Perkembangan masif kecerdasan buatan beberapa tahun belakangan seperti tak terkendali sehingga memantik kekhawatiran.
Oleh
USMAN KANSONG
·3 menit baca
Uni Eropa membuat pengaturan komprehensif terkait kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Parlemen Eropa dijadwalkan menggelar pemungutan suara untuk pengesahan rancangan undang-undang penggunaan AI pada Januari 2024. Aturan ini diharapkan mulai berlaku tahun 2026 (Kompas, 10/12/2023).
Perkembangan masif AI beberapa tahun belakangan seperti tak terkendali sehingga memantik kekhawatiran. Kekhawatiran terentang mulai dari AI memproduksi disinformasi hingga menggantikan peradaban manusia. Uni Eropa (UE) kiranya memandang pengaturan komprehensif bisa mengendalikan perkembangan AI.
Ada dua jenis pengaturan AI, yakni regulasi sukarela (etika) dan regulasi memaksa (peraturan perundang-undangan). Pengaturan AI di UE masuk ke tingkat peraturan perundang-undangan atau regulasi memaksa.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045. Satu dari empat area yang dibahas ialah etika dan kebijakan. Tiga area lain mencakup pengembangan talenta, infrastruktur dan data, serta riset dan inovasi industri.
Kementerian Komunikasi dan Informatika merumuskan Pedoman Etika Kecerdasan Artifisial. Pedoman etika AI ini dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Menteri Komunikasi dan Informatika. SE Menkominfo ini hendak mendorong perusahaan membuat etika penggunaan AI dengan berpedoman pada panduan etika AI yang diterbitkan Kementerian Kominfo.
Perkembangan masif AI beberapa tahun belakangan seperti tak terkendali sehingga memantik kekhawatiran.
Pedoman etika AI jadi panduan dalam merumuskan kebijakan internal perusahaan terkait AI. Pedoman ini juga menjadi tuntunan dalam pelaksanaan konsultasi, analisis, dan pemrograman berbasis AI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pedoman etika AI ini mendorong perusahaan membuat etika kecerdasan artifisial dengan mengacu pada prinsip inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, demokrasi, transparansi, kredibilitas, dan akuntabilitas.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama asosiasi perusahaan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech/tekfin) telah meluncurkan etika penggunaan AI di dunia tekfin di Indonesia.
Kelemahan
Penyusunan dan pemberlakuan etika AI kiranya kita pandang sebagai strategi jangka pendek, atau lebih tepatnya langkah taktis, untuk menyiasati ketiadaan pengaturan yang lebih komprehensif. Namun, etika memiliki banyak kelemahan.
Pertama, etika bersifat parsial, tidak komprehensif. Etika hanya berlaku dalam ruang lingkup organisasi atau perusahaan yang memberlakukannya. Etika kecerdasan artifisial OJK hanya berlaku untuk perusahaan-perusahaan tekfin yang menjadi anggota asosiasi. Tidak ada prinsip equality before the ethics, persamaan di hadapan etika.
Di sisi lain, penggunaan AI tak lagi parsial, tetapi meluas. Sekitar 100 juta orang menggunakan ChatGPT dalam dua bulan pertama saat AI ini diluncurkan pada Oktober 2022.
Ilustrasi
Indonesia bisa dikatakan negara dengan tingkat penerimaan dan adopsi teknologi digital, termasuk AI, yang terbilang tinggi. Indonesia, misalnya, tercatat sebagai negara dengan pengguna Facebook terbesar di urutan ketiga setelah India dan AS pada 2023. Satu riset mengatakan, lebih dari 50 persen perusahaan Indonesia berpotensi mengadopsi AI.
AI telah merambah ke hampir seluruh aspek kehidupan manusia. AI secara komprehensif merasuki kehidupan kita. Etika sesungguhnya tidak memadai untuk mengatur dan mengendalikan AI.
Kedua, etika hanya mensyaratkan kesukarelaan, bukan paksaan. Oleh karena itu, ada yang menyebut etika sebagai regulasi halus (soft regulation). Etika sebatas ”memaksa secara halus” alias mengimbau.
Ketiga, karena bersifat sukarela, tidak memaksa, tiada sanksi memadai atas pelanggaran terhadap etika. Tidak ada kepastian dan keadilan bagi pelanggaran etika. Bahkan tidak ada sanksi bagi organisasi atau perusahaan yang tidak membuat etika AI jika penyusunan dan pemberlakuannya bagi organisasi atau perusahaan sebatas edaran atau imbauan.
Di sisi lain kita sangat khawatir terhadap dampak negatif penyalahgunaan AI. Survei UNESCO dan Ipsos pada 2003 menyebutkan, 85 persen masyarakat khawatir terhadap dampak disinformasi yang diproduksi teknologi digital di negaranya. Sanksi legal kiranya dapat meredakan kekhawatiran itu.
Kita memerlukan pengaturan komprehensif yang berlaku untuk semua demi menghadirkan kepastian dan keadilan.
Peraturan perundang-undangan
Kita memerlukan pengaturan komprehensif yang berlaku untuk semua demi menghadirkan kepastian dan keadilan. Pengaturan komprehensif semacam itu bisa dipenuhi dengan peraturan perundang-undangan.
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan bertujuan mengurangi dampak negatif AI sembari meningkatkan dampak positifnya. Indonesia memerlukan peraturan perundang-undangan serupa UE sebagai strategi jangka panjang pengaturan AI. Badan Riset dan Inovasi Nasional tengah menggodok rancangan peraturan perundang-undangan berupa peraturan presiden untuk mengatur AI (Kompas, 28/11/2023).
Kita berharap dalam waktu tidak lama rancangan perpres soal AI bisa terbit karena kita berkejaran dengan perkembangan teknologi AI dan pemakaiannya yang sangat cepat dan masif.
Namun, kita harus menganggap perpres ini sebagai peraturan perundang-undangan antara (intermediate law). Perpres bertujuan mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan yang mengatur AI. Kita selayaknya menargetkan memiliki peraturan perundang-undangan di level UU untuk mengatur AI secara lebih komprehensif.