Tantangan Ekonomi Menuju 2045
Kebijakan ekonomi tidak tepat hingga politik dikuasai oligarki partai menghambat Indonesia menjadi negara maju di 2045.
Pada dekade 1960-an Indonesia berada di garis yang sama dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Kini, tiga negara tersebut sudah masuk kategori negara maju. Sementara Indonesia masih terseok-seok dengan status ”negara berpendapatan menengah-bawah” dan terancam middle income trap.
Tanpa ada bauran kebijakan yang strategis dan mumpuni di bidang ekonomi, pelan-pelan Indonesia tentu akan terperangkap di kelasnya sebagai negara berpendapatan menengah dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita bertahan di kisaran 4.000 dollar AS dalam waktu yang lama.
Pada 2017 PDB per kapita Indonesia berdasarkan harga berlaku saat itu Rp 51,89 juta atau 3.800 dollar AS alias masih berada di kategori negara berpenghasilan menengah bawah. Pada saat yang sama, PDB per kapita Singapura sudah di level 57.500 dollar AS, Taiwan 24.600 dollar AS, dan Korea Selatan 30.000 dollar AS. Malaysia yang berpenduduk 32 juta sudah meraih PDB per kapita sekitar 9.800 dollar AS saat itu, dan berada di kelompok negara berpenghasilan menengah atas.
Negara-negara tersebut mampu mencapai kemajuan signifikan karena para pemangku kuasa di negaranya berhasil menelurkan bauran kebijakan yang pas. Meski berideologi komunis, misalnya, para pemimpin China justru merupakan figur-figur yang sudah melewati seleksi ketat dan memiliki visi yang hebat.
Di bidang ekonomi, mereka menerima ekonomi pasar dan meluncurkan kebijakan yang tepat sehingga terjadi akselerasi pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Sementara itu, sistem politik yang nondemokratik dimanfaatkan secara efektif untuk memudahkan berbagai macam izin usaha, memprimakan pelayanan, dan memberikan kepastian hukum.
Baca juga: Memperkuat Kebijakan Pemerataan Pembangunan Ekonomi
Mengapa ekonomi Indonesia terseok-seok, bahkan disalip negara lain seperti Vietnam? Sejak 2016, ekspor Vietnam sudah melampaui ekspor Indonesia. Banyak faktor sebagai penyebab ekonomi Indonesia terseok-seok. Namun, simpul utama adalah kebijakan ekonomi yang tidak tepat, rendahnya kualitas para penyelenggara negara, birokrasi yang lamban, korupsi, hukum yang tidak mendukung, dan politik yang dikuasai oligarki partai. Beberapa faktor tersebut saling berhubungan dan penyelesaiannya harus dilakukan secara bersama-sama pula.
Sebagian kalangan menyebut bahwa ekonomi Indonesia terjangkiti penyakit struktural. Fondasi tidak kuat dan tiang-tiangnya tidak kokoh. Ekonomi kita tidak ditopang infrastruktur yang memadai, rendahnya investasi, ekspor yang didominasi produk primer, minimnya industri manufaktur, pembangunan yang menumpuk di Jawa, bahkan Jabodetabek, rendahnya produktivitas pekerja, besarnya pekerja di sektor informal, minimnya jumlah wirausaha, serta terbatasnya instrumen sektor keuangan dan pasar modal.
Dengan kondisi itu, sedikit saja ada tekanan eksternal, berbagai indikator ekonomi langsung melemah. Rupiah terdepresiasi, impor membengkak, surplus neraca perdagangan menipis bahkan terjadi defisit. Tekanan global juga acap membuat defisit neraca transaksi berjalan ikut membengkak, capital outflow meningkat, neraca pembayaran defisit, dan laju pertumbuhan ekonomi terhambat.
Sementara secara fiskal, perubahan eksternal memperbesar defisit akibat melonjaknya beban bunga dan cicilan utang dalam mata uang asing. Untuk mengurangi defisit, pemerintah memangkas anggaran belanja, sebuah keputusan yang justru menyebabkan kontraksi ekonomi. Ketika belanja rumah tangga menurun, government spending biasanya menjadi harapan. Di sanalah terjadi kontradiksinya.
Di satu sisi, apresiasi tentu layak diberikan atas langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menekankan prioritas tinggi pada pembangunan infrastruktur, antara lain dengan meningkatkan anggaran infrastruktur setiap tahun. Jika pada tahun anggaran 2014 anggaran infrastruktur baru Rp 154,7 triliun atau 8,7 persen dari total anggaran belanja, pada tahun anggaran 2019 mencapai Rp 420,5 triliun atau 17,2 persen dari anggaran belanja. Sampai hari ini angka tersebut sekitar Rp 400 triliun.
Meski cukup memberatkan, pembangunan infrastruktur tentu penting untuk memperkuat fondasi ekonomi Indonesia. Terbukti, memang negeri ini tidak saja kekurangan di bidang infrastruktur transportasi—jalan raya, rel kereta, pelabuhan, dan bandara—pembangkit listrik, jaringan distribusi dan transmisi, serta telekomunikasi, tetapi juga di bidang infrastruktur pertanian dan infrastruktur dasar. Banyak wilayah di Indonesia masih kekurangan air bersih dan hidup dengan sanitasi yang buruk. Lebih jauh, tanpa ada kesiapan infrastruktur, investasi akan terhambat.
