Promosi produk pengganti air susu ibu gencar dilakukan, merambah fasilitas kesehatan dan dilakukan melalui media sosial.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pelanggaran kode etik internasional pemasaran produk-produk pengganti air susu ibu masih terjadi di Indonesia. Promosi sejumlah produk itu merambah fasilitas kesehatan hingga melalui pesan singkat di gawai. Industri makanan bayi dan anak diharapkan mematuhi aturan demi melindungi kesehatan anak.
Kode etik internasional pemasaran produk pengganti air susu ibu atau ASI dikeluarkan World Health Assembly pada tahun 1981. Di Indonesia, kode etik ini diadopsi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lain serta Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 20 ketentuan ini mengatur, susu formula hanya boleh diiklankan pada media cetak khusus kesehatan. Materi promosinya wajib memuat keterangan susu formula bayi hanya bisa diberikan atas kondisi tertentu dan mendapat izin Menteri Kesehatan. Sementara promosi di internet belum diatur.
Namun, data organisasi Pelanggarankode.org mencatat, ada 1.230 pelanggaran kode etik internasional pemasaran produk pengganti ASI yang dilaporkan warga. Laporan terbanyak berasal dari DKI Jakarta (55 laporan), Jawa Timur (46 laporan), Jawa Barat (43 laporan), dan Banten (34 laporan).
Sasaran pemasaran meliputi para ibu, manajemen fasilitas kesehatan, dokter, dan tenaga kesehatan. Selain melalui iklan di media massa, ruang bermain anak, klinik, dan rumah sakit, kini promosi juga menyasar konsumen lewat iklan di media sosial hingga pesan singkat dan telepon (Kompas, 22 Desember 2023).
Pemberian ASI eksklusif
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dan pegiat kesehatan ibu dan anak Helen Clark, dalam keterangan tertulis di laman WHO menyatakan, taktik pemasaran susu formula mendorong konsumsi berlebihan dan menghambat pemberian ASI.
Meski pemberian ASI eksklusif bagi bayi berusia enam bulan ke bawah secara global naik sedikit dua dekade terakhir, penjualan susu formula meningkat hampir dua kali lipat. Survei Status Gizi Indonesia 2022 menunjukkan, tak sampai seperempat anak balita di Indonesia mendapat ASI eksklusif atau hanya 16,7 persen.
Taktik pemasaran susu formula mendorong konsumsi berlebihan dan menghambat pemberian ASI.
Padahal, peningkatan pemberian ASI mencegah sekitar 800.000 kematian anak berusia di bawah lima tahun dan 20.000 kematian akibat kanker payudara di kalangan ibu setiap tahun.
Pemasaran susu formula merupakan risiko yang diabaikan terhadap kesehatan bayi dan anak-anak. Dalam studi multinegara ditemukan lebih dari separuh perempuan yang disurvei pernah terpapar pemasaran susu formula, dan di beberapa negara angkanya mencapai 97 persen.
Tentu susu formula bermanfaat bagi ibu yang tidak dapat menyusui karena berbagai alasan, termasuk kurangnya dukungan dari sistem sosial dan kesehatan. Pemasaran susu formulalah yang mengganggu pengambilan keputusan, selanjutnya pemberian ASI dan kesehatan anak.
Sejauh ini WHO telah menyerukan agar pemerintah menegakkan regulasi yang selaras dengan kode etik internasional pemasaran produk pengganti ASI dan profesional kesehatan agar menjaga integritas demi kepentingan publik. Industri makanan bayi dan anak pun mesti menerapkan praktik bisnis yang etis.
Jika promosi produk pengganti ASI banyak melanggar kode etik, hal itu berarti kita sebagai masyarakat gagal melindungi anak-anak dari pemasaran produk yang mengganggu kesehatan dan perkembangan mereka. Karena itu, saatnya menghentikan pemasaran susu formula yang tak etis.