logo Kompas.id
OpiniProfesor, Politisi, dan Legasi...
Iklan

Profesor, Politisi, dan Legasi Kesejahteraan

Perlu migrasi besar untuk memperkuat jejaring universitas dan industri dalam ekosistem yang dinamis, produktif, dan maju. Administrasi riset sepatutnya menjadi penopang yang menggairahkan geliat dan kemudahan berinovasi.

Oleh
IWAN YAHYA
· 4 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Masa berkampanye tengah marak. Masyarakat akan segera kembali memilih presiden baru dan para wakil rakyat. Janji perubahan menyesaki atmosfer kesadaran kita. Terjejali narasi kesejahteraan dalam beragam kemasan.

Isu kesejahteraan membanjiri percakapan di kedai kopi dan media sosial. Lumrah saja karena kampanye memang harus didudukkan sebagai langkah persuasi politik produktif dan berkejujuran. Sudah seharusnya kaya dengan kekuatan visi disertai penanda kekuatan akal budi untuk menyegerakan kesejahteraan berkeadilan. Itu harapan semua orang.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Karena alasan kesejahteraan pula, Sulton Hamid Faros Naban menjalani hari bersama kecipak udang dalam kolam budidaya di halaman rumah orangtuanya di kawasan Pantai Empan, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Dari pengetahuan empirik ayahnya dia belajar banyak hal teknis tentang budidaya udang. Itu berselaras dengan pengalaman belajarnya di kampus.

Ada pula Aris Minardi dan Jabaruddin Tito di Solo, Jawa Tengah. Dua sahabat yang dituntun waktu menjadi mitra dalam usaha bersama pascawisuda. Schotek, yang mereka dirikan, merupakan akronim dari scholar teknologi. Isyarat bahwa perusahaan itu memang tumbuh dari kampus.

Dua anak muda ini memasuki pasar bermodalkan pengetahuan dan pengalaman berkarya selama berada dalam kawalan dosen pembimbing di kampus. Bisnis di ranah akustika ruangan itu belum besar, tetapi bertumbuh dengan kekuatan inovasi.

Kampanye memang harus didudukkan sebagai langkah persuasi politik produktif dan berkejujuran. Sudah seharusnya kaya dengan kekuatan visi disertai penanda kekuatan akal budi.

Kisah Sulton, Aris, dan Tito adalah cuplikan romantika milenial yang memilih mandiri dalam optimisme. Berkelindan dengan pengalaman belajar dan impian mereka tentang kesejahteraan. Menarik untuk menyelisiknya lebih dalam. Sebaik apa atmosfer kampus telah membentuk mereka?

Legasi kesejahteraan

Tulisan Chairil Abdini (Kompas, 20/11/2023) menyoal penguasaan ilmu pengetahuan dalam transformasi ekonomi bangsa. Rendahnya pembiayaan riset dinilainya telah berdampak pada berkurangnya minat studi lanjut pada bidang STEM (sciences, technology, engineering and mathematics). Notabene bidang ini bertaut erat dengan pertumbuhan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan.

Pemerintah tentu memahami pertautan itu. Setidaknya terbaca dalam lompatan kebijakan pembiayaan berinovasi. Melalui Kedaireka, contohnya, ilmuwan dan inovator diberi ruang berselaras dengan dunia usaha dan industri.

Aiyen Tjoa dari Universitas Tadulako mengecek spesimen dalam proyek Kolaborasi Riset Jerman-Indonesia CRC990-EFForTS pada 30 Desember 2021  di Universitas Jambi. Riset kolaboratif itu melibatkan IPB University, Universitas Jambi, Universitas Tadulako, dan Universitas Gottingen.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Aiyen Tjoa dari Universitas Tadulako mengecek spesimen dalam proyek Kolaborasi Riset Jerman-Indonesia CRC990-EFForTS pada 30 Desember 2021 di Universitas Jambi. Riset kolaboratif itu melibatkan IPB University, Universitas Jambi, Universitas Tadulako, dan Universitas Gottingen.

Lompatan semacam itu tentu saja sangat baik. Namun, tetap belum cukup. Atmosfer riset kita belum sepenuhnya seindah harapan. Perlu migrasi besar untuk memperkuat jejaring universitas dan industri dalam ekosistem yang dinamis, produktif, dan maju.

Model pertanggungjawaban riset termasuk kemudahan prosedur belanja alat dan bahan sangat perlu untuk disederhanakan. Administrasi riset sepatutnya menjadi penopang yang menggairahkan geliat dan kemudahan berinovasi.

Sayangnya, administrasi justru lebih sering menjadi sumber masalah tambahan yang menguras energi, melampaui yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan riset itu sendiri.

Akan tetapi, bukan itu saja masalahnya. Alih-alih menumbuhkan aliansi seperti Rolls-Royce@NTU Corporate Laboratory, terdapat persoalan laten yang lama terabaikan. Riuh perburuan penanda portofolio inovasi kampus memang meningkatkan angka publikasi. Namun, sitasi kita masih tertinggal di ASEAN.

