Di masa pemilu, wilayah-wilayah yang sebetulnya steril dari kepentingan mulai diwaspadai, seperti pementasan teater.
Oleh
BUDI SARTONO SOETIARDJO
·2 menit baca
Cerita tentang ”Negeri yang Susah Melucu” di laman Kompas.id edisi Kamis, 6 Desember 2023, mengingatkan saya pada kegalauan dan kegelisahan diri aktor, seniman, dan budayawan Butet Kartaredjasa sesaat sebelum mempergelarkan pentas teater di Taman Ismail Marzuki pada 1-2 Desember 2023.
Aparat keamanan memintanya menandatangani selembar pernyataan agar karya-karyanya tidak berbicara, menyinggung, atau bersentuhan dengan masalah politik.
Fenomena baru di alam kebebasan berekspresi, di alam reformasi, di negara yang konon menganut demokrasi.
Seni adalah wilayah yang steril, yang harus bebas dari berbagai kepentingan dan intervensi. Wayang, ketoprak, ludruk, teater, bahkan stand up comedy adalah karya-karya seni yang sangat layak diapresiasi.
Muatan satire, komedi di dalam berkesenian, harus dimaknai sebagai bagian dari keunikan karya seni.
Seni, dalam wujud/bentuk apa pun, memiliki nilai yang tak sekadar membuat orang sedih, berkeluh kesah, bahagia, tertawa terbahak-bahak, tanpa makna. Seni pada hakikatnya potret kehidupan sosial masyarakat di zamannya.
Tampaknya, di masa pemilu yang mulai memanas sekarang ini, semua bisa jadi sensitif, mudah tersinggung. Wilayah-wilayah yang sebetulnya steril dari kepentingan pun mulai dilirik untuk diteropong dan diwaspadai.
Kritik sosial yang disampaikan melalui karya-karya seni harus dimaknai sebagai bagian dari instrospeksi kolektif masyarakat. Seni adalah potret diri kita, baik sebagai individu maupun komunitas bangsa.
Keprihatinan Butet dan seniman lain bisa dipahami karena mereka juga warga masyarakat biasa yang memiliki hak sama dengan orang lain—politisi, anggota Dewan yang terhormat, para pakar dan akademisi, menteri, bahkan presiden—untuk bisa berekspresi menyatakan pendapat. Sebab, hal itu dijamin undang-undang.
Kebebasan berekspresi tidak boleh dibatasi, dilanggar, diberangus, bahkan dikebiri sejauh hal itu masih dalam koridor hukum, moral, dan etika.
Terkait surat saya kepada Redaksi Kompas, 13 Desember 2023, perihal vaksin penguat (booster) Covid-19 kosong, saya mendapatkan pengalaman itu sewaktu saya dalam antrean ingin mendapatkan vaksin untuk diri saya sendiri. Bukan sebagai dokter yang mau memberikan vaksin.
Kekosongan itu terjadi saat saya mau mendapatkan vaksin penguat kedua di RSUD Duren Sawit dan Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, 13 Desember 2023.
Boyke Nainggolan
Jalan Mawar Merah, Perumnas Klender, Jakarta Timur