Membela Pendidikan Umum
Ilmu dasar dan keterampilan umum di kehidupan digital, seperti analisis data, pengodean, dan komunikasi, semakin berharga di berbagai keilmuan.
Dalam kehidupan hari ini, setiap orang butuh keseimbangan kepakaran spesialis, sekaligus wawasan yang luas.
Jika demikian, lalu kapan saatnya mahasiswa atau seseorang sebaik- nya mengakhiri pendidikan umum dan memulai pendidikan spesialis? Topik yang hendak diperdebatkan di sini bukan apakah seseorang harus mengambil atau memilih salah satu pilihan: pendidikan generalis atau spesialis.
Pendidikan umum
Dalam tulisan ini, pendidikan umum diartikan sebagai pendidikan yang memperkenalkan berbagai disiplin ilmu sekaligus menyiapkan beberapa kecakapan umum, seperti berpikir kritis, membaca, menulis, dan berbicara.
Bagi program studi (prodi) S-1 dalam rumpun STEM (science, technology, engineering, and mathematics), biasanya pendidikan jenjang awal dilengkapi dengan sains dasar dan matematika. Adapun pendidikan spesialis adalah pendidikan yang berfokus di bidang keilmuan khusus dan keterampilan tertentu.
Idealnya, melalui tahap pendidikan umum di awal program pendidikan tinggi, mahasiswa berkenalan dengan berbagai ragam keilmuan.
Idealnya, melalui tahap pendidikan umum di awal program pendidikan tinggi, mahasiswa berkenalan dengan berbagai ragam keilmuan. Ini penting dalam konteks pelajar SMA di Indonesia yang umumnya belum mengenal ragam keilmuan sehingga mereka dapat membuat keputusan yang lebih bijak.
Sebaliknya, pemilihan dan penetapan jalur pendidikan spesialis tertentu yang dipaksakan terlalu dini seperti saat lulus SMA, serta tanpa dasar pengetahuan yang cukup, dapat merugikan hari ini, karena wawasannya sempit. Berlimpah cerita seorang mahasiswa dari satu jurusan tertentu memutuskan berpindah jurusan karena dirasa tak cocok, bahkan ada yang saat hampir lulus.
Oleh karena itu, pendidikan umum di tahap awal harus menyediakan peluang bagi mahasiswa baru dalam mengembangkan pengetahuan dasar serta mengasah beragam keterampilan. Tahap awal di perguruan tinggi (PT) dapat memberikan kesempatan dan waktu bagi mahasiswa untuk melihat-lihat, ”window shopping,” mencari tahu, berkenalan, dan menggali informasi terkait satu keilmuan atau lebih sekaligus memahami karier di keilmuan itu. Proses penetapan jurusan khusus yang akan digeluti ini penting karena akan dijalani mahasiswa dalam kehidupannya nanti.
Ilustrasi
Di dunia yang berubah pesat ini, pendidikan umum di tahun-tahun awal di perguruan tinggi semakin relevan karena melalui tahap ini mahasiswa belajar untuk luwes beradaptasi dan berpikir utuh serta berlatih berkomunikasi dengan pakar dari berbagai bidang.
Tulisan ini sifatnya mendukung mahasiswa yang hendak menunda waktu penetapan spesialisasi keilmuannya. Konsekuensinya, mereka menjalani pendidikan generalis lebih lama, dan ini sama sekali tak merugikan. Ada tiga alasan utama untuk menguatkan pendapat ini.
Pertama, pendidikan generalis cocok untuk mempersiapkan mahasiswa berfungsi efektif dalam kehidupan abad ke-21 yang berubah amat cepat dan bergantung pada teknologi. Kedua, pendidikan generalis memungkinkan mahasiswa untuk terlibat dalam studi dan kolaborasi lintas disiplin yang diperlukan guna memecahkan masalah kompleks dan baru di zaman ini.
Ketiga, pendidikan generalis membantu mahasiswa menggali dan menemukan passion (gairah) serta panggilannya, dan panggilan ini akan menjadi sumber utama motivasi serta kepuasan dalam pekerjaan dan kehidupan.
Jadi, iklim belajar yang unik di bidang disiplin itu justru yang menentukan kapan sebaiknya melakukan spesialisasi.
Lalu, apa tak merugikan mahasiswa jika mereka terlambat menetapkan spesialisasinya? David Epstein (2020) di bukunya, Range, mengamati ada orang yang berhasil dengan memilih spesialisasi awal, tetapi ada juga yang berhasil dengan memilih spesialisasi terlambat.