Namun, pembangunan infrastruktur tidak bisa dilakukan secara asal-asalan, apalagi hanya berdasarkan pada euforia politik semata. Kebijakan infrastruktur perlu memprioritaskan wilayah yang memiliki sumber daya ekonomi, misalnya. Kehadiran infrastruktur harus bisa menggerakkan roda ekonomi dan meningkatkan produktivitas guna mempercepat pengembalian modal. Selain itu, upaya mewujudkan keadilan sosial tetap perlu memperhatikan kekuatan pendanaan agar negara tidak terseret oleh beban utang.
Indonesia harus terus mencari cara untuk membangun sektor industri secara menyeluruh, tidak cukup hanya dengan beretorika tentang ekonomi digital atau industri 4.0.
Lantas bagaimana dengan sektor industri? Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB tersisa 20,2 persen pada 2017 dan penyerapan tenaga kerja baru 14 persen dari total angkatan kerja. Kini malah kontribusinya sudah di bawah 20 persen. Karena itu, untuk menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan serta mendongkrak pendapatan rakyat, industri dan jasa harus dibangun. Di negara maju, kontribusi terbesar terhadap PDB adalah sektor jasa, perdagangan, diikuti sektor industri. Di negara maju, kontribusi pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja kurang dari 5 persen.
Sementara ekonomi Indonesia masih dilingkupi sektor pertanian. Sekitar 31 persen tenaga kerja masih berada di sektor pertanian. Namun, anehnya, untuk swasembada pangan saja susahnya minta ampun. Ini karena sebagian besar adalah petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar, bahkan ada yang hanya sebagai buruh tani. Dengan kontribusi terhadap PDB hanya sekitar 13 persen, sektor pertanian tidak lagi bisa diandalkan untuk menggerakkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Apalagi, penduduk miskin di Indonesia umumnya bekerja di sektor pertanian.
Tidak bisa tidak, Indonesia harus terus mencari cara untuk membangun sektor industri secara menyeluruh, tidak cukup hanya dengan beretorika tentang ekonomi digital atau industri 4.0. Meskipun negara maju sudah memasuki revolusi industri keempat yang mengandalkan penggunaan internet dan digital, Indonesia dengan penduduk yang besar harus membangun industri dasar, industri barang modal, industri elektronik, dan otomotif, serta berbagai jenis industri pengolahan. Ekspor bahan mentah perlahan harus diganti dengan ekspor produk olahan, minimal barang setengah jadi.
Berkaca dari China
China mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju di bidang industri berkat kebijakan yang tepat. Sejak awal revolusi, China sudah memperkuat pabrik baja dan berbagai jenis logam. Dengan industri dasar yang kuat, China tidak lagi kesulitan mengembangkan industri barang modal, yakni berbagai jenis mesin dan komponen, dan selanjutnya membangun industri manufaktur. Setelah melewati revolusi industri pertama hingga ketiga, China mudah memasuki revolusi industri keempat. Sementara di Indonesia, para pengambil kebijakan dan tokoh intelektual tetiba saja memprovokasi publik untuk melompat ke revolusi industri keempat.
China menyadari bahwa penduduknya adalah yang terbesar di dunia, karena itu mereka sejak awal menganut sistem broad-based industries. China tidak saja membangun satu jenis industri manufaktur, tetapi semua. Tidak berlebihan jika ada anekdot yang berbunyi, ”Tuhan menciptakan alam semesta, China mengisinya”. Terbukti kemudian, produk industri China membanjiri dunia, termasuk ke Amerika Serikat, sampai memicu perang dagang.
Berkaca pada keberhasilan China, perubahan ekonomi Indonesia tentu tidak bisa parsial, tetapi harus secara struktural. Indonesia harus mampu memproduksi sebanyak-banyaknya produk industri, mulai dari industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri alas kaki, industri elektronik, industri petrokimia, hingga industri otomotif.
Demikian juga produk kehutanan, perkebunan, dan pertanian harus diolah di dalam negeri sebelum diekspor. Sektor perikanan perlu perlakuan khusus, karena nilai tertinggi adalah ekspor ikan segar, bukan ikan olahan. Namun, untuk jenis tertentu, industri pengolahan ikan tetap harus dikembangkan.
Baca juga: Transformasi Struktural Ekonomi Menuju Indonesia Emas 2045
Sejatinya Indonesia mampu menjadi kampiun di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, elektronik, otomotif, dan pengolahan sawit. Istilah sunset industry dan footloose industry bagi TPT dan alas kaki sebenarnya sekadar istilah untuk memudahkan penjelasan ilmiah, bahwa industri yang menggunakan teknologi sederhana akan mudah berpindah ke negara yang belum maju. Namun, dalam kenyataan, manusia akan tetap membutuhkan pakaian dan alas kaki.
Semakin maju sebuah masyarakat, permintaan akan pakaian dan alas kaki justru kian tinggi. Dengan logika bahwa kompetitif-tidaknya sebuah industri ditentukan oleh teknologi, maka dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih dan desain yang sesuai dengan perkembangan, pakaian dan alas kaki akan tetap laris. Logika tersebut sebenarnya yang digunakan negara maju, seperti Italia dan Perancis. Negara-negara itu tetap menjadi penghasil pakaian dan alas kaki yang hebat sampai hari ini.
Reformasi struktural juga mencakup peningkatan efisiensi. Selain pungli, ekonomi Indonesia berbiaya tinggi karena pengaturan kawasan industri yang tidak tepat. Berbagai produk baru akan efisien jika kawasan Industri dibangun terintegrasi dan menyatu dengan pelabuhan. Industri pengolahan, industri antara, dan industri dasar harus berada di satu kawasan. Semoga semua pekerjaan rumah ekonomi ini dijadikan agenda ekonomi utama oleh siapa pun yang memenangi kontestasi di Pilpres 2024. Semoga.
Ronny P Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution