Apa Jadinya Ketika Kultur Tokopedia "Kawin" dengan Tiktok?
Soal kultur kadang dianggap remeh, tetapi sebenarnya kultur dan nilai-nilai perusahaan menjadi semacam bahan bakar bagi setiap karyawan dalam bekerja.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Urusan merger dan akuisi tidaklah sederhana. Tingkat keberhasilannya sangat rendah. Pascamerger antara Gojek dan Tokopedia dua tahun lalu yang kemudian membentuk Goto ternyata menyisakan masalah. Kultur kedua perusahaan tidak mudah dipertemukan. Kini Tokopedia sudah lepas dari sangkar Goto. Namun, kemudian Tiktok menjadi pemegang saham mayoritas di Tokopedia. Tiktok pasti akan menempatkan beberapa orangnya di Tokopedia. Apakah kedua kultur perusahaan bisa dipertemukan?
Seperti diberitakan beberapa waktu lalu, Tiktok, aplikasi milik perusahaan raksasa teknologi China, ByteDance, bakal menyuntikkan investasi lebih dari 1,5 miliar dollar AS atau Rp 23,38 triliun dalam jangka panjang ke Tokopedia sekaligus mengambil alih saham mayoritas aplikasi lokapasar itu. Rencana kemitraan strategis Goto melalui Tokopedia dimulai dengan konsultasi terlebih dulu dengan pemerintah. Bisnis Tokopedia dan Tiktok Shop Indonesia ini akan dikombinasikan di bawah entitas Tokopedia.
Tokopedia seperti burung lepas dari kandang. Mereka terbebas dari tekanan masalah kultur pascamerger dengan Gojek. Sebab, kultur antara Gojek dan Tokopedia sulit dipertemukan. Secara umum, pendiri Gojek dari perkotaan (urban), secara khusus Jakarta, dan alumnus perguruan tinggi luar negeri. Sementara pendiri Tokopedia dari Pematang Siantar (pedalaman di Sumatera) dan Pontianak dan keduanya berasal dari perguruan tinggi dalam negeri. Latar belakang pendiri Gojek dan Tokopedia ini tentu sangat berpengaruh dalam membangun kultur perusahaan, termasuk bagaimana mereka menarasikan perusahaan. Mereka yang sedikit lebih berkeringat dalam hidupnya tentu memiliki cerita yang lebih kaya.
Sebuah studi yang dilakukan beberapa peneliti di beberapa negara dan dipublikasikan di jurnal Advances in Social Science, Education and Humanities ResearchVolume 61 menemukan hasil, latar belakang budaya menyebabkan perbedaan orang dalam membangun definisi kepemimpinan. Pengaruh itu tecermin di dalam pandangan mereka soal rentang kekuasaan, pengakuan terhadap individu, penghindaran terhadap ketidakpastian, dan seterusnya. Riset-riset lainnya sangat banyak yang juga memberikan pandangan bahwa pengaruh latar belakang budaya berpengaruh pada kultur kepemimpinan sehingga berpengaruh pada kultur perusahaan.
Apalagi mereka adalah perusahaan teknologi yang berawal dari usaha rintisan. Mereka memulai dari awal. Figur pemimpin dalam usaha rintisan sangat menentukan dalam membuat citra dan kultur perusahaan ke depan. Kultur yang dibangun para pendiri akan terlihat ketika melayani konsumen, saat menyelesaikan masalah komunikasi, keterampilan mereka berhubungan dengan pemasok, hingga bagaimana mereka bersikap dalam menangani komplain.
Waktu dua tahun ternyata belum cukup untuk menyatukan kultur Gojek dan Tokopedia yang secara bisnis telah bersatu menjadi Goto. Kini mereka harus berpisah setidaknya sebagai entitas bisnis Tokopedia tidak lagi bergantung pada keputusan manajemen Goto.
Di tengah keadaan seperti ini, muncul partner baru Tokopedia, yaitu Tiktok. Situasinya mungkin saja membuat beberapa pihak tidak nyaman, Tiktok yang semula menjadi musuh mereka dan pelaku e-dagang dalam negeri lainnya ketika muncul isu social commerce tiba-tiba menjadi teman mereka dan harus berada di dalam satu lembaga. Bagaimana mereka bisa menyatukan kultur dengan latar belakang seperti itu? Belum lagi masalah latar belakang kultur bawaan Tiktok. Tentu ini makin memunculkan kerumitan baru.
Karena berasal dari China, maka sorotan kita arahkan ke kultur bawaan secara umum di perusahaan-perusahaan China. Laman HROne menyebutkan, China adalah masyarakat dengan hierarki yang kaku sehingga tidak mengherankan jika hal ini tecermin di tempat kerja.
Karyawan di China tidak akan mempertanyakan pedoman atau instruksi yang diberikan oleh atasan atau supervisor, kecuali mereka memiliki tingkat pemahaman tertentu mengenai pokok bahasannya. Seperti cara magang di China adalah mendengarkan mentor Anda dan menjalankan tugas dengan kemampuan terbaik Anda. Berbagi pendapat atau memberikan saran paling baik dilakukan setelah Anda mencapai tingkat kemampuan dan kepercayaan tertentu.
Apakah Tiktok akan membawa kultur seperti itu? Beberapa pengalaman di sejumlah perusahaan selaras dengan pendapat tadi. Sejumlah karyawan perusahaan China di Indonesia mengeluhkan instruksi dan permintaan yang benar-benar harus dijalankan seperti yang dilakukan di China. Bahkan, usulan-usulan soal pemasaran harus menunggu persetujuan dari kantor pusat dan beberapa materi hanya diperintahkan untuk dipasang sesuai dengan perintah dari pusat. Sangat boleh jadi Tiktok akan membawa kultur seperti itu.
Namun, pada akhirnya Tiktok mungkin berpikir pragmatis, yaitu soal investasi dan imbal hasil semata. Beberapa pengakuan dari sejumlah kalangan di Indonesia juga melihat hal ini. Berurusan dengan perusahaan China lebih mudah karena langsung pada masalahnya, yaitu soal cuan.
Jika ini terjadi, mungkin Tiktok akan bersikap mengalah. Mereka tidak akan memaksakan perubahan-perubahan yang drastis. Tiktok lebih banyak akan menangani aspek teknologi. Mereka realistis dengan melihat kenyataan Tokopedia bukan partner yang kecil. Tokopedia memiliki pengalaman yang kuat di pasar lokal sehingga mungkin Tiktok lebih mengikuti nilai-nilai dan juga visi Tokopedia.
Kalau saja dugaan ini benar, hal itu akan membawa karyawan Tokopedia lebih nyaman dengan pemegang saham mayoritas itu. Konflik akan rendah. Mereka tetap dengan nilai-nilai dan kultur yang ada selama ini. Bisnis mereka bisa meningkat. Sementara jika Tiktok memilih jalan lain, keruwetan baru bisa muncul. Soal kultur kadang dianggap remeh, tetapi sebenarnya kultur dan nilai-nilai perusahaan menjadi semacam bahan bakar bagi setiap karyawan dalam bekerja.