Pembungkaman ”suara Palestina” dalam Minor Detail meniscayakan dampak perang terhadap atmosfer sastra.
Oleh
DAMHURI MUHAMMAD
·5 menit baca
Publik sastra dunia kecewa setelah kepanitiaan Frankfurt Book Fair (FBF) 2023 memaklumatkan penundaan acara penganugerahan hadiah bagi Adania Shibli, novelis Palestina, pemenang LiBeraturpreis Jerman 2023 untuk bukunya Minor Detail (edisi Inggris 2020, edisi Jerman 2022). Semula, acara itu terjadwal pada 20 Oktober 2023 sebagai bagian dari rangkaian acara FBF. Bukan saja penundaan—sejumlah pihak meniscayakannya sebagai pembatalan—acara penganugerahan, diskusi publik dengan Adania Shibli dan penerjemah Jermannya, Günther Orth, di event yang sama juga dibatalkan. LiBeraturpreis adalah penghargaan sastra untuk penulis wanita dari Afrika, Asia, Amerika Latin, dan dunia Arab, atas sokongan pendanaan dari pemerintah Jerman.
Sebagaimana dilansir The New York Times (14/10/2023), pembatalan itu telah disetujui oleh Adania Shibli, tapi kemudian dibantah oleh Shibli sendiri. Ia menegaskan, jika acara tersebut tetap digelar, penyelenggara khawatir, dirinya akan menggunakan forum itu untuk merefleksikan peran sastra tatkala Israel merancang sebuah genosida berkedok operasi penumpasan terorisme di Gaza. Minor Detail adalah kisah berlatar Perang Arab-Israel (1948) yang tersusun dalam dua kepingan penting. Pertama, tentang gadis Palestina korban pemerkosaan, dan akhirnya dibunuh di gurun Negev. Pelakunya adalah sekelompok tentara Israel, yang setelah menghabisi warga dari suku nomaden, menyisakan si gadis malang itu demi kenikmatan badani. Kedua, investigasi yang dilakukan oleh seorang jurnalis dari Ramallah guna menyingkap fakta-fakta tentang kejahatan keji itu.
Pembungkaman ”suara Palestina” dalam Minor Detail meniscayakan dampak perang terhadap atmosfer sastra. Sebelumnya, publik sastra dunia juga mengecam kebijakan Direktur Institut Perbukuan Ukraina, Oleksandra Koval, yang menegaskan akan menurunkan lebih dari 100 juta buku yang berasal dari Rusia di rak-rak perpustakaan umum, termasuk karya-karya sastrawan besar Rusia; Dostoyevsky dan Pushkin. Seperti dilaporkan www.mronline.org (9/6/22), buku-buku itu akan dikirim ke pusat daur ulang kertas.
Koval menjelaskan, rencana pemusnahan buku itu adalah upaya Pemerintah Ukraina menghancurkan “literatur berbahaya” karena buku-buku yang berakar dari sastra Rusia adalah konten anti-Ukraina. ”Nama musuhnya Putin, bukan Pushkin, Tolstoy atau Akhamatova,” kata Deniz Yucel, presiden PEN Jerman waktu itu.
Apabila Adania Shibli hanya dihambat peluangnya untuk bersuara, penyair terkemuka Palestina, Refaat Alareer, direnggut nyawanya, setelah wilayah permukimannya digempur serangan udara (7/12/23). Dua saudaranya dan 4 anaknya juga meninggal bersama profesor sastra Universitas Islam Gaza itu.
Puisi bertajuk If I Must Die yang ia sematkan di profil akun X sebelum meninggal dikutip dan tersebar sangat massif. Dicetak sebagai plakat, bendera, dan layang-layang raksasa. Aktor Skotlandia, Brian Cox, sampai membacakannya untuk publik dunia. Jika aku harus mati/ kau harus hidup/ untuk menceritakan kisahku/ Jika aku harus mati/ biarkan itu membawa harapan/ biarlah itu menjadi sebuah dongeng/, demikian terjemahan dari beberapa kutipannya. Pembungkaman atas Adania dan terbukanya mata dunia atas derita warga Gaza karena suara penyair martir Refaat patut dicatat sebagai salah satu peristiwa penting pada tahun 2023.
