Perempuan Berdaya dan Folklor
Pengarusutamaan tokoh perempuan berdaya dalam folklor menjadi langkah penting dan merupakan upaya konter-hegemoni budaya patriarki yang berakar kuat di masyarakat.
Timun Mas menolak menyerah. Ia akhirnya berhasil mengalahkan raksasa hijau dan hidup bahagia bersama Mbok Srini, sang ibu....
Demikian epilog cerita rakyat yang populer diketahui dari Jawa Tengah. Tentu saja cerita rakyat ini memiliki versi yang beragam karena memang dituturkan dari mulut ke mulut. Hal ini semakin mempertegas kekhasan sebuah folklor sebagai artefak sastra daerah.
Selain itu, apabila cermat menelusuri simbol-simbol yang ada dalam cerita tersebut, sesungguhnya sejak dahulu figur perempuan berdaya di Nusantara sudah eksis, tidak ”terbelakang”, dan tidak melulu diasosiasikan sebagai pelengkap kehadiran tokoh laki-laki. Timun Mas—dan Mbok Srini—yang tidak pasrah begitu saja, pantang menyerah, dan taktis, menunjukkan keberdayaan seorang perempuan. Memburuknya situasi tidak menyebabkan mereka hilang akal dan frustasi.
Baru-baru ini penulis membeli sebuah boardbook Timun Mas di pameran/bazar buku Big Bad Wolf Books, yang ternyata (akhir) ceritanya telah direkonstruksi lebih menarik. Dengan tetap mengusung konsep perempuan berdaya, Timun Mas pada akhirnya memaafkan sang raksasa hijau yang ternyata tidak memiliki maksud jahat dan hanya ingin bermain dengannya.
Alih-alih digunakan sebagai senjata pelindung diri, bungkusan terakhir berisi terasi yang tidak jadi dilemparkan akan dijadikan sambal terasi untuk disantap bersama-sama sang raksasa. Di sini tampak jelas tokoh Timun Mas memiliki ”kuasa” dan dominasi positif yang memengaruhi keseluruhan isi cerita.
Baca juga: Perempuan Belum Setara dalam Bacaan Kita
Folklor dengan tokoh utama perempuan berdaya juga tecermin dalam Legenda Danau Lipan dari Kalimantan Timur. Putri Aji Bedarah Putih berani menolak pinangan seorang raja kaya raya karena sang putri tidak menyukai cara makan sang raja yang menurutnya menjijikkan dan tidak sopan. Ia juga lantas tidak gentar berkorban dan berperang melawan serangan dari raja yang sakit hati dan memiliki maksud jahat tersebut. Lalu, muncullah lipan-lipan yang tidak terhitung jumlahnya, yang berhasil membantu mengusir raja dan hulubalangnya dari negeri sang putri.
Freedom to make life choices atau kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dalam hidup, seperti yang tecermin dari folklor Legenda Danau Lipan tersebut menjadi salah satu indikator kebahagiaan masyarakat di suatu negara. Sayangnya, Indonesia masih berada di peringkat ke-84 dari 137 negara yang disurvei berdasarkan Laporan Kebahagiaan Dunia atau World Happiness Report (Sustainable Development Solutions Network, 2023). Masih banyaknya kasus perempuan dipaksa menikah, tidak bahagia, dan tidak berdaya untuk membuat keputusan atas hidup mereka sendiri di Indonesia menjadi salah satu bukti ketimpangan jender dan belum meratanya tingkat kebahagiaan masyarakat di Indonesia, khususnya perempuan.
Kesenjangan jender
Kesenjangan jender di Indonesia dapat dilihat, salah satunya, melalui Global Gender Gap Index (GGGI) dengan empat kriteria utama: partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, serta pemberdayaan politik. GGGI melaporkan bahwa pada 2023 Indonesia menempati peringkat ke-87 dari 146 negara dengan skor 0,697 atau 69,7 persen. Dalam lingkup ASEAN, Indonesia menempati posisi ke-7 dari 10 negara (LAKIP Deputi Bidang Kesetaraan Gender, 2022).
Hal ini menunjukkan sebuah perbaikan atau kemajuan, tetapi belum cukup signifikan untuk mengurangi kesenjangan jender. Padahal, kesetaraan jender merupakan poin kelima dari Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (The 2030 Agenda for Sustainable Development/SDGs).
Isu ini dianggap begitu penting sehingga menjadi salah satu dari 17 tujuan besar yang secara eksplisit disebutkan dalam Agenda 2030 untuk SDGs. Hal ini mengingat di berbagai negara, termasuk Indonesia, masih banyak ditemukan ketimpangan atau kesenjangan jender yang berdampak negatif di dalam kehidupan bermasyarakat, seperti yang dilansir Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2022), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2022), dan Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika (2022). Pembangunan inklusif tidak akan mungkin dapat diwujudkan dengan optimal apabila kesenjangan jender masih menjadi isu dan polemik yang belum tuntas diselesaikan hingga ke akarnya.
