logo Kompas.id
OpiniDebat dan Demokrasi
Iklan

Debat dan Demokrasi

Rezim anti-debat yang substansial adalah awal kehancuran bagi demokrasi dan karena itu harus dilawan.

Oleh
OTTO GUSTI MADUNG
· 5 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Media sosial dan media massa kita akhir-akhir ini ramai diwarnai diskursus seputar debat para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tahun 2024. Hal ini menunjukkan tingginya minat publik terhadap substansi gagasan para capres dan cawapres.

Survei harian Kompas membuktikan itu dengan menunjukkan tingginya angka undecided voters pascadebat cawapres. Para pemilih sedang menunggu gagasan revolusioner para calon dalam debat-debat selanjutnya.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Seharusnya perkembangan ini ditanggapi secara kreatif oleh para kandidat untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia dengan terus mempromosikan kontestasi gagasan.

Budaya debat sesungguhnya sudah selalu hidup dalam tradisi kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Memori kolektif bangsa Indonesia mencatat perdebatan antara dua pendiri bangsa Indonesia, yakni Mohammad Hatta dan Soepomo, tentang landasan ideologis bangsa Indonesia.

Budaya debat sesungguhnya sudah selalu hidup dalam tradisi kehidupan bernegara bangsa Indonesia.

Hatta mengusulkan liberalisme sebagai fundamen ideologis bangsa Indonesia dan berhasil memasukkan ide kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat ke dalam konstitusi NKRI. Hatta sadar, tanpa kebebasan berpendapat, sebuah pemerintahan akan menjadi tiran dan otoritarian.

Sebaliknya, Soepomo mengusulkan konsep negara integralistik. Alasannya, konsep ini sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, seperti gotong royong dan kekeluargaan. Konsep kekeluargaan tradisional merupakan cikal bakal lahirnya paham keadilan sosial dan solidaritas dalam masyarakat modern kontemporer.

https://cdn-assetd.kompas.id/tSdKBrlE1Olyy8zAE9ho3V3-2pY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F12%2F2beabd34-cdb7-48f9-9e1f-8891b1a09758_jpg.jpg

Selain itu, sejarah bangsa Indonesia juga mencatat perdebatan antara Soekarno dan Mohammad Natsir guna merumuskan konsep relasi antara agama dan negara. Soekarno merupakan representasi dari kelompok nasionalis sekuler yang memperjuangkan pemisahan tegas antara negara dan agama.

Adapun Mohammad Natsir menyuarakan aspirasi golongan nasionalis islami yang menghendaki pertautan yang erat antara agama dan negara sebab agama tak hanya mengatur relasi antara manusia dan Tuhan, tetapi juga manusia dan manusia dalam sebuah tatanan politik.

Perdebatan politik dan intelektual ini telah melahirkan Pancasila. Dalam sejarah bangsa Indonesia, Pancasila merupakan identitas kolektif yang terbukti mampu menyatukan kebinekaan bangsa Indonesia. Lewat catatan sejarah di atas, para pendiri bangsa Indonesia memberikan pembelajaran kepada rakyat tentang makna demokrasi.

Mereka memahami demokrasi tidak secara prosedural semata, tetapi sebagaimana oleh Jürgen Habermas dinamakan ”der zwangslose Zwang des besseren Argumentes” (kekuatan tanpa paksaan dari argumentasi terbaik).

Para pendiri bangsa Indonesia memberikan pembelajaran kepada rakyat tentang makna demokrasi. Mereka memahami demokrasi tidak secara prosedural semata.

Dalam demokrasi, kekuatan satu-satunya adalah ”senjata” bahasa persuasif dan bukan bahasa senjata.

Dalam sebuah tatanan demokratis, para kontestan diwajibkan untuk menyampaikan gagasan politiknya kepada publik, melakukan persuasi, dan menunjukkan kelemahan argumentasi atau gagasan lawan politik. Lewat mekanisme diskursif dan demokratis seperti ini, para pemilih tidak dipaksa untuk memilih kucing dalam karung.

https://cdn-assetd.kompas.id/c5gY5CDZXJOrIv33vES_Nb_x78U=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F03%2Ff14e87b1-f508-4761-8375-e42b0cac294e_jpg.jpg

Anti-intelektualisme

Iklan

Kemunduran demokrasi yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam beberapa waktu terakhir sesungguhnya sejalan dengan suasana anti-intelektualisme yang berkembang dalam politik Indonesia di bawah rezim pemerintahan Joko Widodo. Hal ini dapat ditunjukkan lewat dua fenomena berikut.