Jadi, tak pasti. Pegolf Tiger Woods yang sudah bermain golf serius sejak usia dua tahun mewakili insan yang berhasil dengan menjadi spesialis sejak awal. Lebih ekstrem lagi, kisah sukses pecatur Susan dan Judit Polgar yang merupakan eksperimen ayah dan ibunya ”mencetak” enam anak juara, bahkan sejak sebelum mereka menikah.
Namun, tak semua orang sukses memiliki jalan ”mencuri start” seperti Woods atau Polgar bersaudara. Kebalik- annya, petenis Roger Federer dan pelukis Vincent van Gogh justru terlambat memulai spesialisasinya. Mereka menjajaki berbagai kegiatan dahulu.
Menurut Epstein, mereka yang berhasil dalam profesinya dengan spesialisasi lebih awal, kebanyakan bergelut di bidang dengan iklim belajar yang kind atau bersahabat/ramah. Sementara yang berhasil dalam profesinya dengan terlambat memilih spesialisasinya, umumnya bergelut di bidang dengan iklim belajar wicked atau jahat/tak ramah. Jadi, iklim belajar yang unik di bidang disiplin itu justru yang menentukan kapan sebaiknya melakukan spesialisasi.
-
Menurut psikolog Robin Hogarth, seperti dikutip Epstein, iklim belajar bersahabat dicirikan, antara lain, oleh adanya pola yang berulang, umpan balik yang langsung diberikan dan akurat; aturan jelas dan tetap. Golf, catur, musik klasik, dan lainnya relatif memiliki ciri ini.
Sebaliknya, iklim belajar jahat dicirikan, antara lain, oleh tak ada atau tersembunyinya pola; aturan tak jelas atau kerap berubah, umpan balik yang terlambat atau tak akurat, dan proses belajar yang tak pasti. Iklim belajar yang jahat/kejam gampang ditemukan di kebanyakan lapangan pekerjaan dan dunia kehidupan di zaman digital ini, seperti bisnis, politik, sains, teknologi, dan seni.
Jadi, orang yang menganjurkan spesialisasi awal, kemungkinan ia memiliki pengalaman berprofesi di dunia dengan iklim belajar bersahabat. Sebaliknya, yang menganjurkan menunda menentukan spesialisasinya, kemungkinan karena dunia kerja dan kehidupannya memiliki iklim belajar tak bersahabat.
Dengan masa depan yang tak menentu, bahkan teknologi dan lapangan pekerjaan mendatang belum kita ketahui, maka pendekatan tradisional untuk spesialisasi dini dalam pendidikan tinggi menghadapi tantangan. Demikian pula, spesialisasi memiliki keuntungan dan bermanfaat; tetapi sifat dinamis dunia modern ke depan menuntut pendekatan pendidikan yang lebih luas, yang mendorong kelincahan, kebanyakgunaan, dan pola pikir belajar seumur hidup.
Ilmu dasar dan keterampilan umum di kehidupan digital, seperti analisis data, pengodean, dan komunikasi, semakin berharga di berbagai keilmuan.
Jadi, porsi serta peran jenjang pendidikan umum di tahun-tahun awal pendidikan tinggi tidak hanya relevan, tetapi juga semakin penting untuk mempersiapkan sarjana berselancar di dunia berteknologi yang berubah cepat ini.
Bahkan, sains dan teknologi kiwari dalam dua tahun terakhir, seperti kecerdasan buatan, telah mengubah cara kita berpikir, bekerja, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan dunia sekitar. Perubahan ini memerlukan insan yang bergairah serta lincah dalam beradaptasi, mengembangkan keterampilan baru, dan memahami sistem saling terhubung yang kompleks.
Dalam konteks ini, pendidikan umum, dengan penekanan pada berpikir kritis, pemecahan masalah, ilmu dasar, dan perspektif interdisipliner, akan memberikan fondasi kuat untuk lincah, cakap belajar sepanjang hayat, dan berkembang terus di masa depan yang tak pasti.
Bermunculannya studi lintas disiplin dan kebutuhan akan individu yang dapat menavigasi berbagai bidang semakin memperkuat argumen untuk memberikan perhatian pada pendidikan generalis. Ilmu dasar dan keterampilan umum di kehidupan digital, seperti analisis data, pengodean, dan komunikasi, semakin berharga di berbagai keilmuan.
-
Pendidikan umum modern dapat menyediakan fondasi yang kuat di bidang-bidang penting itu. Maka, sungguh beralasan, institusi seperti Universitas Tokyo memberi mahasiswa barunya pendidikan umum, Junior Division, selama dua tahun untuk mempelajari IPA, IPS, dan Humaniora, serta mengasah keterampilan dasar. Baru setelah itu, mereka masuk ke 10 fakultas yang disebut Senior Division dan memulai jurusan spesifiknya.
Melalui tahap pendidikan umum, mahasiswa juga berpeluang memupuk kreativitas dan inovasi, yang merupakan dua unsur bernilai tinggi di dunia yang cepat berubah. Dengan mahasiswa belajar membedah berbagai ide dan perspektif secara mendasar dan berani, pendidikan umum mendorong mereka untuk berpikir di luar kotak, menciptakan kotak baru, membuat kesalingterhubungan antarbidang yang tidak tampak terkait, dan mengembangkan solusi baru untuk masalah kompleks.
Walau menjadi seorang spesialis tetap harus dilakukan, pendidikan umum memberlatihkan kelincahan dan belajar seumur hidup. Insan generalis juga dapat menawarkan perspektif luas dalam pemecahan masalah serta memunculkan terobosan sekaligus inovasi kreatif. Mereka dapat berlatih berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan individu dari latar belakang yang beragam. Ini kecakapan yang dituntut di dunia yang saling terhubung saat ini.
Faktor passion atau gairah tentunya berperan besar dalam karier. Masalahnya, untuk menemukan jalan gairah kita, butuh waktu. Seperti ditulis Paul Millerd di The Pathless Path, gairah merupakan bahan bakar yang ”mendorong” kita untuk terus menggeluti suatu pekerjaan. Demikian pula, Epstein berpendapat, menemukan dan mengembangkan keunikan pribadi masing-masing merupakan proyek seumur hidup.
Dalam hal ini, pendidikan generalis yang berkualitas dan berkuantitas cukup berperan membantu mahasiswa menemukan gairah dan panggilan dirinya.
Melalui tahap pendidikan umum, mahasiswa juga berpeluang memupuk kreativitas dan inovasi, yang merupakan dua unsur bernilai tinggi di dunia yang cepat berubah.
Pascasarjana
Sebelum 1980-an, PT di Indonesia belum punya pendidikan pascasarjana. Maka, perancang kurikulum pendidikan tinggi dan masyarakat luas umumnya melihat pendidikan sarjana sebagai tahap pendidikan terakhir. Pendidikan seseorang secara keseluruhan kala itu masih mengikuti skema 12 + 4,5 tahun atau bahkan 12 + 6 tahun.
Namun, keadaan hari ini sudah jauh berbeda karena sudah banyak PT yang memiliki program pascasarjana. Ini berarti pendidikan S-1 tak harus dianggap sebagai pendidikan tahap terakhir lagi. Hari ini, tahap pascasarjana harus dipandang sebagai pendidikan terakhir oleh perancang kerangka kurikulum.
Dengan adanya program pascasarjana, posisi pendidikan spesialis atau khusus dapat digeser ke pascasarjana. Adapun S-1 dapat lebih fokus untuk menyiapkan lulusannya melanjutkan ke S-2 atau S-3 yang tak perlu linear atau segaris. Pendekatan ini akan menyokong sekaligus mempersiapkan para mahasiswa untuk meramu kecakapan lintas disiplin mereka dan mengembangkan keilmuan di masa depan yang belum ada hari ini.
Ilustrasi
Mengulang pendapat Wiranto Arismunandar, Rektor ITB (1988-1997) dan Mendikbud (1998), PT yang memiliki program pascasarjana mapan harus menjadikan program pascasarjana menjadi ujung tombaknya. Konsekuensinya, jumlah mahasiswa S-1 dibandingkan dengan pascasarjananya harus menuju 50:50. Lalu, PT yang besar dan sudah mapan tak boleh berlomba-lomba menambah lagi prodi S-1 baru dan kuota mahasiswa S-1.
Prodi S-1 yang terlalu khusus akan menyempitkan pilihan studi lanjutan lulusannya. Maka, PT besar didorong untuk menambah beragam spesialisasi keilmuan kiwari di jenjang S-2 dan S-3.
Dalam skema ini, keilmuan amat khusus yang sedang dibutuhkan, misal teknik perkopian atau boga tradisional, seperti pernah diminta Presiden Joko Widodo, tidak ditawarkan di jenjang S-1, tetapi sebaiknya di pascasarjana terapan. Namun, jika memang hendak disediakan bagi lulusan sekolah menengah, keahlian khusus ini bisa dipersiapkan di jenjang pendidikan kejuruan atau politeknik. Dunia baru perlu penciptaan kecakapan baru dan itu sebuah jalan yang nirjejak.
Baca juga : Pendidikan yang Relevan Siapkan Generasi Unggul
Iwan PranotoPengajar Matematika di ITB
Iwan Pranoto