik PT Antam dan PT Vale yang dibangun dengan teknologi Barat. Teknologi furnace dari China kapasitasnya lebih kecil dan hanya mempunyai service life antara 12 dan 24 bulan. Setelah tungku dioperasikan selama waktu tersebut, harus dilakukan perbaikan besar kembali atau disebut rebuild.
Ini berbeda dengan tungku teknologi Barat, misalnya dari Kanada yang dipakai di PT Antam Pomalaa dan PT Vale Sorowako yang dapat bertahan lebih lama dan perlu dibangun kembali (rebuild) biasanya setelah 20 tahun.
Tentu ada sisi plus dan minus antara teknologi China dan teknologi Barat, misalnya jika dilihat dari kacamata investasi. Jika hanya melihat dari sisi ekonomi, teknologi China mungkin bisa memberikan return on investment (pengembalian investasi) yang lebih cepat karena biaya kapitalnya (capex) jauh lebih rendah. Namun, ada aspek penting lain yang seharusnya menjadi faktor pertimbangan, seperti aspek keselamatan, efisiensi, keberlanjutan, dan keramahan lingkungan.
Rekomendasi
Dari aspek keselamatan, kita harus jujur dan mengakui ada banyak hal yang harus diperbaiki dalam implementasi program hilirisasi ini agar insiden kecelakaan kerja tidak terus merenggut korban dan mencoreng tujuan mulia dari mandat UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Insiden Morowali ini harus menjadi wake up call bagi pemerintah. Sudah waktunya bagi pemerintah melakukan big clean up terhadap operasi smelter yang tidak comply terhadap standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Beberapa poin di bawah ini mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk membuat rencana aksi yang konkret.
Pertama, safety audit perlu dilakukan terhadap seluruh operasi smelter, dimulai dari smelter yang sering mengalami kecelakaan kerja. Audit sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen yang paham dan dikenal reputasinya di dunia pertambangan. Hasil audit harus memberikan keluaran berupa rekomendasi rencana aksi berisi apa yang harus dilakukan setiap operator smelter untuk menuju full compliance terhadap standar K3 sesuai dengan standar industri pertambangan yang berlaku di Indonesia dan secara international best practice.
Baca juga: Cegah Ledakan Tungku Smelter Berulang, Kemenaker Tambah Tenaga Pengawas
Kedua, setiap operator smelter harus membuat rencana aksi perbaikan standar K3, mempertimbangkan rekomendasi dari hasil audit dan disetujui oleh pemerintah berwenang.
Ketiga, pemerintah perlu membentuk tim untuk memastikan pengawasan implementasi dari rencana aksi K3 dari setiap operator smelter dapat berjalan.
Keempat, evaluasi oleh lembaga independen perlu dilakukan setiap tahun untuk mengevaluasi progres pencapaian rencana aksi dan mengevaluasi efektivitas dari program tersebut.
Kelima, sanksi bagi operator smelter yang tidak tunduk terhadap kebijakan pemerintah mengenai K3 ini dapat dikaitkan dengan penangguhan insentif pajak (tax incentive) jika diperlukan sebagai alternatif dari penghentian operasi smelter yang mungkin justru akan menimbulkan isu baru karena melibatkan ribuan tenaga kerja yang juga membutuhkan pekerjaan.
Suyanto Mahdiputra, Praktisi Dunia Pertambangan