Pertama, fenomena menguatnya model netralitas negara seperti diajarkan filsuf politik modern, Thomas Hobbes. Esensi politik bagi Hobbes ialah akumulasi dan konsentrasi kekuasaan pada seorang pemimpin yang berdaulat. Tujuannya, untuk menciptakan keamanan, misalnya demi kepentingan investasi.

Model netralitas ini tampak dalam watak antisains yang dipertontonkan rezim pada masa pandemi Covid-19 dan kembali ditunjukkan lewat fenomena menghindari debat publik dalam kontestasi politik. Gerakan ini tentu merupakan ancaman serius bagi demokrasi.

Menjadi bahaya karena rezim akan alergi terhadap kritik dan kontrol publik atas kekuasaan. Dalam kondisi ini, kritik berbasis data ilmiah tidak ditanggapi dengan argumentasi akademik, tetapi dengan arogansi kekuasaan.

Dalam rezim antisains, peran akademisi tidak lebih dari aksesori pemberi legitimasi bagi praktik kekuasaan yang sewenang-wenang.

Kecenderungan pemerintahan Joko Widodo untuk menghindari ’kegaduhan’ demi iklim investasi yang kondusif sesungguhnya merupakan ekspresi dominasi pasar neoliberal dan netralisasi negara serta tindakan politik.

Fenomena kedua adalah gejala menguatnya anggapan kaum neoliberal bahwa debat politik hanya menciptakan kegaduhan. Oleh karena itu, harus ditransformasikan dan dikendalikan oleh rasionalitas ekonomi. Paradigma libertarian menggantikan politik dengan pasar (Julian Nida-Rȕmelin, Demokratie und Wahrheit, hlm. 20).

Lewat produk hukum, negara harus menjamin agar pasar berfungsi dengan baik. Pada prinsipnya, negara tak boleh mengintervensi kerja pasar. Di sini terjadi proses netralisasi atau penjinakan negara dan tindakan politik oleh pasar.

Kecenderungan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk menghindari ”kegaduhan” demi iklim investasi yang kondusif sesungguhnya merupakan ekspresi dominasi pasar neoliberal dan netralisasi negara serta tindakan politik.

Kedua patologi demokrasi tersebut harus diatasi dengan menghidupkan kembali demokrasi sebagai proses adu gagasan. Debat mendorong proses penguatan argumentasi di ruang publik.

Baca juga: Bersiap Menyimak Debat

https://cdn-assetd.kompas.id/rTcwLk98yGczNrNX_TlUSzfiIys=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F29%2F0a941738-965b-43f3-aeea-db276f9f482e_jpg.jpg

Argumentasi adalah substansi dari demokrasi. Tanpa argumentasi, tak ada demokrasi. Yang ada hanyalah pertarungan kepentingan-kepentingan.

Debat politik adalah pertukaran argumentasi untuk mendukung keyakinan politik. Dengan demikian keyakinan politik tidak saja sekadar preferensi subyektif, tetapi berpijak pada fakta politis yang obyektif, baik secara empiris maupun normatif.

Oleh karena itu, perbedaan keyakinan politik akan melahirkan perdebatan politik di ruang publik, di parlemen dan komisi-komisi, pada level partai politik dan masyarakat sipil, di media massa dan ruang privat.

Dalam demokrasi, perbedaan-perbedaan tersebut biasa dan tidak bereskalasi menjadi tindakan kekerasan dan perang.

Di dalam demokrasi, perbedaan-perbedaan tersebut biasa dan tidak bereskalasi menjadi tindakan kekerasan dan perang. Sebab, demokrasi berpijak pada prinsip kooperasi dan penentuan diri kolektif setiap individu yang bebas dan setara.

Alergi terhadap debat dalam politik adalah benih-benih awal munculnya rezim otoritarian. Untuk mengatasi bahaya tirani ini, kebenaran harus menjadi titik pijak politik. Bukan kebenaran dogmatis, melainkan kebenaran yang ditemukan lewat jalan diskursif.

Urgensi kebenaran dalam politik sudah jauh hari diingatkan oleh filsuf Plato.

Dalam karyanya, Politeia (Republik), Plato menulis: ”Jika para filsuf tidak menjadi raja di negara-negara atau para raja dan pemangku kekuasaan politik tidak mempelajari filsafat secara serius dan mendasar (grȕndlich) dan keduanya, yakni filsafat dan kekuasaan negara, tak berkelindan satu sama lain, maka bencana tanpa akhir akan menimpa negara-negara dan juga seluruh umat manusia” (Platon, Der Staat, 1989, 473c-d).

Rezim anti-debat yang substansial adalah awal kehancuran bagi demokrasi dan karena itu harus dilawan.

*Otto Gusti Madung Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores

Editor:
NUR HIDAYATI
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000