Konferensi COP28 menghasilkan komitmen Rp 85 miliar dollar AS. Namun, potensi ”fraud” dana perubahan iklim ini kompleks.
Oleh
MUHAMMAD RAFI BAKRI
·4 menit baca
Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 yang berakhir pada 12 Desember 2023 menghasilkan komitmen sebesar 85 miliar dollar AS dari setiap negara yang terlibat untuk mendukung berbagai inisiatif. Pendanaan ini antara lain dialokasikan untuk penerapan sumber energi terbarukan, memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara kurang berkembang, mendukung negara-negara yang terkena dampak kerugian dan kerusakan.
Hasil konferensi ini akan memberikan dampak revitalisasi terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Indonesia akan mendapatkan bantuan keuangan untuk menerapkan langkah-langkah yang menghasilkan nol emisi karbon (net zero emission) pada 2060. Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan bantuan keuangan ini untuk mendorong tindakan dan strategi penting lainnya, seperti penerapan Rencana Operasional Net Sink Forest and Other Land Uses (FOLU) tahun 2030 yang dirumuskan pada COP26 di Glasgow dua tahun lalu.
Namun, sejumlah besar dana yang dialokasikan kepada masyarakat untuk pendanaan iklim menghadapi banyak risiko. Menurut Laporan OECD (2019), negara-negara dengan pendanaan iklim terbanyak memiliki Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) yang tinggi, antara lain India, Bangladesh, Indonesia, dan China.
Selain itu, Nature Finance (2022) berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara kriminalitas lingkungan dan kerapuhan sistem keuangan suatu negara. Tingkat korupsi yang tinggi dan defisiensi sistem keuangan merupakan kondisi mematikan yang dihadapi negara-negara berkembang, dan hal-hal tersebut tentunya akan menghambat pencapaian tujuan COP28.
Misalnya saja, Pemerintah Bangladesh berupaya membangun tempat perlindungan terhadap badai topan untuk melindungi masyarakat dari naiknya permukaan air laut. Namun, proyek tersebut tidak efektif karena praktik korupsi dan gagal menyelamatkan 1,3 juta rumah yang tenggelam pada 2020.
Di Indonesia, tiga program REDD+ yang bertujuan untuk melestarikan hutan dipakai oleh penebangan liar, penambangan skala kecil, dan penanaman liar kelapa sawit, yang berujung pada korupsi. Penduduk setempat juga ikut disuap oleh fraudster agar tidak melaporkan kejahatan lingkungan yang mereka lakukan.
Banyak tantangan
Mengidentifikasi korupsi dalam pendanaan perubahan iklim sering kali menghadapi banyak tantangan. Hal ini disebabkan oleh sifat korupsi pada sektor ini bersifat terselubung dan dampak yang terjadi sukar dipantau oleh publik.
Kasus korupsi pada sektor iklim memerlukan waktu beberapa tahun dan bahkan bencana alam untuk memahami sepenuhnya besarnya fraud yang terjadi. Masyarakat kesulitan mengenali apakah proyek perubahan iklim berhasil atau ada unsur fraud karena proyek ini sangat teknis dan rumit.
Fraudster juga mengeksploitasi kurangnya pemahaman masyarakat mengenai dana perubahan iklim untuk melakukan kejahatan pencucian uang. Teknik ini memfasilitasi penyembunyian dana dan kegiatan kriminal dari mana dana tersebut berasal sehingga memungkinkan fraudster untuk memanfaatkan atau memasukkan aset tersebut ke dalam sistem keuangan yang sah. Aktivitas pencucian uang kini dapat melampaui batas negara karena digitalisasi sehingga semakin mempersulit upaya pencegahannya.
Mengidentifikasi kejahatan pencucian uang menjadi semakin sulit karena mereka tidak menggunakan metode konvensional lagi. Keberadaan pelaku professional money launderers (PML) memberikan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri aset yang disembunyikan. Proyek lingkungan hidup telah menjadi wadah kegiatan kriminal yang berdampak besar, diatur dan dibiayai oleh sindikat kerah putih yang menyembunyikan diri di balik individu yang bekerja di lapangan.
Dengan demikian, akan lebih banyak lagi potensi kasus fraud dari proyek COP28 ini, salah satunya terkait dengan kegiatan manipulasi atau penipuan perpajakan ( tax fraud).