Meski di kancah global, ”Suara Sastra” terdistorsi oleh desing peluru, dalam keriuhan menjelang Pilpres 2024 di Indonesia, tepatnya saat warganet bagai dikepung oleh percakapan tentang Politik Dinasti, kiai yang budayawan, penyair yang prosais, Mustofa Bisri justru tampil menyuarakan sebuah ”puisi balsem” bertajuk Zaman Kemajuan. ”Dulu, pada zaman Orde Baru, saya membaca puisi, berakibat ketua panitianya diamankan oleh yang berwenang. Padahal saya baca puisi cuma begini; Zaman Kemajuan. Inilah zaman kemajuan/Ada sirup rasa jeruk dan durian/ Ada keripik rasa keju dan ikan/ Ada republik rasa kerajaan/. Malam ini saya ndak akan baca yang gitu-gitu lagi,” begitu deklamasi singkat Gus Mus di Taman Budaya Surakarta (31/10/2023).
Di arena perdebatan antarpendukung capres-cawapres, cuplikan video deklamasi itu menjadi amunisi untuk menyerang lawan politik. Diunggah ratusan ribu kali, dan berhamburan sebagai reel, instastory, meme dan semacamnya. Suara yang mendengung dari lorong kesusastraan Indonesia itu mungkin tak dapat menggugurkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi sebagaimana ”balsem” yang tak sengaja teroleskan di organ yang tak diinginkan, hawa panasnya tak mudah dilenyapkan.
Viralitas sajak Zaman Kemajuan kemudian disusul oleh keramaian perbincangan tentang serial Gadis Kretek yang mengudara di aplikasi Netflix sejak 2 November 2023. Film berlatar belakang sejarah industri kretek Indonesia dan konstelasi politik 1960-an itu diadaptasi dari novel berjudul sama, karya Ratih Kumala, dibintangi oleh artis kawakan, Dian Sastrowardoyo. Dalam rentang waktu 6-11 November 2023 saja, Gadis Kretek berhasil meraup 1,6 juta penayangan, dan menempati posisi ke-10 dalam daftar serial non-bahasa Inggris terpopular skala global.
Film yang tercatat sebagai serial berbahasa Indonesia pertama di aplikasi video on demand berlangganan milik perusahaan AS itu, juga masuk dalam Top 10 Netflix Series di 6 negara, dan bertahan selama dua minggu berturut-turut di Indonesia untuk posisi pertama. Romansa kasih tak sampai akibat stigma komunis yang terkandung dalam film itu telah menyita perhatian, sebagaimana tampak pada berhamburannya meme dari potongan-potongan adegannya di linimasa media sosial.
Keriuhan publik sastra di belahan dunia Barat akibat kontroversi novel Minor Detail, duka mendalam selepas kematian Refaat Alareer, viralitas sajak Zaman Kemajuan, dan kelegaan warganet selepas menikmati kompetensi seni peran Dian Sastro yang masih mengagumkan di serial Gadis Kretek tentu tak bakal terlewatkan dalam obrolan para sastrawan yang hadir di festival-festival sastra di berbagai penjuru Indonesia sepanjang 2023. Festival-festival itu Mulai dari Payakumbuh Poetry Festival, Festival Kata (harian Kompas), Balige Writers Festival, Batanghari Literary and Cultural Festival, Singaraja Fest, Festival Bahasa dan Sastra (harian Media Indonesia), Ubud Writers and Readers Festival, hingga Borobudur Writers and Cultural Festival.
Iklim kekaryaan, rupa-rupa selebrasi pembacaan, dan macam-macam festival yang digelar adalah corong bagi ”Suara Sastra” yang betapapun bisingnya suara gempuran rudal dalam kecamuk perang di Gaza, betapapun nyinyirnya narasi politik di musim kampanye Pilpres 2024 di Indonesia, tetap tak mudah diredam, apalagi dilenyapkan....