Pendidikan Multikultural di Perguruan Tinggi
Rentetan kasus penolakan pendirian rumah ibadah menunjukkan bahwa kemajemukan baru sebatas fakta, belum menjadi norma.
Barangkali sudah menjadi klise yang diulang-ulang ribuan kali bahwa kita adalah masyarakat yang majemuk, baik secara suku, bahasa, maupun agama atau keyakinan. Oleh karena itu, untuk merekatkan kemajemukan itu, kita membangun bangsa ini dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, sayangnya, Bhinneka Tunggal Ika sering kali hanya menjadi slogan kosong belaka. Hingga kini kita masih sering menemukan kasus diskriminasi, terutama yang berbasis agama atau keyakinan.
Data Setara Institute, misalnya, menunjukkan pada 2021 masih ada 489 kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Sebanyak 20 kasus dari 489 pelanggaran itu adalah penolakan pendirian tempat ibadah. Kasus yang sama masih terus terulang pada 2022 dan 2023. Sedikitnya 50 rumah ibadah diganggu sepanjang 2022, menurut data Setara Institute.
Yang terbaru, September lalu, pembangunan gereja di Tangerang ditolak warga. Sebulan sebelumnya, gereja di Batam dirusak sekelompok orang.
Rentetan kasus penolakan pendirian rumah ibadah itu menunjukkan bahwa kemajemukan di Indonesia baru sebatas fakta, belum menjadi norma.
Problem regulasi
Rentetan kasus penolakan pendirian rumah ibadah itu menunjukkan bahwa kemajemukan di Indonesia baru sebatas fakta, belum menjadi norma.
Artinya, secara sosiologis, masyarakat Indonesia memang beragam. Akan tetapi, keberagaman itu belum sepenuhnya bisa diterima. Kelompok masyarakat yang dominan enggan ada kelompok kecil yang berbeda dari mayoritas, ada di lingkungan sekitarnya.
Implikasinya adalah kemajemukan itu terfragmentasi dan terlokalisasi di daerah-daerah yang terpisah satu sama lain. Misalnya, daerah A adalah tempat agama X, daerah B tempat agama Y, dan daerah C tempat agama Z. Kalau, misalnya, penganut agama Y mau tinggal dan membangun rumah ibadah di daerah A, penduduk A yang mayoritas beragama X itu akan ramai-ramai menolak.
Dengan demikian, sebenarnya tidak pernah ada heterogenitas dalam masyarakat Indonesia; yang ada hanyalah kemajemukan yang terfragmentasi dan terlokalisasi. Jika pun kemajemukan itu mau disebut sebagai heterogenitas, maka ia adalah heterogenitas semu, sebab tidak pernah benar-benar mempertemukan keberagaman itu dalam langgam sosial yang terintegrasi dan kohesif.
Sialnya, keengganan untuk menerima kemajemukan itu justru difasilitasi oleh undang-undang.
Mural tentang penghormatan akan perbedaan di sebuah tembok di Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (6/3/2020).
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah, selain harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis (Pasal 14 Ayat 1), juga harus memenuhi sejumlah persyaratan khusus (Pasal 14 Ayat 2).
Ada dua syarat khusus yang sangat problematik, yaitu rumah ibadah yang akan dibangun itu harus (1) memiliki jumlah pengguna minimal 90 orang dan (2) didukung oleh paling sedikit 60 orang dari masyarakat setempat.
Artinya, jika memiliki jemaah kurang dari 90 orang, rumah ibadah itu tak bisa dibangun. Kalaupun sudah memiliki jemaah lebih dari 90 orang, tetapi masyarakat setempat tak mendukung pendirian rumah ibadah tersebut atau yang mendukung kurang dari 60 orang, rumah ibadah itu juga tetap tidak bisa didirikan.
Jika tetap didirikan, rumah ibadah itu akan dicap ”ilegal” dan dapat memantik warga sekitar yang menolaknya untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan, seperti perusakan dan pembakaran bangunan rumah ibadah itu.
Dengan demikian, penolakan dan bahkan perusakan rumah ibadah dalam kasus tertentu tampak sesuai dengan hukum.
