Manchester City mengokohkan supremasi Eropa di sepak bola dunia dengan menjuarai Piala Dunia Klub 2023. Amerika Selatan meredup, lalu bagaimana Asia?
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Kemenangan klub Inggris, Manchester City, dengan skor telak, 4-0, atas Fluminense (Brasil) menjadi pembuktian dominasi Eropa di sepak bola dunia. Dua gol Julian Alvarez, ditambah gol Phil Foden dan gol bunuh diri Nuno, membuat Fluminense menjadi sungguh tak berdaya.
Tak ayal, final Piala Dunia Klub 2023 di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Arab Saudi, Minggu (24/12/2023) dini hari WIB, menjadi bukan laga puncak ideal. Dalam data statistik laga, City mencatat 15 kali upaya serangan, berbanding Fluminense hanya lima. Dari 15 upaya itu, enam di antaranya di dalam kotak penalti lawan. Sebaliknya, hanya satu serangan Fluminense di area penalti City.
Dengan lebih banyak upaya serangan dan lebih sering menggedor lawan hingga kotak penalti, wajar jika tim ”Biru Langit” Manchester City menang telak. Kemenangan empat gol tanpa balas ini bahkan menjadi skor paling telak selama perhelatan Piala Dunia Klub 2023.
Hasil ini juga menggerus posisi Amerika Selatan yang selama ini dikenal sebagai rival abadi Eropa sebagai kiblat sepak bola dunia. Betapa tidak? Sejak 2013, atau dalam 11 perhelatan terakhir, klub Eropa selalu tampil sebagai juara.
Terakhir kali klub Amerika Selatan menjadi kampiun adalah pada 2012, saat Piala Dunia Klub digelar di Jepang. Kala itu, klub Brasil, Corinthians, menundukkan wakil Eropa, Chelsea (Inggris), dengan skor 1-0.
Eropa jelas unggul segala-galanya. Talenta-talenta hebat dari sejumlah negara di Eropa terbina oleh kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan. Kemajuan ilmu pengetahuan keolahragaan (sport science) juga memungkinkan para atlet mereka dimatangkan dengan sentuhan teknologi.
Gelandang serang Manchester, City Phil Foden (kanan), dan gelandang Fluminense, Ganso, berebut bola dalam final Piala Dunia Klub di Jeddah, Arab Saudi, Sabtu (23/12/2023) dini hari WIB. City menang telak, 4-0.
Amerika Selatan, sebagai rival terdekat Eropa, dipenuhi pemain-pemain berbakat, sebut saja dari Brasil, Argentina, dan Uruguay, untuk menyebut tiga negara yang pernah juara dunia antarnegara. Tak mengherankan, sangat banyak pemain Amerika Latin yang bermain di liga-liga profesional Eropa.
Sayangnya, mutu kompetisi di negara-negara Amerika Selatan stagnan. Talenta-talenta kelas dunia yang bermain di liga setempat jadi percuma karena tak tertempa. Akibatnya, klub-klub juara Libertadores gagal menyaingi klub Eropa.
Setidaknya itu tergambar dari Fluminense yang berpredikat juara Piala Libertadores, lambang supremasi klub Amerika Latin. Klub asuhan Fernando Diniz yang masih diperkuat Marcelo yang berusia 35 tahun, dan Felipe Melo, 40 tahun.
Dengan kedua pemain yang melewati usia emas, masih menjadi pemain mula dan bisa mengantar Fluminense juara Libertadores, terbayang mereka bukan lawan imbang bagi City. Asumsi itu nyata dengan hasil final Piala Dunia Klub.
Asia, benua dengan perputaran uang yang besar, seharusnya lebih menginvestasikan dananya demi kemajuan sepak bola. Ambisi Arab Saudi mendongkrak kualitas liganya dengan merekrut pemain-pemain top dunia selayaknya diiringi geliat Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) untuk mengakselerasi perkembangan di negara-negara lain di Asia.
Senyampang ada momentum, dengan Qatar tahun lalu menjadi tuan rumah piala dunia, Arab Saudi sedang antusias, serta sekian lama kota-kota Asia jadi tuan rumah Piala Dunia Klub, saatnya klub dan tim negara Asia makin mendunia.