Merayakan Kepedulian
Agar damai dan sejahtera dapat dicapai, diperlukan akhlak mulia penyelenggara negara, dunia bisnis, dan warga masyarakat.
Dalam menyambut hari raya Natal 2023, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan Konferensi Waligereja Indonesia menyampaikan Pesan Natal dengan judul ”Kemuliaan bagi Allah dan Damai di Bumi”.
Judul yang dikutip dari pujian bala tentara surga bagi Allah, yang menyertai kelahiran Yesus (Luk 2:14), ini dapat memantik berbagai macam perenungan, misalnya, apa makna kemuliaan bagi Allah dan apa pula hubungannya dengan damai di bumi?
Khalik-makhluk-akhlak mulia
Santo Ireneus (130-202), seorang kudus di Lyon, mengatakan bahwa kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup (Gloria Dei Vivens Homo).
Tentu saja yang dimaksudkan bukanlah manusia yang sekadar hidup, melainkan hidup dengan benar sesuai dengan kodratnya sebagai ciptaan, sebagai makhluk.
Menarik untuk memperhatikan tiga kata dalam bahasa Indonesia yang mempunyai akar kata yang sama: Khalik (Pencipta)-makhluk (ciptaan, antara lain manusia)-akhlak (perilaku mulia).
Rangkaian tiga kata itu tidak hanya mempunyai akar yang sama, tetapi menyiratkan makna yang amat dalam: di hadapan Sang Khalik, manusia yang adalah makhluk, mesti bersembah sujud. Sembah sujud itu dilaksanakan dalam ibadah resmi, doa pribadi, ziarah, dan ungkapan-ungkapan yang lain.
Selanjutnya, sembah sujud itu mesti diwujudkan dalam sembah bakti dengan landasan akhlak yang mulia. Makhluk manusia yang selalu bersujud di hadapan Allah Sang Pencipta dan bersembah bakti dengan akhlak mulia itulah yang merupakan kemuliaan Allah.
Makhluk manusia yang selalu bersujud di hadapan Allah Sang Pencipta dan bersembah bakti dengan akhlak mulia itulah yang merupakan kemuliaan Allah.
Seandainya seluruh umat manusia menyadari dirinya sebagai makhluk yang seharusnya berakhlak mulia, dengan sendirinya damai akan menjadi kenyataan seutuhnya di dunia ini. Seandainya seluruh warga bangsa Indonesia menyadari dirinya sebagai makhluk yang seharusnya bersembah-sujud dan bersembah-bakti dengan akhlak mulia, pastilah damai dan sejahtera akan menjadi kenyataan di negeri tercinta kita ini.
Kesenjangan
Kita boleh bangga pada hari-hari ini berbagai media mengabarkan bahwa, menurut Charities Aid Foundation, pada tahun 2023 Indonesia menempati urutan pertama dalam World Giving Index. Ini adalah keenam kalinya berturut-turut sejak tahun 2018.
Dari lain pihak, Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa rasio gini penduduk Indonesia ada di angka 0,388 pada Maret 2023, meningkat dibandingkan September 2022. Artinya, kesenjangan dalam pendapatan dan kekayaan semakin besar.
Angka lain menunjukkan kesenjangan yang sama. Menurut data survei Status Gizi Nasional, pada tahun 2022 angka prevalensi tengkes (stunting) anak-anak di bawah lima tahun ada pada angka 21,6 persen. Sementara itu, sampah makanan yang dibuang di Indonesia mencapai angka Rp 330 triliun (Kompas.id, 19/5/2022).
Keadaan seperti ini dengan sendirinya berdampak pada pendidikan, kesehatan, dan wilayah kehidupan yang lain. Dalam konteks seperti ini, agar damai dan sejahtera dapat dicapai, diperlukan akhlak mulia dari para penyelenggara negara, dunia bisnis, dan masyarakat warga.
Natal
Kelahiran Yesus di dunia digambarkan dengan berbagai macam cara. Selain dalam bentuk kisah, kelahiran itu diungkapkan dalam bentuk pernyataan: ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).
Kepedulian Allah itu menjadi nyata dalam diri Yesus yang hati-Nya selalu tergerak oleh belas kasihan setiap kali Ia berjumpa dengan orang-orang yang susah, siapa pun mereka tanpa pandang bulu (Luk 17:11-19).
Ketika melihat orang banyak lapar, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan. Ketika murid-murid-Nya mengelak untuk memberi makan, Yesus berkata tegas, ”Kamu harus memberi mereka makan” (Mat 14:13-21). Kepedulian Allah adalah wujud kemuliaan-Nya.
Kepedulian Allah juga sangat nyata dalam memberi tanggung jawab kepada manusia untuk menjaga lingkungan hidup. Ia memercayakan taman Eden yang diciptakan-Nya kepada manusia untuk ”mengusahakan dan memelihara” taman itu (Kej 2:15).
Artinya, taman mesti produktif sekaligus terjaga, terpelihara agar tetap mampu menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Dampak buruk ketidakpedulian dalam merawat alam ciptaan ditegaskan, misalnya, dalam judul berita ini: ”Iklim Ekstrem Bebani Warga Miskin Lima Kali Lipat” (Kompas.id, 29/11/2023).
Baca juga: Natal dan Jembatan Moderasi
Kepedulian umat Kristiani juga dituntut untuk terus bertumbuh dalam semangat cinta Tanah Air.
Kepedulian umat Kristiani juga dituntut untuk terus bertumbuh dalam semangat cinta Tanah Air. Dalam konteks aktual sekarang ini, cinta Tanah Air antara lain berarti terlibat aktif ikut memilih dengan cerdas.
Harapannya, pemilu tahun 2024 melahirkan pemimpin-pemimpin yang berpegang teguh pada cita-cita didirikannya negara kita: memiliki integritas, berpihak kepada saudari-saudara kita yang karena berbagai sebab terpinggirkan, memiliki rekam jejak yang terpuji, serta menjunjung tinggi martabat manusia.
Kepedulian yang sama, dengan menekankan segi yang lain, juga diserukan oleh Forum Peduli Indonesia Damai pada 6 Desember, antara lain dengan ”mendesak terselenggaranya pemilihan umum tepat waktu, aman, damai, jujur, adil, bebas, rahasia, transparan, dan bermartabat”.
Juga mendesak terwujudnya netralitas penyelenggara pemilu, netralitas aparatur negara, netralitas aparatur pemerintah, dan netralitas aparatur desa/kelurahan dalam pelaksanaan pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan anggota legislatif.
Selamat Natal, selamat menyambut Tahun Baru 2024. Semoga kita semua menjadi warga negara yang semakin peduli dan dengan demikian semakin memancarkan kemuliaan Allah.
Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta