Sistem merit merupakan cara adil memilih pemimpin andal. Istilah ini menjadi antitesis aristokrasi dan nepotisme.
Oleh
KASIJANTO SASTRODINOMO
·2 menit baca
Via kanal Warta Kota Production (21/11/2023), tokoh senior Siswono Yudo Husodo (80) melontarkan urgensi sistem merit atau meritokrasi dalam kepemimpinan. Kendati bukan hal baru, ujaran Pak Sis—sapaan ramahnya—terasa bertuah di tengah suasana pemilihan pemimpin bangsa saat ini.
Bertahun-tahun sebagai manggala berbagai organisasi/instansi pemerintah dan swasta, Pak Sis membuktikan sistem merit merupakan mekanisme atau cara paling obyektif dan adil untuk memilih pemimpin yang andal.
Arti harfiah merit ialah ’kebaikan’ atau ’jasa’. Kamus Inggris-Indonesia susunan Echols/Shadily (1976) mencontohkan kalimat This is a book of considerable merit, ’Ini buku yang sangat berjasa’.
Dalam psikologi atau manajemen dikenal istilah merit rating atau ’penilaian kebaikan’ yang merujuk pada taksiran mengenai prestasi dan reputasi seseorang dalam suatu penugasan. Boleh dikata, merit itu nomina elok makna bersepadan dengan distinction, excellence, excellency, grace, value, dan virtue dalam senarai tesaurus Inggris.
Kecakapan alamiah
Kamus Merriam-Webster (daring) mencatat merit beredar di Eropa pertama kali sekitar abad ke-13. Bahkan, sejatinya, elemen dasar konsep merit telah digagas Plato pada era Yunani Kuno. Filsuf itu berfatwa, warga polis, apa pun posisinya—penguasa, tentara, pekerja—semestinya berdasarkan ”kecakapan alamiahnya”.
Sekian abad kemudian, Napoleon Bonaparte, semasa eksil di Saint Helena (1821), mendaku bahwa capaiannya sebagai serdadu Perancis lewat la carrière es ouverte aux talents, ’jenjang karier yang terbuka bagi bakat’ (Britannica Online Dictionary, 2023).
Meritokrasi merujuk pada status—sosial, ekonomi, dan politik—yang dicapai seseorang melalui kemampuan dan ikhtiar rasional, ketimbang berdasarkan umur, kelas, jender, atau karakteristik personal lain yang tak relevan.
Ilmuwan politik asal Italia, Gaetano Mosca, membawa kata merit makin jauh ke arena perpolitikan. Dalam studi klasiknya, The Ruling Class (1939), ia memakai merit sebagai appraisal of bureaucratic dan bertalian dengan success in life.
Ia menulis antara lain, ”... [dengan] menempatkan para spesialis pada berbagai fungsi kepemimpinan, dan membuka semua pintu bagi talenta yang ditempa dari kalangan masyarakat ramai, akan membuka ruang bagi merit personal”.
Lebih dari setengah abad setelah Mosca menulis versi asli bukunya itu—Elementi di scienza politica (1896)—sosiolog Michael Young mengenalkan konsep meritokrasi (risalahnya The Rise of the Meritocracy, 1958).
Di sini, meritokrasi merujuk pada status—sosial, ekonomi, dan politik—yang dicapai seseorang melalui kemampuan dan ikhtiar rasional, ketimbang berdasarkan umur, kelas, jender, atau karakteristik personal lain yang tak relevan. Implikasi sistem meritokrasi, seturut Young, mendorong wujud pemerintahan yang diawaki the most able high achievers nan cakap dan berbakat.
Jelas pula, sistem meritokrasi lahir sebagai antitesis terhadap ”gaya” aristokrasi dan nepotisme akut. Namun, tak selalu mudah untuk mewujudkannya karena tarik-menarik soal kriteria ”kemeritan” itu di antara pihak yang bersangkutan. Bagi Pak Sis—saat tampil di kanal berita tersebut—sangat penting menilik rekam jejak sang (calon) ”meritokrat” berdasarkan kompetensi, integritas, moralitas, dan etika.