Peran Swasta dalam Pendanaan Iklim
Pendanaan sektor swasta sangat penting karena dana pemerintah dan berbagai skema pendanaan konsesional tak mencukupi.
Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Konferensi Para Pihak yang lebih dikenal dengan COP28 di Dubai telah berakhir. Semula, banyak pihak mencurigai Uni Emirat Arab akan menunggangi perhelatan ini guna melegitimasi keberadaan energi fosil. Mengingat UEA adalah satu satu produsen utama minyak dunia.
Namun dalam pertemuan tersebut justru terjadi kesepakatan bersejarah, yaitu komitmen meninggalkan energi fosil secara bertahap dengan mengembangkan secara sistematis energi terbarukan. Kesepakatan ini mengikat ke-198 pihak (anggota).
Dalam pertemuan tersebut, 13 negara mendeklarasikan Global Climate Finance Framework yang bertujuan membuka peluang investasi pendanaan iklim melalui aksi bersama.
Kesepakatan meninggalkan energi fosil tersebut diperkuat dengan beberapa inisiatif pendukung lainnya. Pertama, disepakatinya pusat informasi yang merangkum seluruh inisiatif, berikut kendala dan upaya percepatan mencapai kesepakatan Paris dalam sistem inventori global yang terintegrasi (global stocktake).
Kedua, disepakatinya komitmen pendanaan perubahan iklim yang mencakup beberapa inisiatif seperti Green Climate Fund, Adaptation Fund, Least Development Countries Fund, dan Special Climate Change Fund. Dalam pertemuan tersebut, 13 negara mendeklarasikan Global Climate Finance Framework yang bertujuan membuka peluang investasi pendanaan iklim melalui aksi bersama.
Meski Indonesia tidak termasuk deklarator, tapi substansi Global Climate Finance Framework sangat relevan untuk kita. Ini misalnya berkaitan dengan peningkatan mobilisasi sumber daya domestik, keterlibatan sektor swasta, serta sistem perdagangan karbon yang bertanggungjawab.
Substansi ini sejalan dengan dokumen G20 Principles to Scale up Blended Finance yang diluncurkan di Bali pada 2022 saat Indonesia memegang presidensi. Salah satu urgensi pokok adalah bagaimana meningkatkan keterlibatan sektor swasta dalam pendanaan iklim.
Baca juga : Pemilu dan Ketidakpastian
Keputusan swasta pada prinsipnya selalu mempertimbangkan dua hal; kepastian tingkat pengembalian dan risiko yang terkelola. Jika keduanya terpenuhi, dengan sendirinya sektor swasta akan bergerak.
Sayangnya, proyek atau program terkait perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan umumnya tak memenuhi syarat keduanya. Satu kemungkinan lain adalah mendorong (memaksa) para pelaku swasta melalui aturan atau imbauan.
Keputusan bisnis yang hanya mempertimbangkan aturan atau imbauan otoritas biasanya tak berkesinambungan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya sistematis dan komprehensif membangun ekosistem yang berkelanjutan agar sektor swasta bisa berpartisipasi secara berkesinambungan.
Peran pendanaan sektor swasta menjadi sangat penting karena dana pemerintah dan berbagai skema pendanaan konsesional tak akan mencukupi. Selain karena jumlahnya terbatas, persoalan yang dihadapi dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim skalanya juga terlalu luas dan besar.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan kebutuhan partisipasi swasta dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada 2023 mencapai Rp 4.711 triliun. Pada 2030, kebutuhan pendanaannya diperkirakan mencapai Rp 6.763 triliun.
Kebutuhan partisipasi swasta dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada 2023 mencapai Rp 4.711 triliun. Pada 2030, kebutuhan pendanaannya diperkirakan mencapai Rp 6.763 triliun.
Bagaimana sektor keuangan di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan sebesar itu? Potensi ada, tapi perlu sistematika yang memungkinkan sektor ini meningkatkan peran sertanya.
