Menyusui dan Jiwa Ibu Indonesia
Ibu menyusui harus didukung. Status menyusui merupakan ukuran kondisi kesehatan masyarakat dan berdampak pada kesejahteraan negara.
Hari Ibu ditetapkan untuk memperingati gerakan perempuan, dimulai dari Kongres I Perempuan Indonesia, 22 Desember 1928. Semangat pergerakan perempuan tidak terbatas kepada perjuangan bersama kaum laki-laki menuju cita-cita bangsa Indonesia, tetapi juga memperjuangkan persamaan hak.
Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, perempuan sebagai ibu tidak terlepas dari perannya melahirkan generasi untuk mencapai Indonesia yang gemilang. Peran itu dimulai sejak masa kehamilan dan proses laktasi, periode yang hingga kini terus diperjuangkan karena kehamilan dan laktasi dianggap sebagai tugas perempuan semata. Padahal, berbagai studi ataupun pengalaman empiris membuktikan, kehamilan dan laktasi membutuhkan peran para pihak, termasuk laki-laki sebagai suami, sebagai kunci keberhasilan menciptakan generasi unggul.
Dalam hal menyusui, pemberian air susu ibu (ASI) dimulai dengan memperhatikan kualitas. ASI akan prima apabila proses laktogenesis yang telah dimulai sejak kehamilan hingga proses laktasi dilakukan ibu dengan penuh kebahagiaan. Agar sukses menghasilkan ASI tanpa kekurangan, ibu membutuhkan bantuan dua hormon ajaib, yaitu prolaktin dan oksitosin. Mereka harus bersinergi, tak hanya bertumpu pada organ payudara.
Baca juga: Menyusui Bukan Hanya Tanggung Jawab Ibu
Dinamika sistem saraf dan perasaan ibu berperan sangat penting pada proses penuh makna ini. Hormon oksitosin yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan (happy hormone), misalnya, kerjanya sangat dipengaruhi kondisi kejiwaan ibu, seperti perasaan senang mendapatkan perhatian serta dukungan suami dan keluarga terdekat. Kondisi bahagia akan mengoptimalkan kerja hormon oksitosin sehingga ASI lancar. Hormon ini pun menguntungkan bagi pencegahan penyakit metabolik ibu. Apabila situasi ideal ini dipertahankan, keuntungan mutualisme bagi bayi dan ibu tentu akan tercapai.
Ikatan emosional
Keistimewaan nilai menyusui secara universal terletak pada ikatan emosional antara ibu dan anak, dibalut pemaknaan religius dan tanggung jawab kekeluargaan, dan diwariskan sebagai sebuah praktik naluriah turun-temurun. Secara ilmu kedokteran, ASI, terutama secara eksklusif, memberi modal zat kekebalan tubuh agar bayi tangguh menghadapi serangan infeksi patogen di kemudian hari.
Kandungan gizi ASI pun kaya elemen penopang tumbuh kembangnya, baik otak, kognitif, maupun kecerdasan emosional. Dalam artikel bertajuk Breastfeeding Triumphs (2012), Ruth Lawrence menegaskan keberhasilan ibu memberi ASI harus menjadi agenda kesehatan utama seluruh bangsa di dunia karena ASI terbukti membentuk sumber daya manusia yang cerdas ilmu dan berkarakter. Lantas bagaimana dengan ibu?
Proses menyusui tentu tak bisa meluputkan peran ibu sebagai ”produsen” ASI. Menjalankan peran perantara zat hidup ini dari Tuhan kepada buah hatinya bukan tanpa perjuangan. Menurut penelitian Marie D Leurer, The Psychosocial and Emotional Experience of Breastfeeding, proses sekresi ASI yang kompleks melibatkan sistem hormon yang rumit menjadikan seorang ibu menyusui menghadapi beban ganda yang sering mengorbankan peluang kebahagiaannya.
Kehamilan dan laktasi membutuhkan peran para pihak, termasuk laki-laki sebagai suami, sebagai kunci keberhasilan menciptakan generasi unggul.
Penelitian Health Collaborative Center (HCC) pada 2022 mengonfirmasi hal ini. Fakta studi ini menemukan 6 dari 10 ibu menyusui di Indonesia tidak bahagia karena tidak mendapat dukungan terutama dari sistem pendukung utamanya, yaitu suami dan keluarga terdekat. Beban ketidakbahagiaan ini menjadi berlipat ganda pada kelompok ibu pekerja, terutama perempuan buruh pabrik.