Administrasi riset sepatutnya menjadi penopang yang menggairahkan geliat dan kemudahan berinovasi.

Dalam aspek pedagogi, tak sedikit mahasiswa yang belajar STEM bermasalah dengan konsep keilmuan. Bias memahami makna tersirat di balik persamaan fisika dan matematika. Pemicunya adalah interaksi di kelas yang miskin inspirasi.

Iklan

Sebagian dosen bagai tersandera oleh target ketercapaian bahan ajar. Argumen ketiadaan waktu untuk menghadirkan contoh aplikasi dari teori yang mereka ajarkan memberangus kesempatan mahasiswa untuk paham lebih dalam.

Ironis sekali karena dosen justru kehilangan kesempatan menginspirasi, berbagi kisah sukses tertelusur untuk memantik minat dan ruang imajinasi tanpa batas mahasiswanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/hEqLdjb5VkMESk7sjB4iTupmavA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F28%2F69b4efc9-c208-4adb-af96-ed7167201295_jpg.jpg

Literasi miskin inspirasi menyebabkan fisika dan matematika yang eksotis itu kehilangan daya pikat. Banyak mahasiswa terjebak menjadi penghafal rumus akibat tidak mendapatkan pencerahan yang semestinya. Saya khawatir bahwa keadaan itu ikut menyumbang rendahnya minat studi lanjut di ranah STEM yang lalu menjadi pangkal ketertinggalan inovasi kita.

Hal itu perlu diwaspadai. Kegagalan pemaknaan dalam proses pedagogi dapat menumpulkan kreativitas dan kekuatan berimajinasi yang merupakan inti kekuatan berinovasi.

Lagi-lagi, argumen administrasi membuat kita melenceng. Abai seolah ketercukupan sajian bahan belajar menjamin ketercapaian darma akademik. Mestinya kelimpahan pengetahuan dan inovasi para profesor dan dosen itu pantas menjadi bernas legasi kesejahteraan.

Tersemai subur dari interaksi inspiratif dalam atmosfer kampus. Untaian proses literasi maju yang kemudian menumbuhkan kekuatan ekonomi berbasis inovasi dan ilmu pengetahuan.

Lantas, langkah apa yang patut disegerakan?

Literasi miskin inspirasi menyebabkan fisika dan matematika yang eksotis itu kehilangan daya pikat. Banyak mahasiswa terjebak menjadi penghafal rumus akibat tidak mendapatkan pencerahan yang semestinya.

Migrasi besar dalam ekosistem riset dan inovasi bangsa layak jadi prioritas. Kita perlu memperkuat universitas riset untuk berfokus pada penciptaan peluang ekonomi baru dan penyedia solusi persoalan industri.

Langkah itu menuntut dukungan negara berupa pembiayaan lebih besar dan peremajaan fasilitas riset maju. Oleh karena itu, sudah saatnya universitas terdepan, semisal yang telah berstatus PTN Badan Hukum, dipacu kencang dalam riset dengan melibatkan sebanyak mungkin mahasiswa pascasarjana.

Laboratorium riset dan pusat-pusat keunggulan dipicu bertransformasi menjadi industrial satellite laboratory. Karena itu, proporsi mahasiswa S-2 dan S-3 semestinya lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa S-1.

https://cdn-assetd.kompas.id/XDacFOnuc18t3w1E3BD_ZXingg4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F06%2F4b91db2f-cf3c-44f8-84ed-481d1d1e568b_jpg.jpg

Visi politisi

Visi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan wawasan inovasi para politisi adalah hal kedua. Inilah saat yang tepat untuk mengujinya. Para politisi yang sedang berjuang untuk kursi parlemen elok memahami posisi strategis mereka berkait ekosistem inovasi bangsa.

Para politisi dan calon pemimpin pemerintahan memiliki keistimewaan hak dan otoritas menghadirkan peraturan perundangan yang menggairahkan riset, termasuk insentif pajak inovasi industri. Sanggupkah mereka memberi dukungan yang dinantikan para peneliti dan kalangan industri?

Baca juga : Tantangan untuk Membumikan Penelitian Perguruan Tinggi

Dunia berubah dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Kita harus berbenah agar dapat sejajar dengan bangsa maju. Tengoklah bagaimana Harvard dan MIT bersatu melahirkan Broad Institute demi memenangi pertarungan impak yang menyejahterakan, melawan dominasi Tsinghua dan Shanghai Jiao Tong.

Karena alasan serupa, kita memerlukan literasi dan ekosistem lebih hebat. Tentu saja berkah dari keberlimpahan berpengetahuan para profesor serta keistimewaan hak anggota parlemen mutlak dibutuhkan.

Tautan keduanya patut menuntun Indonesia pada pengantaran legasi kesejahteraan yang merata dan menguatkan. Wallahualam.

*Iwan Yahya,Dosen dan Peneliti iARG, Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan IPA Universitas Sebelas Maret Surakarta

Editor:
NUR HIDAYATI
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000