Sindikat ini beroperasi di banyak negara, berkolaborasi dalam tugas, dan menggunakan metode canggih untuk menjalankan operasi mereka. Penegakan hukum dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan sering kali menjadi masalah karena ”dukungan yang sangat besar” dari proyek tersebut.
Pemerintah kemungkinan besar akan bekerja sama dengan sektor swasta untuk melaksanakan proyek COP28. Hal ini disebabkan tidak tersedia sumber daya yang cukup untuk melaksanakan proyek lingkungan ini. Dengan demikian, akan lebih banyak lagi potensi kasus fraud dari proyek COP28 ini, salah satunya terkait dengan kegiatan manipulasi atau penipuan perpajakan (tax fraud). Pada 2022, tax fraud menyebabkan kerugian lebih dari 30 miliar dollar AS.
Selain itu, tidak semua kasus penipuan pajak terkait dengan pajak karbon. Pada 2019, otoritas pajak Inggris menangani banyak kasus terkait carousel fraud. Carousel fraud adalah skema penipuan yang memanfaatkan celah peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk yang ditransfer ke semua negara anggota regional.
Sebuah sindikat secara ilegal membawa kredit karbon tanpa menyetorkan PPN dari negara asal, lalu mengirimkannya ke negara dengan tarif sudah termasuk PPN. Kolaborasi ekonomi Indonesia yang luas, baik bilateral maupun multilateral, tentu saja meningkatkan kemungkinan terjadinya carousel fraud dalam proyek-proyek COP28.
Dalam proyek COP28, greenwashing juga sangat mungkin muncul dengan adanya isu perubahan lingkungan sehingga mendorong individu untuk bereaksi dengan waspada dan segera mengadopsi produk-produk yang ”ramah lingkungan”. Namun, produk yang diproduksi bisa jadi hanya berlabel ”ramah lingkungan”, padahal sebaliknya.
Greenwashing dapat muncul ketika pemilik perusahaan berinisiatif untuk peduli akan perubahan lingkungan. Pemilik perusahaan kemudian mencari suntikan dana dari investor. Pada akhirnya, investor dirugikan karena mereka memberikan pendanaan untuk proyek-proyek ”energi bersih” yang kemudian berubah menjadi ”energi kotor”.
Lebih jauh lagi, greenwashing dapat mengarah pada tindakan penipuan lainnya melalui taktik manipulatif dalam mendokumentasikan kegiatan ekonomi ramah lingkungan berdasarkan prinsip environmental, social, and governance (ESG).
Salah satu contohnya adalah inisiatif penggantian kerugian karbon yang menyebarkan pernyataan atau informasi yang tidak akurat mengenai suatu produk atau praktik yang tidak secara efektif mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini dapat mengakibatkan permasalahan alokasi dana yang tidak tepat untuk proyek-proyek bisnis yang terkait dengan ”investasi terintegrasi ESG”, seperti yang dialami Jerman pada 2022.
Agar kemungkinan-kemungkinan fraud di atas tidak terjadi ke depan, diperlukan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menjamin proyek tersebut berjalan dengan benar. BPK selaku supreme audit institution (SAI) di Indonesia tentunya memiliki kewenangan untuk terlibat dalam pelaksanaan, bahkan pertanggungjawaban, dari proyek-proyek COP28 di Indonesia. Pemeriksaan dan rekomendasi dari BPK tentu akan menjaga proyek-proyek tersebut tetap pada jalurnya.
Terakhir, pemeriksa BPK juga harus memiliki pemahaman tentang lingkungan pengendalian untuk urusan lingkungan hidup. Misalnya, bidang yang akan diperiksa dapat mencakup sikap, kesadaran, dan tindakan badan pengelola dan manajemennya menuju pengendalian internal. Jika auditor menganggap terdapat risiko salah saji material dalam laporan keuangan, prosedur khusus perlu dirancang dan dilaksanakan untuk mengatasi risiko ini.
Apa yang akan dihadapi BPK ke depan bukanlah suatu hal yang mudah. Potensi fraud pada sektor lingkungan dan perubahan iklim hasil dari COP28 tentu akan sangat kompleks. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan bagi pemeriksa BPK untuk menyerah. BPK harus siap menjawab tantangan tersebut demi menyelamatkan bumi Indonesia sehingga apa yang dicita-citakan pada COP28 dapat dicapai.
Muhammad Rafi Bakri, Pengelola Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Jambi