Studi serupa dari Triaryati (2003) menunjukkan buruh perempuan yang harus kembali bekerja setelah cuti hamil tiga bulan menghadapi potensi konflik kejiwaan yang sangat berat, antara tugas membantu ekonomi keluarga dan harus rela meninggalkan bayinya di rumah dengan modal ASI perah seadanya. Begitu pun dengan studi Basrowi bersama Prodi Kedokteran Kerja FKUI (2015) yang menemukan data menyedihkan, yaitu 80 persen buruh pabrik memilih berhenti menyusui karena tuntutan beban kerja, dan bahkan banyak yang harus memompa ASI di toilet pabrik. Dari fakta ini, paradigma menyusui yang mengarusutamakan kejiwaan ibu masih jauh panggang dari api.
Kultural
Membahagiakan jiwa ibu menyusui sebenarnya telah menjadi bagian sentral dari budaya beberapa etnis di Indonesia. Bagi masyarakat Batak, upacara mangharoan adalah bentuk penghormatan yang sangat tinggi bagi ibu menyusui, ditandai dengan ritual persembahan dan hadiah dari kerabat suami agar sang ibu ikhlas memberi gizi ASI kepada turunan keluarga.
Begitu pun dengan tradisi di Jawa. Dalam konteks yang lebih luas, upaya membahagiakan ibu menyusui merambat hingga filosofi membahagiakan ibu sebagai tokoh sentral dalam keluarga. Filosofi ibu sebagai simbur cahyane adalah pengejawantahan dari upaya menjaga jiwa ibu sebagai sumber energi keluarga. Dan, filosofi ini mulai dibisikkan ayah dan ibu ketika bayi sedang disusui.
Dalam budaya luhur Indonesia, kejiwaan ibu menyusui merupakan bagian penting dalam keberlangsungan keluarga. Kearifan lokal ini membuktikan bahwa leluhur kita telah menyadari ketika ibu menyusui bahagia, kualitas keluarga pun terjamin. Inilah tradisi yang mestinya diformulasi sebagai model support system menyusui orisinil bangsa Indonesia. Kajian bidang kedokteran komunitas dan etnografik di Tanah Air sepantasnya menggali dan memvalidasi permodelan ini menjadi sistem ramah laktasi dengan luaran akhir berbasis kebahagiaan jiwa ibu.
Menyusui sejatinya tak sekadar memberi makan bayi. Beragam interpretasi kontekstual menegaskan keajaiban menyusui tidak semata-mata proses transfer gizi dari ibu ke bayi, tetapi juga merupakan bentuk perilaku pewahyuan (revelation) yang terdokumentasi dengan luar biasa rapinya di tiap kitab suci agama besar di dunia. Di saat bersamaan, ASI dan proses menyusui mendapat tempat yang sangat signifikan dalam berbagai sudut kajian ilmiah, tak hanya di bidang kedokteran dan life-science, tetapi juga dalam disiplin ilmu etnologi, antropologi, ekonomi, ataupun sosio-kultural.
Baca juga: Menjamin Hak ASI Eksklusif untuk Bayi
Bahkan, Seneca, filsuf Stoik termasyhur, mengaitkan menyusui dengan konsep kasih sayang dan keadilan yang secara alamiah merupakan sifat dasar manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun secara global menetapkan perilaku menyusui dan ASI eksklusif wajib dilindungi di enam bulan pertama kehidupan bayi hingga usia dua tahun, bahkan lebih. Ini karena status menyusui adalah ukuran penting kondisi kesehatan masyarakat dan dampak positifnya terhadap kesejahteraan suatu negara telah memiliki bukti klinis yang tak terbantahkan.
Perilaku dan tradisi menyusui juga memiliki posisi penting dalam perkembangan budaya Indonesia. Dalam kajian tentang perilaku menyusui di Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional tahun 2007 dijelaskan hampir semua etnis di Tanah Air memiliki cerita dan ritual khusus terkait dengan menyusui. Tradisi tolak bala di sepanjang tanah Jawa, Melayu Sumatera, hingga pedalaman Sulawesi telah dipraktikkan para leluhur lewat pembacaan jampe-jampe atau doa untuk melindungi ibu dan bayi selama masa menyusui.
Tak sedikit pula relief di candi-candi kuno yang menggambarkan menyusui sebagai adegan penting peradaban Nusantara. Konsumsi daun katuk, terbangun dan beras merah sebagai bahan galactogogue atau penambah volume ASI, menjadi simbol perkembangan teknologi pangan tradisional berbasis kearifan lokal yang semuanya terinspirasi dari filosofi menyusui ibu Indonesia.
