Pada 1551, Portugis menyerang Jailolo. Katarabumi kalah. Jailolo ditaklukkan. Kerajaan tertua di Maluku ini mengalami kemunduran hebat.
Oleh
LINDA CHRISTANTY
·3 menit baca
Musim hujan, 2019. Saya berdiri di muka Kedaton Kesultanan Jailolo yang berada di tebing Jalan Baru, desa dekat pelabuhan. Arsitektur kedaton ini sepintas mirip arsitektur Kedaton Ternate. Perbedaan terlihat pada atap bangunan utama. Atap bangunan utama di Kedaton Ternate bertingkat dua, bergaya istana Ming, bukti akulturasi budaya. Di Kedaton Jailolo, atap bangunan utama tidak bertingkat. Kedaton Ternate terdiri dari dua lantai, sedangkan Kedaton Jailolo hanya satu lantai.
Biaya pembangunan Kedaton Jailolo ditanggung Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Sultan Jailolo pindah ke kedaton Jalan Baru pada 23 Desember 2013 meskipun bangunan tersebut belum rampung.
Interior kedaton tak terkesan mewah. Sebatang pohon plastik ditanam dalam kaleng bekas cat berisi tanah, dikawal dua payung kebesaran, seolah benda pusaka. Potret Sultan Abdullah Syah terpasang di dinding. Singgasana raja dan permaisuri dinaungi payung kebesaran.
Di masa lalu payung-payung di kedaton atau istana bukan sekadar hiasan, melainkan simbol kekuasaan. Dalam Sang Pemula (1985), buku tentang perjalanan hidup perintis pers bumiputra dan pejuang antikolonial Belanda, Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer menulis bahwa payung kebesaran adalah atribut para raja Nusantara. Para pejabat kolonial mencoba meniru raja-raja pribumi dengan memakai payung emas. Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz jengkel, lalu melarang tindakan mereka. Van Heutsz pernah bertugas di Aceh sebagai komandan militer. Snouck Hurgronje membantunya mengalahkan pejuang-pejuang Aceh. Teuku Umar gugur ditembak. Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Van Heutsz menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Menurut Pramoedya, ada aturan khusus tentang payung kebesaran di Kedaton Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan. Jumlah payung ditentukan ”urutan supremasinya”, yakni 1-3-2-2. Ternate kerajaan paling kuat. Jumlah payung kebesarannya paling banyak. Jailolo memiliki satu payung. Saya menghitung payung kebesaran di Kedaton Jailolo. Jumlahnya lebih dari satu. Zaman berganti, aturan tak berlaku lagi.
Orang Jailolo mengingat nama raja yang paling mereka cintai, yaitu Katarabumi. Beberapa orang yang saya wawancarai mengatakan Katarabumi adalah wali putra mahkota Jailolo, Firuz Alauddin, ketika Sultan Jusuf wafat pada 1533.
Pada 1532, setahun sebelum Sultan Jusuf wafat, Ratu Ternate Rainha Boki Raja atau Boki Nukila memimpin pasukan menyerang benteng Portugis dan memenangi pertempuran. Beberapa tahun kemudian ia dan keluarganya ditangkap lalu dihukum buang ke pusat imperium Portugis di Goa, India. Rainha Boki Raja diketahui sebagai perempuan pertama yang memimpin perlawanan atas Portugis, imperium kolonial-global pertama di dunia.
Bartolomé Leonardo de Argensola, penyair dan sejarawan Spanyol abad ke-16, menulis tentang otoritas Katarabumi dalam bukunya yang diterjemahkan John Stevens ke bahasa Inggris, The Discovery and Conquest of the Molucco and Philippine Islands: Containing Their History ... Description ... Habits, Shape, and Inclinations of the Natives (2013). Menurut De Argensola, ”Catabruno” (Katarabumi) adalah ”gubernur Jailolo” dan ”guru pribadi raja yang masih bayi”.
Katarabumi menjadi raja Jailolo tahun 1534-1551. Pada 1551, Portugis menyerang Jailolo. Katarabumi kalah. Jailolo ditaklukkan. Kerajaan tertua di Maluku ini mengalami kemunduran hebat.
Ada dua pendapat tentang penyebab kekalahan Katarabumi.
Leopoldo Stampa Pinēiro menulis dalam esainya, ”Españoles En Las Molucas: Una Aproximación Histórica”, yang dapat diakses di situs Angkatan Laut Spanyol (armada.defensa.gob.es), bahwa kekalahan itu akibat bencana alam, bukan kehebatan pasukan Portugis. Stampa pernah bertugas sebagai Duta Besar Kerajaan Spanyol untuk Republik Indonesia, dari tahun 1989 sampai 1993.
Stampa menjelaskan situasi yang dihadapi Jailolo masa tersebut, ”Serangkaian letusan gunung berapi dan gempa bumi menghancurkan pertahanan dan moral pasukan Jailolo. Raja Katarabumi, yang tentara dan rakyatnya menjadi korban kelaparan dan wabah penyakit, tidak punya pilihan selain menyerah.”
Soni Balatjai, Kepala Suku Wayoli, memperkuat penjelasan Stampa dengan mengisahkan migrasi penduduk dan pembentukan kampung-kampung Suku Wayoli di Halmahera Barat. Katanya kepada saya, ”Perpindahan pertama Suku Wayoli terjadi akibat gunung meletus. Perpindahan ini berlanjut setelah kejatuhan Katarabumi.” Perpindahan demi perpindahan itu membuat populasi Wayoli tersebar hingga Ibu bagian utara. Ibu atau biasa dilafalkan ”Ibo” kini wilayah kecamatan di Halmahera Barat.
Keadaan alam memang terbukti turut memengaruhi kekalahan atau kemenangan perang. Allen F Chew, peneliti khusus tentang Rusia, mengungkap faktor substansial penyebab kegagalan pasukan Nazi menguasai Soviet di masa Perang Dunia II dalam makalahnya untuk Combat Studies Institute di Fort Leavenworth di Kansas, Amerika Serikat, ”Fighting the Russians in Winter: Three Case Studies”, yang terbit pada Desember 1981: musim dingin!
Chew menjelaskan kondisi persenjataan Jerman ketika Soviet menyerang, ”[….] senapan mesin mereka terlalu beku untuk berfungsi”, lalu dia membandingkan dengan persiapan di pihak musuhnya, ”Senjata Soviet dirancang untuk musim dingin, dan mereka menggunakan pelumas yang sesuai.”
Berbeda dengan pendapat Stampa, Adnan Amal, penulis sejarah Ternate, tak menyinggung sama sekali pengaruh bencana alam terhadap kekalahan Katarabumi. Dalam bukunya, Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250–1950 (2007), ia berpendapat penggempuran benteng Katarabumi selama tiga bulan penuh oleh Portugis telah mengakibatkan pasukannya menyerah karena kehabisan logistik.