Ada problem penggunaan kata yang perlu dicermati dalam tulisan Yasraf A Piliang yang berjudul ”Malu Menjadi Bangsa” (Kompas, 5/1/2023). Kata yang dimaksud adalah altruisme yang dalam tulisan tersebut muncul sebanyak dua kali. Penggunaan kata tersebut, hemat saya, bermasalah karena diletakkan dalam konteks yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan makna kata tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2016) mendefinisikan kata altruisme dalam dua makna, yakni (1) paham (sifat) yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme); (2) sikap yang ada pada manusia, yang mungkin bersifat naluri, berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada orang lain.
Definisi yang hampir serupa untuk kata altruism juga terdapat pada Oxford Learner’s Dictionary (daring) dan Cambridge Dictionary (daring).
Dari definisi-definisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari altruisme atau altruism adalah kesukarelaan untuk melakukan kebaikan bagi orang lain meskipun itu tidak memberikan keuntungan untuk diri sendiri, bahkan sekalipun kepentingan diri sendiri harus dikorbankan. Dengan kata lain, altruisme itu melakukan sesuatu tanpa pamrih.
Karena itu, kalau kita membaca penggunaan kata altruisme dalam tulisan Yasraf A Piliang akan dengan mudah terbaca ada ketidaktepatan pemakaiannya. Altruisme disejajarkan dengan sikap-sikap lain yang bernuansa negatif, seperti individualisme, egosentrisme, egoisme kelompok; keculasan, kecurangan, dan kelicikan; intimidasi, ancaman, dan teror; wacana ejekan, hinaan, dan cercaan; manipulasi aturan hukum, etika, dan norma publik.
Padahal, merujuk pada definisi-definisi di atas, altruisme sama sekali bukan sikap negatif. Malah sebaliknya, itu adalah bagian dari kebajikan yang sangat dibutuhkan di tengah bangsa yang semakin berjiwa transaksional seperti sekarang ini.
Jika hendak ditarik lebih jauh, altruisme justru merupakan modal untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam mengaktualisasikan semangat persatuan Indonesia dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Altruisme justru merupakan salah satu sikap yang sangat dibutuhkan agar kita ”tidak malu menjadi bangsa”.
HERBERTUS JANI
Matraman, Jakarta Timur
”Kompas” Tidak Naik
Tahun 2024 diawali dengan ”kabar baik” bagi pembaca setia Kompas. Hingga hari ini harga langganan edisi cetak Kompas tidak naik, tetap Rp 200.000 per bulan ditambah ongkos kirim, harga eceran juga sama, Rp 9.000.
Selama dua tahun berturut-turut, di awal 2022 dan 2023, saya menulis surat berjudul ”Langganan Kompas” (6/1/2022 dan 12/1/2023). Surat-surat itu berisi komentar berkenaan dengan kenaikan harga langganan dan eceran yang signifikan di awal tahun. Saya ketika itu bisa memaklumi kenaikan tersebut.
Berbagai perubahan besar dan cepat, meningkatnya ongkos produksi, sementara kualitas harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan, membuat Kompas menaikkan harga dalam dua tahun berturutan.
Bertahannya harga Kompas tahun ini, saya sambut lega. Sebagai media arus utama nasional yang panjang sejarahnya, tepercaya kredibilitasnya, serta terjaga kualitasnya, berlandaskan kerja jurnalistik profesional, Kompas perlu dibaca seluas mungkin. Terlebih pada masa menjelang Pemilu 2024, di tengah melimpahnya informasi yang miskin kualitas, menyesatkan, bahkan menghasut.
Di usia menjelang genap 59 tahun, konten yang kredibel, mendalam, komprehensif, padat, akurat, berdasarkan data, harus terus menjadi keunggulan Kompas sehingga surat kabar ini tetap menjadi rujukan dalam menjaga harapan di tengah era ketidakpastian. Insya Allah.
EDUARD LUKMAN
Pejaten Barat, Jakarta Selatan