Kesetaraan
Tak dapat dipungkiri, menyusui bagi kaum ibu Indonesia dipandang sebagai tugas yang penting dan mulia karena menyusui dianggap bentuk pengorbanan dan kasih sayang yang tertinggi, serta perwujudan dukungan ibu untuk memperkuat nilai keluarga. Dalam paradigma etno-metodologi dan interaksi simbolik, Antony Giddens dalam Sociology (1995) menjelaskan bahwa perilaku ibu menyusui adalah pola simbolisasi berorientasi significant other, yaitu perilaku yang diterima dan diwariskan dari orangtua dan generalized others atau perilaku yang dinilai dari orang lain dan komunitas sekitarnya.
Konsep significant other dan generalized others pada ibu menyusui di Indonesia menjadi semakin lekat relevansinya karena dipagari tembok budaya etnisitas yang menjadikan ibu menyusui sebagai pelaku wajib dan bayi sebagai penerima tanpa pamrih. Apalagi, apabila bayinya adalah laki-laki penerus nama marga keluarga. Terlampau banyak bukti empiris terkait tradisi ini.
Status menyusui adalah ukuran penting kondisi kesehatan masyarakat dan dampak positifnya terhadap kesejahteraan suatu negara telah memiliki bukti klinis yang tak terbantahkan.
Prinsip kesetaraan dalam menjalankan peran laktasi diimplementasikan tanpa pandang-bulu oleh negara di kawasan Nordik dan Skandinavia yang terkenal akan kualitas sistem kesehatannya. Seorang suami berisiko mendapatkan sanksi hukum dan sosial yang berat apabila membiarkan istrinya mengalami baby-blues bahkan stres pascasalin pada waktu periode menyusui semata-mata karena nilai sosial yang dianut masyarakat bahwa membesarkan anak adalah tugas bersama, termasuk tugas menyusui.
Secara fisiologis, salah satu tingkat kesuksesan menyusui adalah ketika bayi disusui on-demand, setiap saat ketika nangis, bahkan ketika terbangun tengah malam sekalipun. Dan sudah menjadi custom yang jarang dibantah bahwa menyusui entah itu pada pagi, siang, ataupun ketika bayi terbangun di tengah malam, menyusui tetaplah tugas ibu.
Penelitian Putri Panjaitan di Jurnal Online Keperawatan (2022) tentang pola tidur pasangan suami istri yang memiliki bayi membuktikan 89 persen ibu menyusui memiliki kualitas tidur yang buruk di enam bulan pertama setelah melahirkan, tetapi tidak demikian halnya dengan suami! Kesetaraan dalam peran laktasi belum terlihat dalam kajian ini, dan mungkin secara universal, meski cenderung prejudice, pola berbagi peran tak-setara juga masih terjadi secara luas di balik dinding rumah tangga muda di Indonesia.
Baca juga: Peran Suami untuk kelancaran ASI Eksklusif
Payung hukum
Kebahagiaan ibu menyusui dan bayinya akan menular kepada keluarga dan komunitas. Skenario ideal ini seharusnya menjadi tujuan sejati dari segala bentuk diskusi, intervensi, dan pembuatan kebijakan terkait ASI eksklusif dan menyusui di Indonesia. Kebijakan publik di bidang kesehatan ibu dan anak yang berfokus kepada kesuksesan menyusui harus menjadikan kebahagiaan ibu sebagai bagian utama dari paket indikator keberhasilan. Bahkan, secara kajian health economic, investasi peraturan ramah laktasi di tempat kerja meningkatkan produktivitas pekerja.
Penelitian Amy Brown, Breastfeeding Duration and Early Parenting Behaviour (PlosOne, 2014), membuktikan bahwa ketika ibu bahagia karena menyusui, pengasuhan akan semakin optimal. Pengasuhan terbukti merupakan bibit awal untuk panen sumber daya manusia berkualitas di kemudian hari. Kesuksesan peran laktasi menjadi penentu kesejahteraan keluarga, masyarakat dan bangsa, dan kebahagiaan ibu adalah nukleus dari itu semua.
Rancangan Undang-Undang Kesehatan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang digodok DPR adalah angin segar untuk kebijakan yang ramah laktasi serta bersahabat dengan kesehatan jiwa ibu. Jangan sampai RUU ini tidak disahkan hanya karena tarik ulur pasal cuti melahirkan enam bulan yang masih sangat bisa dicarikan strategi mediasi yang menguntungkan semua pihak. RUU ini adalah payung hukum yang sarat muatan kebahagiaan ibu hamil dan menyusui di Indonesia. Kapan lagi kita bisa menikmati undang-undang yang kental unsur bahagianya, terutama bagi kebahagiaan jiwa ibu Indonesia.
Ray Wagiu Basrowi, Peneliti Kedokteran Komunitas; Ketua Health Collaborative Center (HCC); Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa