Literasi Berbasis Internasionalisme
Kemampuan literasi berbasis internasionalisme dapat meningkatkan wawasan internasional dan menjadi perlengkapan melihat perubahan global.
Akhir-akhir ini percakapan di media sosial diramaikan dengan kedatangan pengungsi Rohingya ke wilayah Indonesia, yaitu Aceh. Pengungsi tersebut datang ke Indonesia dengan menaiki kapal, terombang-ambing di lautan selama berminggu-minggu, untuk menghindari persekusi yang dilakukan kepada mereka di tanah airnya.
Respons dari masyarakat Indonesia bermacam-macam. Ada yang menolak, ada yang menerimanya dengan terbuka. Kendati demikian, hal yang membuat miris adalah penolakan yang disertai narasi-narasi yang membingungkan.
Di antaranya, apakah benar kedatangan Rohingya merupakan ancaman untuk Indonesia? Bahkan, ada juga narasi bahwa Rohingya ingin menjajah, apakah hal tersebut benar? Ada juga narasi yang menyatakan bahwa Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) meminta pulau untuk pengungsi Rohingya, apakah hal tersebut benar adanya?
Atas kebingungan ini, UNHCR telah merilis ”14 Fakta Mengenai Pengungsi Rohingya” yang di dalamnya dengan tegas menolak narasi keliru yang beredar mengenai pengungsi Rohingya, termasuk di dalamnya pernyataan bahwa ”pengungsi Rohingya tidak datang untuk mengeksploitasi Indonesia atau keramahan masyarakatnya” (UNHCR, 2023).
Di sana juga disebutkan bahwa lebih dari 70 persen pengungsi Rohingya yang mendarat di Indonesia selama sebulan terakhir—laporan ini ditulis 5 Desember 2023—adalah perempuan dan anak-anak (UNHCR, 2023).
Kendati demikian, hal yang membuat miris adalah penolakan yang disertai narasi-narasi yang membingungkan.
Fenomena masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia memperlihatkan bahwa kita tidak dapat menutup mata dari apa yang terjadi di luar negara kita. Rentetan perubahan yang terjadi secara global, yang pada awalnya dirasa tidak begitu berpengaruh, ternyata memberikan dampak yang luar biasa terhadap Indonesia.
Serangan Israel atas Gaza sejak awal Oktober tahun ini, misalnya, memicu gerakan boikot di Indonesia atas produk-produk yang ditengarai mendukung Israel. Ini kemudian mulai terasa pengaruhnya terhadap profit perusahaan-perusahaan produsen tersebut.
Ada pula isu mengenai masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia, khususnya dari China, juga telah menjadi bahan perbincangan yang hangat dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini menunjukkan bahwa sadar atau tidak, isu-isu internasional ternyata begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kendati demikian, perlu dikaji kembali kemampuan literasi masyarakat mengenai isu internasional mengingat wawasan internasional merupakan perlengkapan yang sangat penting bagi Indonesia dalam menghadapi perubahan di masa mendatang.
Mengapa melihat ke dalam?
Melihat perlunya literasi atas isu internasional, timbul pertanyaan apakah orang Indonesia tidak memiliki pengalaman sebagai bangsa yang melihat ke luar (outward looking). Bangsa Indonesia tentu saja memiliki pengalaman yang sangat panjang dalam melihat posisi dirinya di dalam dunia.
Naskah Bugis kuno, La Galigo atau Sureq Galigo, yang diperkirakan ditulis pada abad ke-14, menunjukkan bagaimana orang-orang Bugis—yang berasal dari Indonesia—telah memiliki kesadaran untuk menghubungkan dirinya dengan dunia. Naskah ini menceritakan mengenai penciptaan dunia dan asal-usul manusia yang mendiami dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Indonesia, yang diwakili oleh masyarakat Bugis di masa lampau, telah sadar atas posisinya sebagai warga dunia, bukan hanya di tempat tanah kelahiran mereka saja.
Begitu juga dengan tradisi di Sumatera Barat mengenai penciptaan alam Minangkabau juga diwarnai oleh unsur-unsur global. Dalam tradisi tersebut disebutkan, Tuhan menciptakan alam semesta dari nur Muhammad sehingga terdapat tiga dunia, yaitu alam Minangkabau, China, dan ”Ruhum” (Abdullah, 1971).
Hal ini juga menunjukkan bahwa tradisi masyarakat Minangkabau saat itu sudah memiliki pengetahuan mengenai ”yang lain”, setidaknya mengenai China dan Ruhum atau Negeri Rum (wilayah kekuasaan Romawi). Pengetahuan ini memperlihatkan adanya tradisi literasi yang melihat ke luar (outward looking) yang telah lama dimiliki masyarakat Indonesia di masa lalu.
Tradisi literasi yang melihat ke luar ternyata masih kental hingga era awal kemerdekaan. Para tokoh bangsa Indonesia merupakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas mengenai internasionalisme.
Pada awal abad ke-20, Soekarno sudah fasih berbicara mengenai ”nasionalisme, islamisme, dan marxisme” yang isinya merupakan sejarah pemikiran dunia modern. Begitu juga dengan Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, hingga Sutan Sjahrir yang sudah rajin berbagi pengetahuan mengenai kejadian internasional melalui pers-pers Melayu.
Buku kecil yang ditulis oleh Sjahrir berjudul Perdjoeangan Kita merupakan salah satu buku terbaik yang memandu bangsa Indonesia dalam menghadapi era nasionalisme dan internasionalisme di awal kemerdekaan.