Promosi folklor dengan tokoh utama perempuan berdaya perlu digalakkan kembali sebagai salah satu upaya rekayasa sosial inklusi jender yang efektif.
Pengarusutamaan tokoh perempuan berdaya dalam folklor menjadi langkah penting dan merupakan sebuah upaya konter-hegemoni budaya patriarki yang berakar kuat di hampir semua lini kehidupan di Indonesia, bahkan termasuk di dalam produk-produk sastra itu sendiri. Obyektifikasi perempuan dalam cerita rakyat Nusantara pernah dianalisis Beta Mustauda Amala dan Rudi Ekasiswanto (2013).
Dengan mendasarkan kajian pada pendapat para ahli, seperti Beauvoir, Ruthven, Descartes, dan Jackson & Jones, Beta dan Rudi mengemukakan lima folklor yang mengandung aspek obyektifikasi perempuan, yaitu Putri yang Berubah Menjadi Ular (Sumatera Utara), Putri Mambang Linau (Riau), Putri Tujuh (Riau), Ning Rangda (Kalimantan Selatan), dan Dewi Luing Indung Bunga (Kalimantan Selatan). Oleh karena itu, promosi folklor dengan tokoh utama perempuan berdaya perlu digalakkan kembali sebagai salah satu upaya rekayasa sosial inklusi jender yang efektif.
Daya ”magis” folklor
Bahwa bahasa memiliki kekuatan, benarlah adanya, seperti diungkapkan Franco Berardi (2012) dalam buku The Uprising: On Poetry and Finance yang diterjemahkan sebagai berikut: ”Hanya tindakan bahasa yang dapat memberikan kita kemampuan untuk melihat dan menciptakan kondisi manusia baru, di mana kita sekarang hanya melihat barbarisme dan kekerasan”.
Terlebih, ketika bahasa tersebut dikemas dan menjelma menjadi sebuah produk sastra berwujud prosa seperti cerita rakyat atau folklor. Tidak ada yang meragukan kekuatan folklor fenomenal Nusantara yang berjudul Malin Kundang dengan pesan moral ”jangan sekali-kali durhaka kepada orangtua”. Pesan ini banyak terpatri dalam diri masyarakat Indonesia yang merekam cerita tersebut dalam memori mereka, hingga terinternalisasi dan bermanifestasi menjadi sebuah karakter atau kepribadian yang positif.
Sayangnya, daya ”magis” folklor di era global kini semakin redup karena tidak lagi dilestarikan secara luas dan sistematis ke generasi berikutnya. Masifnya penetrasi film dan drama asing, pudarnya kebiasaan menceritakan folklor kepada anak sebagai bedtime stories atau cerita pengantar tidur, lemahnya integrasi materi folklor ke dalam kurikulum sekolah, dan terbatasnya platform serta konten kreatif kekinian yang mengangkat folklor daerah merupakan empat kontributor utama melemahnya daya ”magis” folklor Nusantara dan penyebab primer kegagalan transmisi folklor antargenerasi.
Baca juga: Bandung Bondowoso Menuntut Kesetaraan Jender Lewat Wayang Suket
Pendidikan responsif jender
Pendidikan merupakan senjata ampuh untuk meningkatkan daya ”magis” folklor dan mengupayakan kesadaran akan kesetaraan jender di masyarakat. Materi responsif jender, misalnya melalui rekonstruksi, visualisasi, dan storytelling folklor Nusantara dengan tokoh utama perempuan berdaya, perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah sebagai penyeimbang atas biasnya representasi jender dalam buku-buku teks yang tersedia. Selain itu, dengan adanya lebih banyak kebebasan dalam kurikulum merdeka, sekolah dapat lebih leluasa memformulasikan kebijakan edukatifnya dan lebih aware terhadap isu-isu kontemporer yang saat ini tengah dihadapi, salah satunya adalah kesenjangan jender.
Selain melalui pendidikan formal, pedagogi responsif jender juga perlu digiatkan dalam pendidikan nonformal (keluarga) dan informal (masyarakat). Menggiatkan kembali folklor Nusantara pilihan sebagai bedtime stories di keluarga-keluarga dan menghadirkan ruang publik untuk mengakses dan mengkaji bersama folklor perempuan berdaya di lingkungan masyarakat diharapkan mampu berkontribusi dalam memajukan inklusivitas jender di Indonesia.
Muzakki Bashori, Dosen dan Peneliti Bahasa Universitas Negeri Semarang
Instagram: muzakkibashori