Sampai tahun 2050 penyediaan energi nuklir, angin, matahari, geotermal, dan lainnya hanya mampu memenuhi separuh dari kebutuhan energi global.
Oleh
SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO
·3 menit baca
Setiap belahan bumi mengalami persoalan mendasar, seperti kelangkaan pangan, kelangkaan air bersih, penurunan nutrisi dan kesehatan, kelangkaan energi, punahnya biodiversitas, serta perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi.
Penyebab semua itu adalah pemanasan global yang belum dapat diatasi sampai saat ini.
Pada pertemuan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, baru-baru ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa upaya yang dilakukan global masih jauh dari Persetujuan Paris 2015.
Padahal, saat ini bumi tengah menghadapi titik kritis dan menuju kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius. Penyebab utama pemanasan global tersebut adalah gas karbon dioksida yang sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas industri.
Salah satu afirmasi yang disepakati oleh pimpinan negara-negara maju adalah penurunan emisi karbon dioksida secara signifikan.
Mengingat penyebab utama emisi karbon dioksida adalah industri, maka hal ini menimbulkan dilema antara menurunkan emisi karbon dioksida dan meningkatkan aktivitas industri untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang terus meningkat.
Pemanasan global tidak bisa dibiarkan terjadi, sementara di sisi lain kebijakan zero-discharge tak mungkin diterapkan.
Penyebab utama pemanasan global tersebut adalah gas karbon dioksida yang sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas industri.
Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan bahwa 65 persen emisi gas rumah kaca di dunia dihasilkan oleh aktivitas industri yang menggunakan berbagai jenis energi secara intensif.
Data lain menunjukkan, pada 2009 terjadi penurunan emisi karbon dioksida mendekati 3 persen—terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir—akibat ada resesi ekonomi global.
Tampaknya negara-negara maju meminta negara-negara berkembang untuk mengurangi penggunaan energi dan mengurangi aktivitas industri. Dengan demikian, terjadi ketidakadilan bagi negara-negara berkembang saat mereka harus meningkatkan aktivitas industrinya untuk bertahan hidup.
Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah untuk mengembangkan energi alternatif yang menghasilkan lingkungan bersih dan mencegah pemanasan global, seperti tenaga air, tenaga angin, geotermal, biofuel turunan kedua (dari limbah pertanian, limbah kayu, dan limbah lainnya), serta etanol biomassa.
Untuk pemanfaatan geotermal, etanol biomassa, dan biofuel turunan kedua, perlu dibuat sistem rangkaian tertutup sehingga mencegah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Ilustrasi
Pemanfaatan biofuel turunan pertama (langsung dari tanaman atau hasil hutan) harus dihindari karena akan menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih besar akibat deforestasi.
Etanol biomassa bisa diproduksi oleh 120 negara di dunia, sedangkan energi fosil hanya dapat disediakan oleh 15 negara kaya minyak. Dengan demikian, ketergantungan energi dapat diminimalkan dan setiap negara mampu melakukan penyediaan energi secara mandiri.
Kompleksitas tantangan
Pemanasan global akan lebih berpengaruh terhadap negara-negara berkembang daripada negara-negara maju.
Penduduk miskin cenderung tinggal di daerah rawan bencana, seperti di pantai dan daerah-daerah kering. Mereka akan semakin miskin dan kesehatannya semakin memburuk sehingga lambat laun harus bermigrasi untuk bertahan hidup.
Berdasarkan data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/ IPCC), permukaan air laut akan naik 18 sentimeter hingga 59 sentimeter pada abad mendatang.
Penyediaan energi terbarukan melalui biofuel dan bioetanol juga menimbulkan kompleksitas baru ketika akan terjadi persaingan antara penyediaan pangan dan penyediaan energi nonfosil.
Apabila terjadi kelangkaan pangan di dunia, kebijakan pengembangan biofuel dan bioetanol berbasis pangan akan dihentikan.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan bahwa kelangkaan pangan dunia masih tinggi dan harga pangan meningkat terus, sementara populasi penduduk miskin meningkat terus.
Penduduk miskin cenderung tinggal di daerah rawan bencana, seperti di pantai dan daerah-daerah kering.
Pengembangan energi nonfosil alternatif menunjukkan bahwa sampai tahun 2050 penyediaan energi nuklir, angin, matahari, geotermal, dan lainnya hanya mampu memenuhi separuh dari kebutuhan energi global. Hal ini karena teknologi untuk pemanfaatan energi alternatif secara optimal masih belum ditemukan, masih terus diteliti dan dikembangkan.
Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang berbeda saat pencapaian nol emisi karbon (net zero emission) tak hanya mengandalkan energi nonfosil, tetapi juga memanfaatkan kombinasi seluruh potensi energi yang tersedia, dengan konfigurasi yang optimal dalam koridor net zero emission.