Total kapasitas keuangan di Indonesia pada 2022 sebesar Rp 21.016 triliun. Ini terdistribusi ke enam sektor, yakni Rp 11.295 triliun (54 persen) di perbankan, Rp 6.717 triliun (32 persen) di pasar modal, Rp 1.738 triliun (8 persen) di asuransi, Rp 646 triliun (3 persen) di pembiayaan, Rp 342 triliun (2 persen) di dana pensiun, serta Rp 267 triliun (1 persen) di lembaga keuangan khusus.
Berbagai inisiatif telah dilakukan guna mendorong partisipasi swasta dalam pembangunan berkelanjutan. Pertama, mendorong agar perbankan mendanai sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 24/ 3 /PBI/2022 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.
Bank Indonesia (BI) memberikan insentif bagi perbankan yang mampu menyalurkan kredit ke UMKM sebesar 30 persen dari total kreditnya. Sebaliknya, BI memberi disinsentif bagi bank yang tidak mencapai target.
Baca juga : Pembiayaan Infrastruktur
Kedua, mewajibkan korporasi melakukan pelaporan atas kegiatan terkait Environment, Social, Governance (ESG). Ini menjadi amanat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Selain itu ada beberapa peraturan lain yang relevan seperti POJK Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan atau sering disebut green (syariah) bond. Ada pula POJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. Dengan kata lain, sudah banyak inisiatif yang mendorong partisipasi swasta untuk terlibat dalam pembangunan berkelanjutan.
Merujuk pada dinamika global terkait dengan stocktake, yang diperlukan di tingkat domestik adalah menyusun format koordinasi dan kerangka berpikir yang menyinergikan semua inisiatif, terutama swasta, dalam pembangunan berkelanjutan.
Singkatnya, Indonesia perlu membangun semacam stocktake di tingkat domestik. Dari integrasi koordinasi kebijakan ini akan terlihat potensi integrasi peraturan yang ternyata saling mendukung satu sama lain.
Bagi swasta, keterlibatan dalam pendanaan pembangunan berkelanjutan selain karena harus mengikuti arahan regulator juga mencari peluang untuk mendapatkan keuntungan dengan risiko yang terkelola.
Untuk itu, diperlukan inovasi dalam hal pembiayaan yang mampu melibatkan dana swasta ( market-rate) dengan dana pihak lain yang bersifat konsesional (di bawah market-rate).
Untuk itu, diperlukan inovasi dalam hal pembiayaan yang mampu melibatkan dana swasta (market-rate) dengan dana pihak lain yang bersifat konsesional (di bawah market-rate), bisa dari lembaga donor, bank pembangunan, dan lembaga keuangan lainnya. Inilah yang sering disebut sebagai sistem pendanaan campuran (blended finance).
Ke depan, langkah yang diperlukan segera adalah membangun simpul koordinasi di tingkat nasional yang mengakomodasi semua inisiatif tersebut dalam satu sistematika inventori pelaporan.
Dari sana bisa dipetakan inisiatif apa saja yang diperlukan untuk mengakselerasi keterlibatan sektor swasta guna mendukung pembangunan berkelanjutan. Sangat mungkin diperlukan peraturan tambahan yang sifatnya menyinergikan inisiatif yang sudah ada.
Jika sistematika pendanaan campuran sudah bisa dilaksanakan, peran swasta bisa diakselerasi. Sebab, risiko bisa diserap dengan dukungan pendanaan lain (konsesional) serta tingkat pengembalian bisa diperhitungkan.
Jika sistematika pendanaan campuran sudah bisa dilaksanakan, peran swasta bisa diakselerasi.
Jika pun tingkat pengembalian tidak akan setinggi nilai pasar, dengan kesadaran bahwa upayanya adalah bagian dari pembangunan berkelanjutan yang diakui otoritas sektor keuangan, sektor swasta akan meningkatkan partisipasinya.
Pemerintah baru nanti perlu menunjukkan komitmen pada pembangunan berkelanjutan melalui inisiatif nasional dengan menempatkan Tim Koordinasi Nasional SDGs yang sudah terbentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pelopor utama.