Dengan demikian, penolakan dan bahkan perusakan rumah ibadah dalam kasus tertentu tampak sesuai dengan hukum. Sebab, hukum yang berlaku dan spesifik mengatur pendirian rumah ibadah memang menetapkan syarat pendirian rumah ibadah yang sangat tidak ramah pada kelompok minoritas.
Bagi kelompok minoritas, bukan hal mudah untuk mengumpulkan jemaah 90 orang dan juga dukungan dari 60 orang sekitar. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 tegas menyatakan jaminan bagi kebebasan beragama dan beribadah.
Jaminan ini seharusnya bersifat mutlak. Namun, peraturan tahun 2006 itu malah membuat jaminan itu bergantung pada kehendak massa. Dengan demikian, kebebasan beragama di Indonesia terkerangkeng dalam tirani mayoritarianisme.
Melampaui mayoritarianisme
Untuk membongkar tirani mayoritarianisme terkait kebebasan beragama di Indonesia, pemerintah perlu segera merevisi peraturan terkait pendirian rumah ibadah tersebut.
Peraturan itu harus dibuat lebih inklusif dan ramah terhadap kelompok minoritas. Akan tetapi, selain revisi peraturan, masyarakat sipil bisa memulai dengan langkah-langkah strategis untuk menjamin kebebasan beragama dan inklusivitas dalam masyarakat.
Salah satunya bisa dilakukan dengan pendidikan multikultural di perguruan tinggi. Namun, pendidikan multikultural di perguruan tinggi itu idealnya bukan hanya di level normatif, melainkan juga praksis. Untuk itu, perlu ada sokongan infrastruktur yang memadai.
Selama ini kampus-kampus negeri di Indonesia selalu hanya memiliki satu rumah ibadah yang megah, yaitu masjid.
Rumah ibadah itu tentu hanya menampung kegiatan ibadah penganut agama Islam. Penganut agama selain Islam kesulitan menemukan tempat ibadah yang layak di dalam kampus. Ini bentuk nyata diskriminasi, tetapi karena sudah lama terjadi, kini dianggap wajar.
Karena itu, pendidikan multikultural di perguruan tinggi yang berorientasi pada praksis seharusnya dimulai dengan membangun rumah ibadah semua agama di dalam kampus.
Ini paling tidak akan membuat kampus itu menjadi lebih inklusif dan ramah terhadap semua penganut agama, termasuk penganut agama minoritas.
Universitas Gadjah Mada, misalnya, sudah melakukan hal ini. Kompleks Rumah Ibadah 5 Agama yang dibangun di satu kawasan seluas 4.789 meter persegi di kampus ini diresmikan bulan Desember.
Karena itu, pendidikan multikultural di perguruan tinggi yang berorientasi pada praksis seharusnya dimulai dengan membangun rumah ibadah semua agama di dalam kampus.
Penulis memiliki dua catatan bagi kampus tempat penulis bekerja dan juga kampus-kampus lain yang berencana mengikuti langkah strategisnya.
Pertama, pembangunan rumah ibadah semua agama hanyalah langkah awal dan pendukung menuju multikulturalisme yang lebih substantif.
Oleh karena itu, rumah ibadah semua agama itu tak cukup hanya sebagai ornamen multikultural. Ia harus dijadikan sebagai ruang dialog antaragama untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif sekaligus ramah terhadap keberagaman.
Kedua, kampus semestinya tak melokalisasi masalah multikulturalisme di dalam wilayahnya saja. Sering kali masalah diskriminasi seperti penolakan pendirian rumah ibadah itu tak terjadi di dalam kampus yang memang tempat orang terpelajar, tetapi di luar kampus.
Oleh karena itu, semangat inklusivitas mesti menjadi prinsip dasar sivitas akademika yang terus dibawa, baik ketika berada di dalam maupun di luar kampus. Ini merupakan salah satu tanggung jawab sosial kaum intelektual.
Dengan demikian, kita bisa berharap agar Bhinneka Tunggal Ika tidak sekadar menjadi slogan kosong belaka.
Baca juga: Rancangan Perpres PKUB, Langkah Maju atau Jalan di Tempat?
Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Siti Murtiningsih