Tradisi literasi yang melihat ke luar ternyata masih kental hingga era awal kemerdekaan. Para tokoh bangsa Indonesia merupakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas mengenai internasionalisme.
Namun, mengapa kemudian literasi masyarakat Indonesia saat ini lebih condong melihat ke dalam (inward looking)? Saya kira terdapat banyak faktor. Salah satunya yang perlu diperhatikan adalah trauma mendalam atas peristiwa sepanjang tahun 1960-an. Ketika itu, Indonesia lebih banyak mengutamakan politik ”mercusuar” dan mengabaikan pertumbuhan ekonomi, hingga meletusnya peristiwa 1965 yang menjadikan Indonesia sebagai proksi Perang Dingin.
Atas trauma tersebut, rezim Orde Baru lebih cenderung menyusun kebijakan yang melihat ke dalam, mengutamakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Kekuasaan, dengan cara yang sistematis, kemudian memengaruhi literasi dan cara berpikir masyarakat untuk lebih mementingkan ”kepentingan nasional” dengan melupakan internasionalisme yang melihat ke luar. Hasilnya adalah literasi masyarakat lebih cenderung untuk melihat ke dalam dan menurunnya sensitivitas atas perubahan global.
Apa yang terjadi hari ini merupakan hasil keberlanjutan sejarah literasi Indonesia. Meskipun Orde Baru sudah runtuh, tradisi literasi yang melihat ke dalam masih belum banyak berubah.
Berbasis internasionalisme
Istilah ”internasionalisme” tampaknya tidak begitu familiar di telinga orang Indonesia jika dibandingkan dengan ”nasionalisme”. Namun, internasionalisme juga merupakan cara pandang yang hari ini sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa kini dan mendatang. Literasi seharusnya tidak hanya melihat ke dalam saja, tetapi juga melihat ke luar (outward looking), yang berbasis pada internasionalisme.
Internasionalisme tentu saja merujuk pada sikap masyarakat untuk selalu siap dan sedia melakukan kerja sama dan saling menolong dengan berbagai bangsa di dunia untuk mewujudkan perdamaian.
Kekuasaan, dengan cara yang sistematis, kemudian memengaruhi literasi dan cara berpikir masyarakat untuk lebih mementingkan ’kepentingan nasional’ dengan melupakan internasionalisme yang melihat ke luar.
Dalam artikelnya yang berjudul ”Nasionalisme dan Internasionalisme”, Sutan Sjahrir mengingatkan agar nasionalisme dan internasionalisme tidak perlu dipertentangkan karena keduanya penting bagi Indonesia (Sjahrir, 1988). Internasionalisme merupakan sikap mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia, di samping nasionalisme.
Pembangunan literasi berbasis internasionalisme untuk masyarakat Indonesia harus segera dimulai. Institusi perpustakaan, baik perpustakaan swasta maupun negara, harus mulai menggencarkan literasi berbasis internasionalisme dengan memfasilitasi infrastruktur pengetahuan mengenai wawasan internasional. Penyediaan buku-buku mengenai sejarah, kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi dari bangsa-bangsa di luar Indonesia perlu ditingkatkan.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengadaan buku-buku mengenai kajian wilayah (area studies) atau mengadakan kerja sama pertukaran koleksi antara perpustakaan Indonesia dan perpustakaan-perpustakaan negara asing untuk meningkatkan koleksi-koleksi yang berisi wawasan mengenai negara asing.
Penting sekali bagi perpustakaan di Indonesia menggandeng ASEAN untuk memfasilitasi kerja sama lebih jauh mengenai pengembangan literasi.
Penyediaan buku-buku saja tentu tidak cukup, perlu ada promosi yang masif mengenai wawasan internasionalisme ini kepada masyarakat. Organisasi internasional dan regional dapat menjadi partner dalam mendorong pentingnya literasi berbasis internasionalisme. Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN), misalnya, merupakan organisasi regional yang sangat penting di kawasan Asia Tenggara.
Penting sekali bagi perpustakaan di Indonesia menggandeng ASEAN untuk memfasilitasi kerja sama lebih jauh mengenai pengembangan literasi. Selama ini konferensi pustakawan se-Asia Tenggara sudah dilakukan melalui Congress of Southeast Asian Librarians (Consal).
Promosi literasi berbasis internasionalisme juga dapat dilakukan oleh para pustakawan dan pegiat literasi dengan memopulerkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan oleh universitas dan lembaga riset mengenai isu-isu internasional.
Banyak kampus Indonesia yang membuka program studi kajian wilayah, seperti kajian Timur Tengah, China, Arab, Korea, Jerman, dan Amerika. Riset-riset yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat melalui media yang lebih populer, baik itu media daring (online) maupun sosial, yang banyak digunakan oleh anak-anak muda.
Baca juga: Akses Warga Membaca Buku Masih Terbatas
Kemampuan literasi berbasis internasionalisme bukan hanya bermanfaat untuk meningkatkan wawasan internasional, melainkan juga dapat menjadi perlengkapan bagi masyarakat untuk melihat perubahan global di masa kini dan mendatang.
Di hari ini dan masa mendatang, dunia akan dihadapkan pada isu-isu global yang semakin kompleks, seperti krisis iklim, pengungsi, perdagangan, dan perang. Dengan kemampuan ini, maka masalah-masalah internasional yang dihadapi oleh Indonesia, seperti dalam kasus pengungsi Rohingya, dapat diselesaikan dengan baik.
* Frial Ramadhan Supratman, Pustakawan di Perpustakaan Nasional RI