Vaksin produksi dalam negeri itu penting untuk kemandirian bangsa di saat negara-negara lain memproteksi produksi vaksin Covid-19 untuk rakyat mereka sendiri.
Oleh
BOYKE NAINGGOLAN
·2 menit baca
Saya sering mendengar dan membaca berita bahwa bangsa kita sudah mampu membuat dan memproduksi vaksin Covid-19 sendiri. Vaksin produksi dalam negeri itu penting untuk kemandirian bangsa di saat negara-negara lain memproteksi produksi vaksin Covid-19 untuk rakyat mereka sendiri.
Namun, sayangnya, kemandirian bangsa Indonesia memproduksi vaksin untuk memproteksi masyarakat dari ancaman Covid-19 tidak terejawantahkan dengan baik, bahkan untuk kebutuhan di lingkup ibu kota negara sekalipun. Apa pasal?
Pengalaman saya sebagai dokter, saat hendak melakukan pemberian vaksin penguat (booster) kedua di RSUD Duren Sawit dan di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit pada 13 Desember 2023 lalu, stok vaksin disebutkan kosong dan diinformasikan sudah lama kosong. Persisnya, lebih kurang tiga bulan, sejak September 2023.
Saya mendesak pemerintah untuk serius dapat menyediakan vaksin Covid-19, mulai dari vaksin pertama hingga vaksin penguat ketiga, agar kenaikan angka Covid-19 dapat diminimalkan.
Selain itu, ketersediaan vaksin apa pun—vaksin folio, vaksin Covid-19, dan sebagainya—juga hendaknya selalu rutin dimonitor secara daring setiap minggu, setiap bulan, di rumah sakit-rumah sakit dan fasilitas-fasilitas kesehatan di semua daerah.
Dengan sehatnya masyarakat, beban keuangan negara (APBN) untuk kesehatan masyarakat pun dapat berkurang.
Jalan Mawar Merah, Perumnas Klender, Jakarta Timur
Menara Gading
Syamsul Rizal (SR), anggota Majelis Wali Amanat Universitas Syiah Kuala dan profesor tamu di Lembaga Penelitian Eksploitasi Laut, Perancis, dalam artikel opininya, ”Tantangan untuk Membumikan Penelitian Perguruan Tinggi” (Kompas, 29/11/2023) mengutip pandangan filsuf Aristoteles, Immanuel Kant, dan John Stuart Mill.
Ketiga filsuf tersebut, menurut Syamsul Rizal, pada dasarnya menyatakan bahwa penelitian yang tak terhubung dengan kebutuhan masyarakat bisa dianggap sebagai kegagalan dalam mencapai tujuan akhir dari penelitian itu sendiri, yakni kebaikan dan kebahagiaan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Sedekat menyangkut Kant dan Mill, bisa dikatakan memang demikianlah adanya. Tetapi, bagaimana dengan Aristoteles?
Bukankah dalam filsafat ilmu ada ideal Aristoteles, bahwa secara aksiologis pengetahuan (knowledge)—apalagi pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) alias ilmu (science)—dikembangkan (tentulah melalui penelitian dan penelaahan) demi pengetahuan/ilmu itu sendiri?
Di ruang kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, ada lukisan tergantung di dindingnya. Lukisan itu memperlihatkan seorang filsuf yang sedang merenung, dengan tangan menopang dagunya dan dahinya mengernyit, pertanda berpikir keras.
Filsuf tersebut merenung di ”menara gading”, jauh dari hiruk-pikuk dan thèthèk-bengèk urusan masyarakat.
Sehubungan dengan tulisan ”Membebaskan Daerah dari Rabies (Kompas, 30/11/2023), istilah ”eliminasi” perlu dibaca sebagai ”eliminasi humanis” atau eutanasia.
Sebelum dilakukan eutanasia, anjing ditenangkan dengan sedatif secara intramuskuler, baru kemudian diberikan bahan khusus eutanasia secara intravena. Tindakan ini dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga teknis terlatih. Kemudian anjing dikuburkan dengan baik. Hindari penggunaan strychnine atau racun lain karena bertentangan dengan kesejahteraan hewan.